Mantan Menteri Perdagangan, TTL (kanan) dan Direktur Bisnis PT PPI, CS (kiri) yang ditetapkan menjadi tersangka korupsi impor gula digiring petugas ke Rutan Salemba, Jakarta, Selasa (29/10/2024). (Foto : Matra/PuspenkumKejagung).

(Matra, Jakarta) – Mantan Menteri Perdagangan (Mendag) RI, Thomas Trikasih Lembong (TTL) dan mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), Charles Sitorus (CS) akhirnya mendekam di rumah tahanan negara (Rutan) Salemba, Jakarta menyusul dugaan keterlibatan mereka dalam korupsi impor gula pasir.

Penahanan tersangka TTL dan CS yang dilakukan Tim Penyidik Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) selama 20 hari mulai Selasa (29/10/2024) hingga Minggu (17/11/2024). Penahanan kedua tersangka dilakukan untuk mempermudah pemeriksaan, mencegah penghilangan barang bukti dan mencegah tersangka melarikan diri.

Penahanan tersangka TTL didasarkan pada Surat Perintah Penahanan Nomor: 50/ F.2/Fd.2/10/2024 tanggal 29 Oktober 2024. Sedangkan penahahan tersangka CS didasarkan pada Surat Perintah Penahanan Nomor: 51/ F.2/Fd.2/10/2024 tanggal 29 Oktober 2024.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspen) Kejaksaan Agung (Kejagung), Dr Harli Siregar, SH, MHum di Jakarta, Rabu (30/10/2024) menjelaskan, Tim Penyidik Jampidsus Kejagung menahan TTL dan CS setelah keduanya ditetapkan menjadi tersangka. TTL ditetapkan jadi tersangka berdasarkan Surat Perintah Penetapan Tersangka Nomor: TAP-60/F.2/Fd.2/10/2024. Sedangkan CS ditatepkan jadi tersangka berdasarkan Surat Perintah Penetapan Tersangka Nomor : TAP-61/F.2/Fd.2/10/2024.

Dikatakan, kedua tersangka dinyatakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

“Penyidikan terhadap dugaan kasus impor gula pasir yang melibatkan edua tersangka dilakukan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan JAM PIDSUS Nomor: Prin-54/F.2/Fd.2/10/2023 tanggal 03 Oktober 2023. Dugaan kasus korupsi gula pasir tersebut terjadi tahun 2015 – 2016,”katanya.

Kapuspenkum kejagung, Harli Siregar (kanan) dan Dirdik Jampidsus Kejagung, Abdul Kohar (kiri) memberi keterangan terkait penahanan mantan Menteri Perdagangan, TTL terkait korupsi impor gula di Gedung Kartika Kejagung, Jakarta, Selasa (29/10/2024). (Foto : Matra/PuspenkumKejagung).

Modus

Menurut Harli Siregar, kasus korupsi gula tersebut berawal ketika TTL yang menjabat Mendag RI tahun 2015 memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah 105.000 ton kepada PT AP. PT AP akan mengolah gula Kristal mentah (GKM) tersbeut menjadi gula Kristal putih (GKP). Padahal berdasarkan rapat koordinasi (rakor) antar kementerian 12 Mei 2015 disimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus gula sehingga tidak membutuhkan impor gula.

Kemudian, lanjut Harli Siregar, berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 tahun 2004, perusahaan yang diperbolehkan impor GKP hanya Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tetapi berdasarkan persetujuan impor yang dikeluarkan tersangka TTL, impor gula tersebut dilakukan PT AP. Kemudian impor GKM tersebut tidak melalui rakor dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian guna mengetahui kebutuhan gula dalam negeri.

Selanjutnya, Kementerian Koordinator Perekonomian menggelar Rakor Bidang Perekonomian, 28 Desember 2015. Rakor tersebut antara lain membahas bahwa Indonesia kekurangan GKP sebanyak 200.000 ton tahun 2016 dalam rangka stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional.

Setelah rakor tersebut, tersangka CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI memerintahkan Staf Senior Manager Bahan Pokok PT PPI untuk melakukan pertemuan dengan delapan perusahaan gula swasta, yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI dan PT MSI di Gedung Equity Tower SCBD sebanyak empat kali selama November-Desember 2015.

“Pertemuan tersebut membahas rencana kerja sama impor GKM menjadi GKP antara PT PPI dan delapan perusahaan gula swasta. Peremuan tersebut atas sepengetahuan Direktur Utama PT PPI saat itu,”katanya.

Harli Siregar lebih lanjut menjelaskan, tersangka TTL menandatangani surat penugasan kepada PT PPI Januari 2016, Surat penugasan itu meminta PT PPI melakukan pemenuhan stok gula nasional dan stabilisasi harga gula. Pemenuhan stok gula itu dilakukan melalui kerja sama dengan produsen gula dalam negeri. Tujuannya untuk memasok atau mengolah GKM impor menjadi GKP sebanyak 300.000 ton.

Kemudian, PT PPI membuat perjanjian kerja sama dengan delapan perusahaan gula swasta ditambah satu perusahaan swasta lainnya yaitu PT KTM. Seharusnya untuk memenuhi stok gula dan stabilisasi harga gula nasional, GKP harus diimpor secara langsung. Perusahaan yang dapat melakukan impor GKP hanya BUMN (PT PPI).

“Atas sepengetahuan dan persetujuan tersangka TTL, persetujuan impor GKM ditandatangani untuk sembilan perusahaan swasta. Seharusnya, untuk pemenuhan stok dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah GKP secara langsung. Selain itu, persetujuan impor dari Kementerian Perdagangan diterbitkan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian dan tanpa rapat koordinasi dengan instansi terkait,”katanya.

Dikatakan, kedelapan perusahaan swasta yang mengolah GKM menjadi GKP memiliki izin industri sebagai produsen Gula Kristal Rafinasi (GKR) yang diperuntukkan bagi industri makanan, minuman dan farmasi. Setelah kedelapan perusahaan swasta tersebut mengimpor dan mengolah GKM menjadi GKP, PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut.

Padahal gula tersebut dijual oleh perusahaan swasta ke masyarakat melalui distributor dengan harga Rp 16.000/kilogram (kg). Harga gula tersebut lebih tinggi dibandingkan Harga Eceran Tertinggi (HET) gula pasir nasional sebesar Rp 13.000/kg. Kemudian penyaluran gula tersebut ke pasaran tidak dilakukan melalui operasi pasar.

“Melalui pengadaan dan penjualan GKM yang diolah menjadi GKP tersebut, PT PPI mendapatkan fee (keuntungan) dari delapan perusahaan yang mengimpor dan mengolah GKM sebesar Rp 105/kg. Kerugian negara akibat perbuatan tersebut mencapai Rp 400 miliar. Kerugian tersbeut terdiri dari nilai keuntungan yang diperoleh delapan perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik negara, BUMN (PT PPI),”katanya. (Matra/RS/PKA).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *