
(Matra, Simalungun) – Desa – desa pesisir Danau Toba wilayah Kabupaten Simalungun sejak dahulu sudah cukup dikenal sebagai jalur Pekabaran Injil. Gereja di desa-desa pesisir Danau Toba Simalungun ratusan tahun silam termasuk cepat berdiri karena wilayah desa-desa pesisir Danau Toba di Simalungun cukup mudah dijangkau dari pusat – pusat Pekabaran Injil Tanah Batak di wilayah Tapanuli Utara maupun Samosir melalui jalur perairan atau danau.
Misionaris pertama asal Jerman khusus ke Simalungun, Pdt August Theis pertama kali datang ke Simalungun melalui desa pesisir Danau Toba, Tigaras yang memiliki akses transportasi perairan dekat dengan wilayah Pulau Samosir dan Tapanuli Utara. Pdt August Theis yang ditetapkan Kongsi Barmen (RMG) sebagai Pendeta Zending di daerah Simalungun tiba di Tigaras 1 September 1903.
Selanjutnya Pdt August Theis bersama rekan-rekannya dari guru Zending dari Tapanuli Utara, Evanggelis (Ev) Theofilus Pasaribu dan Guru Ambrocius berangkat dari Tigaras menuju Pematangraya melalui desa-desa Siambaton – Rajanihuta Doloksaribu – Bangun Panei – Bah Bulawan (Pane). Mereka tiba di Pematangraya 2 September 1903.
Kemudian medio 1905, Pdt Weissenbuch ditugaskan melayani di Sipiak (Parapat), Tanah Jawa dan Pdt GK Simon ditugaskan melayani di desa pesisir anau Toba, Purba Saribu, Haranggaol. Beberapa gereja GKPS yang berdiri di desa-desa pesisir Danau Toba wilayah Simalungun pada masa pelayanan Pdt August Theis hingga masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia RI, yakni GKPS Haranggaol yang berdiri 3 Maret 1906.
Kemudian GKPS Tambun Raya berdiri 30 Oktober 1909, GKPS Sihalpe (21 September 1913), GKPS Nagori (12 Oktober 1929), GKPS Bage (15 Juni 1932), GKPS Halaotan (15 Juni 1935) dan GKPS Hutaimbaru (19 Agustus 1938) dan GKPS Bangunpurba (1 Maret 1938).
Setelah kemerdekaan RI, gereja-gereja di desa – desa pesisir Danau Toba pun banyak bermunculan, masing-masing GKPS Silumbak (10 Oktober 1948), GKPS Mariah Purba Saribu, Haranggaol (10 Juni 1965), GKPS Sibolangit (1 Agustus 1950), GKPS Tongging (2 Februari 1967) dan GKPS Soping (16 Februari 1969).

Penggerak Pembangunan
Memasuki masa-masa pembangunan nasional atau era Orde Baru (Orba), peranan gereja – gereja GKPS di desa pesisir Danau Toba memajukan pendidikan, pertanian dan kesehatan cukup besar. Ketika belum banyak berdiri sekolah-sekolah menengah pertama di desa – desa pesisir Danau Toba Simalungun, GKPS menghadirkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) GKPS di Haranggaol.
Kemudian sebelum Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) hadir di desa-desa pesisir Danau Toba Simalungun, Rumah Sakit (RS) Bethesda GKPS Seribudolok telah menghadirkan Tim Pelayanan Kesehatan Masyarakat. Tim pelayanan kesehatan RS Bethesda Seribudolok tersebut secara khusus melayani warga desa-desa pesisir Danau Toba, khususnya dari Nagori hingga Hutaimbaru – Soping – Bage. RS Bethesda Seribudolok sendiri berdiri pada 15 ptember1953.
Untuk mempermudah menjangkau desa-desa peisir Danau Toba di Simalungun, Tim Pelayanan Kesehatan RS Bethesda GKPS Seribudolok secara khusus membuat kapal pelayanan kesehatan yang sering disebut “Kapal Dokter”. Tim pelayanan kesehatan GKPS tersebut mengunjungi warga desa-desa pesisir Danatu Toba di Simalungun untuk memberikan pemeriksaan kesehatan atau pengobatan, imunisasi hingga pemutaran film-film religi Kristen.
Para pelayan GKPS pun turut berperan memajukan pembangunan pertanian dan peternakan di desa-desa pesisir Danau Toba Simalungun. Para pengurus gereja GKPS saat itu menjadi contoh menggerakkan ekonomi rakyat melalui kegiatan pertanian dan peternakan ayam maupun bebek.
Warga GKPS desa-desa pesisir Danau Toba di Simalungun juga sangat antusias menyekolahkan anak-anak mereka hingga jenjang perguruan tinggi berkat motivasi dan teladan yang diberikan para pengurus atau pelayan gereja. Upaya-upaya itulah yang membuat banyak generasi warga desa pesisir Danau Toba di Simalungun sukses di perantauan. Bahkan di era Orba cukup banyak pendeta GKPS yang berasal dari desa-desa pesisir Danau Toba.

