
(Matra, Simalungun) – Dambaan wisatawan menikmati kembali kejayaan pariwisata desa pesisir Danu Toba, Haranggaol, Kecamatan Haranggaol – Horisan, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara (Sumut) pupuslah sudah. Betapa tidak. Desa Haranggaol yang pernah menjadi destinasi wisata paling favorit di Danau Toba era 1980-an kini benar-benar memprihatinkan.
Pariwisata Haranggol saat ini boleh dikatakan mati suri. Keasrian panorama Haranggaol kini hilanglah sudah. Mengunjungi Haranggaol saat ini tak tampak lagi danau biru, pasir putih memanjang di pantai dan udara segarnya. Kini, di kala memasuki desa wisata Haranggaol, para pengunjung langsung “disambut” tebaran bau tak sedap dan menyengat hingga rasa pengap. Aroma tak sedap itu menebar dari bangkai-bangkai ikan dan pelet (makanan ikan) usaha Keramba Jaring Apung (KJA) atau sering disebut keramba ikan yang memenuhi perairan Haranggaol.
Pantauan medialintassumatera.net (Matra) ketika berkunjung ke Desa Wisata Haranggaol, Simalungun, Sumut, baru-baru ini, hampir 90 % kawasan Danau Toba di teluk Haranggaol dipenuhi keramba ikan. Keramba ikan yang memenuhi teluk Haranggaol mulai dari pantai hingga mencapai beberapa kilometer ke tengah Danau Toba di desa wisata tersebut.
Kepadatan keramba ikan di Danau Toba Haranggaol tersebut tidak hanya menghilangkan keasrian panorama wisata desa wisata itu. Tetapi juga menyulitkan jalur kapal motor (KM) dari desa-desa pesisir Danau Toba yang hendak masuk ke pantai Haranggaol. Selain itu, keramba yang terkesan dijejali di teluk Haranggaol juga membuat kapal atau speedboat (kapal cepat) wisata tak bisa bisa lagi beroperasi mengellilingi kawasan Danau Toba di teluk Haranggaol.
Kemudian kepadatan keramba di Haranggaol itu juga memudarkan segarnya udara dan air. Hal itu terasa ketika medialintassumatera.net (Matra) yang menumpang KM Sumberjaya asal desa pesisir Danau Toba, Hutaimbaru dan Nagoripurba, Kecamatan Pamatangsilimahuta memasuki kawasan perairan Haranggaol, Senin (19/8/2024) pagi.
Para penumpang KM Sumberjaya yang menikmati udara segar mulai dari Hutaimbaru hingga Nagori tiba tiba mendenguskan hidung karena tiba-tiba menghirup bau bangkai ikan dan sisa pelet begitu memasuki perairan Haranggaol sekitar dua kilometr dari pantai.
“Humh, bau, humh bau sekali,…,”kata beberapa penumpang KM Sumberjaya sambil menutup hidung.
Rosli Tondang (60), warga Nagoripurba yang menumpang KM Sumberjaya mengatakan, aroma tak sedap setiap memasuki perairan Haranggaol sudah lima tahun terakhir. Keramba ikan di Haranggaol bertambah terus seperti tak terkendali. Limbah atau bangkai ikan banyak dibuang ke danau, sehingga menebarkan bau tak sedap.
Kemudian padatnya keramba ikan di perairan atau teluk Danau Toba Haranggaol menyebabkan jalur pelayaran kapal sulit serta keindahan pariwisata Haranggaol pun pudar,”ujarnya.

Pesona Pudar
Hal senada juga diakui, St JP Sinaga (75), warga Nagori, Kecamatan Haranggaol – Horisan ketika berbincang – bincang dengan medialintassumatera.net (Matra) di Desa Wisata Haranggaol, Senin (19/8/2024).
JP Sinaga menuturkan, pesatnya pertambahan jumlah keramba di Haranggaol membuat daya pikat atau pesona wisata benar-benar pudar. Belakangan ini sudah sangat jarang rombongan wisatawan berkunjung ke Haranggaol seperti di era 1970 – 1980-an. Kalau dulu, wisatawan manca negara sering datang dari Kota Medan ke Haranggaol dan melanjutkan perjalanan menggunakan kapal wisata ke Kota Wisata Parapat, Simalungun.
“Tetapi puluhan tahun ini wajah-wajah wisatawan mancanegara tak pernah tampak di Haranggaol. Jangankan wisatawan mancanegara, wisatawan nusantara dan local juga sangat jarang melongok Haranggaol,”katanya.
