(Matra, Pekanbaru) – Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) terus berjuang menyelamatkan lingkungan Danau Toba dari kerusakan. Untuk itu GKPS menggalang kemitraan dengan organisasi lingkungan hidup, pemerintah dan pemangku kepentingan.
Hal tersebut dikatakan Sekretaris Jenderal (Sekjen) GKPS, Pdt Dr Paul Ulrich Munthe pada Rapat Koordinasi (Rakor) GKPS Distrik VI gereja GKPS Pekanbaru, Provinsi Riau, Jumat (18/10/2024).
Rakor GKPS Distrik VI tersebut diikuti 238 orang fulltimer (pendeta, penginjil, vikaris pendeta), perutusan synode bolon (sidang raya), pengurus resort serta pimpinan majelis (PMJ) se-GKPS Distrik VI wilayah Provinsi Riau, Kepulauan Riau (Kepri), Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu dan Bangka Belitung.
Menurut Pdt Paul Ulrich Munthe, pihaknya prihatin melihat terus meningkatnya kerusakan lingkungan Simalungun, termasuk pencemaran Danau Toba akibat keramba jaring apung (KJA) seperti di Desa Wisata Haranggaol, Kecamatan Haranggaol – Horisan.
Saat ini sebagian besar pesisir atau pantai Danau Toba di Haranggaol tak bisa lagi dimanfaatkan untuk kegiatan wisata akibat padatnya KJA.
“Sudah berkali- kali kita lakukan pendekatan untuk mengendalikan kepadatan KJA di Haranggaol. Namun kurang mendapat respon. Pemkab Simalungun pun tak mampu tertibkan KJA. Namun kita terus mencari upaya menertibkan KJA untuk mengatasi pencemaran air dan menghidupkan kembali wisata Danau Toba Haranggaol,”katanya.
Dikatakan, kerusakan hutan di Simalungun akibat pembalakan juga terus terjadi. Pembalakan hutan tersebut tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga meresahkan masyarakat.
Salah satu di antaranya pembalakan hutan secara besar- besaran di Desa Hutasaing. Pembalakan hutan itu mengancam ketersediaan sumber air di Hutasaing dan sekitarnya.
“Sudah banyak pengaduan masyarakat terkait pembalakan hutan di Hutasaing. Karena itu kita mengharapkan Pemkab Simalungun, Pemprov Sumut dan Pemerintah Pusat menghentikan pembalakan hutan tersebut,” katanya.
Dikatakan, GKPS bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan organisasi lingkungan internasional masih terus berusaha mencari solusi menghentikan pembalakan hutan tersebut.
Selain itu, lanjut Pdt Paul Ulrich Munthe, pihaknya juga memprihatinkan kehancuran hutan alam dan berganti menjadi hutan sejenis di Desa Sipolha dan sekitarnya. Kerusakan hutan tersebut menyebabkan satwa kera, monyet dan babi hutan kehilangan sumber makanan.
“Akibatnya satwa tersebut turun ke ladang penduduk dan merusak tanaman pangan dan buah- buahan petani. Bahkan kera dan monyet masuk ke rumah warga mencari makanan,” katanya.
Pdt. Paul Ulrich Munthe mengatakan, pihaknya sudah beberapa kali membahas pemulihan hutan alam di Sipolha bersama pemerintah setempat dan pihak terkait.
“Tetapi sampai kini belum ada solusi. Perusahaan besar PT TPL tidak merespon usulan kami. Namun kita tidak berhenti memperjuangkan kelestarian hutan di Sipolha tersebut,” katanya. (Matra/RS).