
(Matra, Pekanbaru) – Indonesia masih sulit mewujudkan seasembada energi karena belum seimbangnya produksi dan kebutuhan energi nasional. Hingga saat ini Indonesia masih mengimpor minyak dan gas (migas) bumi untuk memenuhi kebutuhan migas nasional. Produksi minyak mentah Pertamina secara nasional saat ini juga baru mencapai 5.000 barel/tahun. Sedangkan kebutuhan minyak mentah nasional mencapai 600.000 barel/tahun.
Hal tersebut mengemuka pada seminar nasional bertajuk “Mewujudkan Swasembada Energi Nasional Tantangan dan Solusinya” di Hotel Mutiara Merdeka, Pekanbaru, Provinsi Riau, Sabtu (8/2/2025). Seminar tersebut digelar dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) ke-79 tahun 2025.
Seminar tersebut menampilkan pembicara Pejabat Sementara (Pjs) PT Pertamina Hulu Rokan, Topan, pimpinan Satua Kerja Khusus (SKK) Migas, Wicaksono, wartawan senior, Fajar Baharuddin dan anggota Komisi III DPRD Provinsi Riau, Edi Basri.
Topan pada kesempatan tersebut mengatakan, Indonesia baru bisa swasembada energi bila produksi migas sudah mampu memenuhi kebutuhan energi dalam negeri sendiri. Saat ini, Pertamina Hulu Rokan baru mampu memenuhi produksi energi sekitar 27 % dari total kebutuhan energi nasional.
Sedangkan Pertamina Hulu Rokan hanya mampu memproduksi 5.000 barel minyak mentah per tahun. Padahal kebutuhan minyak mentah nasional mencapai 600.000 barel/tahun. Untuk mencukupi kebutuhan minyak mentah nasional, Indonesia masih impor.
Menurut Topan, minyak mentah yang dieksploitasi dari fosil hewan dan tumbuhan yang mengendap di dalam perut bumi sampai kedalaman 30 kilometer. Ini disebut non konvensional, sebagai dapur minyak mentah. Sedangkan minyak mentah mengendap di permukaan tanah disebut konvensional.
“Sesuai perkiraan produksi minyak mentah di Riau ini akan makin berkurang atau habis sekitar 40 tahun lagi,”lagi.
Empat Pilar
Mengenai kontribusi Pertamina mendukung pembangunan, Topan mengatakan, Pertamina Hulu Rokan selama ini tetap memberikan bantuan melalui pertanggung-jawaban perusahaan (Corparate Social Responsibility/CSR). Menggunakan dana CSR, Pertamina Hulu Rokan melakukan empat pilar pembangunan.
“Masing-masing program pendidikan pemberian beasiswa, program ekonomi desa wisata, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan reboisasi hutan mangrove (hutan bakau). Sedangkan Pemerintahan Provinsi (Pemprov) Riau mendapat bagi hasil 10 % dari produksi migas kita,”katanya.
Sementara itu, perwakilan SKK Migas, Wicaksono pada kesempatan tersebut mengatakan, untuk mencapai swasembada energi Indonesia, seluruh asset yang ada harus dimanfaatkan. Kemudian Indonesia (Pertamina) juga harus mencari dan mengembangkan eksplorasi. Selain itu memanfaatkan aset dan teknologi baru untuk mencapai produksi 1 juta barel/hari.
“Pertamina Pertamina Hulu Rokan agak sulit meningkatkan produksi karena terkendala alat produksinya yang sudah tua sejak 1952. Pertamina Hulu Rokan sudah mengeksplorasi tujuh sumur terbaru hasil eksplorasi,”ujarnya.
Disebutkan, untuk menggantikan sumber energi terbarukan butuh proses dan waktu yang lama. Namun energi terbarukan itu tetap diusahakan.
Sementara itu, anggota DPRD Riau, Edi Basri mengeluhkan mirisnya masalah krisis BBM yang hingga kini masih sering terjadi di wilayah Riau. Padahal Riau merupakan penghasil migas sejak 90 tahun silam. Produksi migas di Riau saat ini belum seimbang dengan kebutuhan.
“Produksi migas di Riau sudah berjalan hampir 90 tahun. Namun daerah ini belum banyak menikmati hasil produksi migas tersebut. Kita berharap ada keadilan berbagi hasil. Dana hasil bagi migas tersebut penting guna meningkatkan pembangunan infrastruktur di Riau,”katanya.
Edi Basri mengatakan, para delegasi pers dari berbagai Indonesia yang menghadiri HPN 2025 di Pekanbaru, Riau merasakan banyaknya jalan rusak di Kota Pekanbaru. Kondisi ini menunjukkan Pemerintah Kota (Pemkot) Pekanbaru dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau masih membutuhkan dana untuk memperbaiki kerusakan jalan.
Dikatakan, swasembada energi akan hanya jadi mimpi jika tidak dilakukan penghematan dan peningkatan eksplorasi. Upaya penghematan energi dimulai diri sendiri. Penghematan energi juga membutuhkan relugasi atau aturan.
“Riau bisa menjadi kekuatan baru dalam memproduksi energi terbarukan karena daerah ini merupakan produsen kelapa sawit terbesar di Indonesia,”katanya.
Sementara menurut wartawan senior pemerhati migas, Fajar Baharudin, selama era Orde Baru (Orba), produk migas Indonesia bisa capai swasembada. Kemudian Indonesia juga menjadi anggota Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC).
Saat itu, katanya, produksi migas Indonesia mencapai 1.300 barel/hari, jauh lebih tinggi dibandingkan produksi migas saat ini hanya 600.000 barel/hari. Penurunan produksi migas ini tentunya merupakan persoalan.
“Bila solusi dan upaya swasembada energy nasional ini tidak ada terobosan, ya hanya mimpi untuk penuhi swasembada migas. Bahkan produksi energi negara kita akan semakin merosot,”katanya. (Matra/RS/Wan).