Tergerus Zaman
Kiprah gereja-gereja desa Pesisir Danau memajukan pembangunan masyarakat desa belakangan ini, khususnya di era reformasi dan milenium ini tampaknya semakin tergerus zaman. Hal tersebut tercermin dari kondisi perekonomian, pendidikan dan kerohanian warga desa-desa pesisir Danau Toba wilayah Simalungun saat ini.
Salah satu contoh, yakni di Desa Ujungmariah, Pamatangsilimahuta, Kabupaten Simalungun, khususnya Dusun Hutaimbaru. GKPS Hutaimbaru yang zaman dulu menjadi salah satu teladan dalam Pekabaran Injil di desa-desa pesisir Danau Toba wilayah Simalungun kini terkesan tidak apa-apanya lagi. Kondisi itu bisa dilihat dari kondisi kesejahteraan masyarakat Dusun Hutaimbaru saat ini.
Keadaan ekonomi warga Dusun Hutaimbaru belakangan ini cukup memprihatinkan karena tidak adanya sumber penghasilan tetap dari usaha pertanian tanaman pangan dan hortikultura di dusun tersebut. Warga Dusun Hutaimbari belakangan ini mengandalkan buah tanaman musiman buah mangga untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Hal itu terjadi karena pertanian tanaman pangan di dusun yang dihuni sekitar 50 kepala keluarga (KK) tersebut kini nyaris terhenti. Penyebabnya kesulitan permodalan, pupuk, bibit, pemasaran, penanganan hama dan sumber daya manusia (SDM) petani. Sebagaian warga Dusun Hutaimbaru kini bahkan mengandalkan beras bantuan pemerintah, beras untuk rakyat miskin (raskin) untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.
Pelayanan kesehatan di Dusun Hutaimbaru saat ini juga jauh tertinggal. Hal tersebut disebabkan tidak adanya petugas pelayanan kesehatan seperti bidan desa (bides) di Dusun Hutaimbaru dan dusun sekitarnya. Kemudian warga Dusun Hutaimbaru juga sulit menjangkau pusat pelayanan di Seribudolok, Kecamatan Silimakuta ataupun di Merek Situnggaling, Kabupaten Karo akibat kerusakan jalan dan kemiskinan sarana (moda) transportasi darat dan air.
“Jika ada warga yang sakit di Dusun Hutaimbaru ini, kami terpaksa memborong mobil pick up (bak terbuka) jenis L – 300 untuk berobat ke Merek Situnggaling atau Seribudolok. Menumpang mobil pick up tersebut pun rasanya menyiksa karena jalan dari Dusun Hutaimbari hingga ke Bage sekitar tiga kilometer rusak berat, rawan kecelakaan karena berada di tebing perbukitan pesisir Danau Toba,”kata St B Manihuruk (80), warga Dusun Hutaimbaru.
Menurut St B Manihuruk, akibat kelangkaan petugas kesehatan dan kerusakan jalan, sebagian warga Dusun Hutaimbaru jarang berobat ke rumah sakit kendati mengalami penyakit yang bisa dibilang cukup berat. Sebagian warga bahkan berobat ke pengobatan kampung. Selain itu ada juga warga yang terpaksa merawat orangtua yang lumpuh di rumah tanpa pernah membawa ke rumah sakit akibat kesulitan ekonomi, kesulitan transportasi dan jauhnya pusat pelayanan kesehatan atau dokter.
Terkesan Lengah
Di tengah keprihatinan perekonomian, pelayanan kesehatan dan infrastruktur tersebut, kehidupan gerejawi di Dusun Hutaimbaru juga cukup memprihatinkan. Hal itu nampak dari sedikitnya warga jemaat GKPS Dusun Hutaimbaru yang hadir beribadah setiap ibadah minggu maupun ibadah di rumah – rumah. Bahkan untuk mengikuti kegiatan di tingkat resort (antar gereja) juga, partisipasi warga jemaat Dusun Hutaimbaru belum seperti yang diharapkan.
Selain itu, meningkatkan partisipasi pelayan dalam pelayanan koinonia (persekutuan), marturia (kesaksian) dan diakonia (pelayanan sosial) di GKPS Hutaimbaru sangat sulit. Pelayan dan pengurus GKPS Hutaimbaru terbilang saat ini sangat terbatas jumlah dan kemampuan pelayanan. Baik itu dalam hal perkunjungan keluarga, pelayanan altar (berkhotbah dan memimpin) ibadah, nyanyian maupun diakonia sosial (pelayanan kasih).
“Pelayanan kami di gereja ini belum seperti yang diharapkan, belum maksimal. Masalahnya jumlah dan kualitas SDM majelis masih perlu ditingkatkan. Karena itulah banyak kegiatan persekutuan, keasksian dan pelayanan di gereja ini tidak bisa kami laksanakan sebagaimana mestinya,”kata St B Manihuruk.