Menurut JP Sinaga, orang luar atau pardolok (orang gunung) yang banyak berkunjung ke Haranggaol saat ini hanya para pemancing. Para pemancing selalu ramai ke Haranggaol. Baik hari-hari biasa, maupun hari minggu maupun libur lainnya. Kemudian sesekali ada juga pengunjung dari kota untuk menikmati wisata kuliner, yakni bakar ikan di Haranggaol.
JP Sinaga menilai, pudarnya pariwisata Haranggaol akibat pengembangan usaha keramba ikan yang tak terkendali juga mematikan usaha penginapan dan hotel di Haranggaol. Hingga kini sudah banyak usaha penginapan di Haranggaol tutup dan dijadikan gudang pelet ikan.
“Saya melihat, wisata Haranggaol tidak ada lagi apa-apanya sekarang, sudah hancur. Berbeda dengan wisata di desa pesisir Danau Toba lainnya yang baru muncul belakangan seperti Desa Wisata Tongging, Kabupaten Karo, Desa Wisata Paropo dan Silalahi, Kabupaten Dairi. Sedangkan bila dibandingkan dengan Kota Wisata Danau Toba Parapat dan Balige, wisata Haranggaol yang dulu jaya kini tidak ada apa-apanya lagi,”ujarnya.
Sementara itu, beberapa warga Desa Haranggaol kepada medialintassumatera.net (Matra) di Haranggaol, baru-baru ini mengungkapkan, pengembangan pariwisata dan usaha keramba ikan di desa wisata tersebut dilematis.
Sebab, pengembangan pariwisata tidak bisa memastikan peningkatan ekonomi rakyat di desa tersebut. Sementara usaha keramba ikan yang sebagian besar dimiliki pemodal sedikit-banyaknya bisa memberikan percikan kepada warga Haranggaol.
“Beberapa kali memang ada pertemuan Bupati Simalungun, Radiapoh Hasiholan Sinaga dengan para pengusaha keramba Haranggaol untuk mengendalikan jumlah keramba demi pengembangan wisata. Namun hingga kini hasilnya tidak ada. Tampaknya warga Haranggaol lebih memilih keramba ketimbang pariwisata,”katanya.

Gagal
Sementara itu berdasarkan catatan medialintassumatera.net (Matra), Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Simalungun di masa kepemimpinan Bupati Simalungun periode 2015 – 2020, Dr JR Saragih, SH, MM penertiban keramba ikan di peisisr Danau Toba wilayah Simalungun mulai dari Kota Wisata Parapat dan Haranggaol sudah pernah dilakukan.
Penertiban usaha keramba ikan tersebut dinilai penting agar jangan sampai melebihi kapasitas daya tampung pantai desa-desa wisata pesisir Danau Toba di Simalungun sangat. Kepadatan keramba ikan di Danau Toba bisa mengganggu kegiatan wisata. Namun upaya tersebut gagal total. Jumlah kermba ikan di Haranggaol terus melonjak hingga sekarang.
Penertiban keramba ikan tersebut juga dilanjutkan Bupati Simalungun terpilih periode 2021 – 2024, Radiapoh Hasiholan Sinaga. Radiapoh Hasiholan Sinaga beberapa kali mengadakan pertemuan dengan pengusaha keramba ikan dan warga Desa Haranggaol terkait pengendalian keramba dan pengembangan wisata. Namun hasilnya tetap nihil.
Pada rapat dengar pendapat mengenai penyelamatan keuangan kekayaan negara/daerah di Provinsi Sumut melalui penertiban pemanfaatan ruang di sekitar kawasan Danau Toba, di kantor Gubernur Sumut, Kota Medan, medio Juli 2023, Radiapoh Hasiholan Sinaga mengaku sulit mengendalikan pertambahan keramba ikan karena itu menyangkut hajat hidup masyarakat.
Menurut Radiapoh Hasiholan Sinaga, penertiban keramba ikan di Haranggaol sangat dilematis. Masalahnya usaha keramba ikan menyangkut ekonomi rakyat. Sementara pemberian izin usaha keramba ikan juga kurang jelas.
Radiapoh Hasiholan Sinaga pada rapat tersebut mengungkapkan, pihaknya sudah memangkas atau mengurangi keramba ikan di Danau Toba wilayah Simalungun hingga 2.000 unit selama 2021 – 2022. Namun pertambahan keramba terus terjadi, bahkan meningkat pesat seperti di Haranggaol.
“Dilema yang kami hadapi menertibkan usaha keramba ikan di Danau Toba, termasuk Haranggaol antara lain, para petani keramba ikan sudah membuka usaha mereka sebelum ketentuan mengenai perizinan keramba ikan di Danau Toba dikeluarkan,”katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) Kabupaten Simalungun, Andri Rahadian yang dihubungi medialintassumatera.net (Matra) mengatakan, Pemkab Simalungun tetap konsisten mengembangkan pariwisata, termasuk di Desa Wisata Haranggaol. Kemudian Pemkab Simalungun juga telah berupaya mengatasi kelebihan kapasitas keramba ikan melalui pendekatan-pendekatan kepada para petani ikan.