Hal senada juga diungkapkan seorang warga GKPS Hutaimbaru yang sudah lanjut usia (lansia), R Br Haloho. Menurut R Br Haloho, jumlah dan kemampuan pelayan GKPS Hutaimbaru saat ini sangat terbatas. Mereka belum mampu memberikan pelayanan maksimal kepada ratusan warga jemaat di desa tersebut. Ada kesan bahwa para pelayan di GKPS Hutaimbaru maupun di tingkat yang lebih tinggi, yakni GKPS Resort Bagei lengah. Mereka kurang mengantisipasi meningkatnya kebutuhan warga jemaat mengenai pelayanan kerohanian dan sosial di tengah perkembangan zaman sekarang ini.
“Menghadapi Pesta Olob-olob 121 Tahun Injil di Simalungun medio September ini pun tidak ada kegiatan yang bisa digelar secara semarak seperti masa-masa kami dulu. Yah, itulah, para pelayan belum maksimal melaksanakan pelayanan akibat berbagai keterbatasan. Baik kemampuan bertheologia, budaya, ekonomi, pendidikan dan kesehatan,”katanya.
St B Manihuruk yang sudah pernah dua periode menjabat Ketua Majelis Jemaat GKPS Hutaimbaru dan dua periode juga menjadi perutusan Synode Bolon (SidangRaya) GKPS mewakili GKPS resort Tongging, mengakui pembinaan terhadap para pelayan dan pengurus GKPS Hutaimbaru belakangan ini jauh merosot.
Sermon (rapat mingguan tetap) Majelis Jemaat GKPS Hutaimbaru selama ini jarang dilakukan. Padahal sermon tersebut sejatinya wajib dilakukan sekali seminggu untuk menyusun rencana pelayanan di mingu berikutnya. Kemudian bahan bacxaan Majelis Jemaat GKPS, khususnya Majalah Ambilan pakon Barita GKPS jarang sampai ke seluruh majelis di GKPS Hutaimbaru. Padahal sumber bacaan khotbah dan pembinaan majelis banyak tertuang dalam majalah khusus gereja tersebut. Selain itu bahan-bahan bacaan khotbah juga terbatas di GKPS Hutaimbaru.
“Kami jarang sermon di GKPS Hutaimbaru ini. Kalau pun kami mau sermon harus ke GKPS Tongging pada pekan hari Jumat, ke GKPS Seribudolok pada pekan Seribudolok. Karena itulah kamio sulit mengadakan pembinaan majelis agar mampu berkhotbah. Majelis wajib berkhotbah di GKPS Hutaimbaru karena kunjungan atau kehadiran pendeta sangat jarang pada pelayanan ibadah minggu dan ibadah keluarga,”katanya.
Frekuensi pembinaan dan sermon majelis di GKPS Hutaimbaru selama ini membuat kalangan majelis enggan berkhotbah. Karena itu, St B Manihuruk yang sudah berusia 80 tahun dan sejatinya sudah memasuki asa purna bakti atau pensiun sering berkhotbah pada kebaktian minggi dan kebaktian rumah tangga.
St B Manihuruk mengatakan, Majelis Jemaat GKPS Hutaimbaru berencana memulai sermon sekali dua minggu mulai September 2024 ini. Melalui sermon tersebut kalangan majelis yang masih muda-muda memiliki bekal pengetahuan thelologia dan kekuatan mental untuk tampil berkhotbah di hadapan jemaat.
“Saya selalu berpesan kepada anggota majelis jemaat yang muda-muda agar rajin membaca bahan-bahan renungan dan buku-buku agama Kristen, khususnya Majalah GKPS Ambilan pakon Barita maupun buku bahan khotbah, Bonih (Benih). Walaupun jarang mendapatkan pembinaan dari Sarjana Theologia atau pendeta, kita pasti bisa berkhotbah dengan baik jika rajin membaca bahan-bahan renungan (khotbah) dari Alkitab, majalah dan buku-buku Kristen,”katanya.
St B Manihurk mengharapkan, gereja – gereja di desa pesisir Danau Toba membutuhkan peningkatan perhatian dari pimpinan GKPS yang lebih tinggi agar partisipasi warga jemaat mengikuti kegiatan dan ibadah gereja bisa ditingkatkan kembali.
Perhatian para petinggi GKPS ke gereja-gereja desa pesisir Danau Toba di Simalungun bukan hanya dari segi pelayanan altar (khotbah), tetapi juga perhatian terhadap pemberdayaan ekonomi, pelayanan kesehatan dan pembinaan karakter para pelayan maupun warga jemaat. Hal itu penting agar warga jemaat GKPS di pesisir Danau Toba Simalungun tidak sampai pindah ke denominasi gereja lain yang kini mengembangkan sayap pelayanan ke desa-desa pesisir Danau Toba Simalungun.
“Gereja-gereja GKPS di desa pesisir Danau Toba merupakan salah satu basis Pekabaran Injil di Tanah Simalungun sejak dulu kala hingga kini. Karena itu gereja – gereja GKPS di desa pesisir Danau Toba Simalungun, khususnya di GKPS Resort Bage jangan sampai dilupakan,”katanya. Semoga harapan warga GKPS Hutaimbaru tersebut menjadi bahan refleksi dan mendapatkan perhatian bertepatan dengan momentum peringatan 121 Tahun Injil di Simalungun, 2 September 1903 – 2 September 2024 ini. Semoga. (Matra/Radesman Saragih).