“Terkait penertiban keramba yang berlebihan dan terus bertambah, semestinya itu tugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Simalungun. Jika usaha keramba melanggar aturan, tentunya Satpol PP lah yang menertibkan,”katanya.

Sulit Dihempang
Sementara itu, warga Desa Haranggaol yang merupakan salah satu pengusaha keramba ikan mengatakan, Alber Purba (40), mereka sudah membuka usaha keramba ikan di Danau Toba Haranggaol sejak tahun 1998. Usaha keramba ikan tersebut menjadi pilihan kala itu karena tanaman bawang yang sebelumnya menjadi andalan petani Haranggaol punah atau tidak bisa dikembangkan lagi akibat penyakit.
“Usaha keramba ikan inilah yang menopang ekonomi sebagian warga masyarakat Haranggaol. Usaha keramba ikan ini juga membuka lapangan kerja bagi generasi muda. Jadi sulit menghentikan atau menghempang usaha keramba ikan ini,”ujarnya.
Menurut Alber Purba, pemilik keramba di Haranggaol memang banyak juga pemilik modal, yakni mereka para perantau asal Haranggaol. Namun warga Haranggaol sendiri yang dulunya petani bawang juga banyak yang beralih ke usaha keramba ikan. Para petani keramba ikan Haranggaol ada yang memiliki keramba mulai dari skala kecil atau emat unit atau skala besar hingga mencapai 20 unit.
Alber Purba mengatakan, penghasilan para petani keramba ikan di Haranggaol juga cukup menggiurkan. Jumlah keramba ikan di Haranggaol saat ini diperkirakan mencapai 6.000 unit. Produksi ikan jenis ikan nila dari satu keramba rata-rata 1,5 ton sekali panen dalam tempo enam bulan.
Jadi petani keramba ikan bisa mendapatkan penghasilan minimal Rp 6 juta dari setiap satu keramba. Bila dikalikan dengan 6.000 unit keramba, berarti uang yang berhasil diraup seluruh petani ikan keramba di Haranggaol setiap enam bulan mencapai Rp 36 miliar.
“Namun pendapatan itu masih kotor karena belum dihitung biaya membeli benih ikan, pelet dan upah pekerja,”katanya.
Menurut Alber Purba, pendapatan dari usaha keramba ikan itu sama sekali tidak bisa digantikan usaha pariwisata. Karena itu warga Haranggaol lebih mementingkan usaha keramba ikan ketimbang usaha pariwisata.
Tipis Harapan
Melihat dilema ekonomi pengembangan keramba ikan dengan pariwisata di Haranggaol tersebut, nampaknya sudah tipis harapan mengembalikan masa kejayaan pariwisata di Desa Wisata Haranggaol. Tentunya dilema pengembangan pariwisata di Haranggaol ini perlu mendapat perhatian khusus Pemkab Simalungun dan Pemprov Sumut.
Hal itu penting agar Desa Wisata Haranggaol bisa disulap kembali menjadi destinasi wisata unggulan di kawasan Destinasi Wisata Super Prioritas (DWSP) Danau Toba seperti Parapat (Kabupaten Simalungun), Balige (Toba), Pangururan (Samosir), Tongging (Karo), Paropo dan Silalahi (Dairi).
Desa Wisata Balige, Toba sudah dua kali menjadi tuan rumah event (kegiatan) kejuaraan dunia olahraga air, Formula 1 Powerboat (kapal super cepat), yakni 24 – 26 Februari 2023 dan 2 – 3 Maret 2024. Kemudian Tongging, Silalahi, Pangururan dan Balige juga sudah berkesempatan menjadi tuan rumah kejuaran dunia jetsky 13 – 17 November 2024. Sedangkan Haranggaol belum menyicip satu pun event olahraga air kelas dunia tersebut. Padahal teluk Haranggaol termasuk arena terbaik olahraga air kelas dunia itu.
Jika Haranggaol bisa disulap menjadi destinasi wisata prioritas dengan segala kelengkapan sarana dan prasarananya seperti di Balige, Parapat, Tongging, Paropo dan Silalahi, mungkin kejayaan pariwisata Haranggaol bisa dipulihkan dan usaha pariwisata di desa wisata terkenal era 1980 – an tersebut bisa memberikan cipratan rejeki lebih melimpah bagi warga Haranggaol seperti cipratan rejeki dari usaha keramba ikan. Semoga. (Matra/Radesman Saragih).