Direktur MATA Pelayanan Publik Sumut, Abyadi Siregar. (Foto : Matra/Hendrik Hutabarat).

(Matra, Medan) – Rencana pemerintah mengubah sistem pendistribusian pupuk bersubsidi dari pola lama, yakni menebus pupuk langsung di kios-kios resmi menjadi pola baru, memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada petani untuk membeli pupuk nonsubsidi merupakan kebijakan yang tidak tepat dan ngawur (tidak jelas). Perubahan sistem distribusi pupuk bersubsidi tersebut dinilai berpotensi menimbulkan banyak masalah baru.

Demikian dikatakan Direktur MATA Pelayanan Publik Sumatera Utara (Sumut) yang juga mantan Kepala Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Sumut, Abyadi Siregar menanggapi rencana pemerintah mengubah sistem pendistribusian pupuk bersubsidi, di Kota Medan, Sumut, Senin (12/8/2024).

Menurut Abyadi Siregar, sistem lama pendistribusian pupuk yang memberi kesempatan kepada petani membeli (menebus) pupuk bersubsidi ke kios-kios menggunakan Elektronik Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok (E-RDKK) selama ini pun masih sering menimbulkan keributan. Keributan itu sering terjadi karena pupuk sering kosong di kios ketika petani memasuki musim tanam.

“Masalah akan bertambah jika petani diberikan BLT untuk membeli pupuk non subsidi. Sebab harga pupuk nonsubsidi yang sangat mahal tidak akan terjangkau petani melalui BLT yang mereka terima dari pemerintah,”katanya.

Dijelaskan, wacana perubahan sistem pendistribusian pupuk bersubsidi tersebut dilontarkan Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Pandjaitan baru-baru ini. Menurut Luhut Binsar Panjaitan, pemerintah akan mengubah sistem pendistribusian pupuk subsidi dari sistem lama, yakni petani menebus pupuk di kios-kios resmi secara langsung menggunakan E-RDKK menjadi sistem baru, yakni Bantuan Langung Tunai (BLT). Melalui sistem BLT ini, petani membuat rekening per individu dan petani membeli pupuk non subsidi.

Menurut Abyadi Siregar, wacana perubahan sistem distribusi pupuk bersubsidi yang disampaikan Luhut Binsar Panjaitan tersbeut ngawur. Pasalnya, kebijakan yang dijalankan selama ini pun masih membuat petani ribut. Ribut karena pupuk subsidi kosong disaat petani akan menanam.

“Kenapa bukan masalah kekosongan stok pupuk bersubsidi ini saja yang dibenahi. Sehingga administrasi dalam pendistribusian pupuk bersubsidi yang menjadi masalah petani selama ini berjalan baik tanpa dibarengi dengan teriakan petani yang selalu menyebut pupuk kosong,”tegasnya.

Dikatakan, berdasarkan informasi yang selama ini masuk ke Ombudsman Republik Indonesia Sumut, permasalahan pupuk subsidi sebagian besar masalah administrasi. Bukan pupuk yang tidak tersedia.

“Buktinya tahun 2023, pupuk subsidi yang tidak ditebus petani di Sumut jumlahnya mencapai ribuan ton. Pupuk yang tidak ditebus tersebut kan kembali ke negara. Sementara satu sisi petani kesulitan memperoleh pupuk. Hal ini menunjukkan pendataan dalam pengaturan pupuk subsidi tidak beres,”katanya.

Menurut Abyadi Siregar, masalah administrasi pendataan dan pendistribusian pukuk tersebut merupakan keasalahan pemerintah mulai dari penyuluh pertanian. Penyuluh pertanian tidak bisa menyusun data-data petani penerima pupuk bersubsidi dengan baik. Padahal data-data petani penerima pupuk bersubsidi yang dibuat penyuluh pertanian yang disampaikan kepada kepala dinas pertanian kabupaten/kota, provinsi dan pusat (Kementerian Pertanian).

Abyadi Siregar menyayangkan menyayangkan sikap Kepala Dinas Pertanian Provinsi Sumut yang diduga tidak peduli mengenai kesemrawutan data atau pun kekacauan data petani-petani penerima pupuk subsidi di Sumut.

“Kepala Dinas Pertanian Provinsi Sumut sebagai pengkoordinir harus bertanggung jawab bila data-data itu salah. Provinsi harus menegur kabupaten/kota yang telah menyusun data yang salah. Adanya ribuan ton pupuk bersubsidi uang tidak tersalur akibat kesalahan data sangat merugikan petani,”tegasnya.

Dikatakan, alokasi pupuk bersubsidi secaranasional tahun ini ditambah pemerintah menjadi menjadi 9,5 juta ton atau bertambah dari alokasi tahun lalu sekitar 4,5 juta ton. Kalau penambahan alokasi pupuk bersubsidi tersebut tidak bisa ditebus (dibeli) petani, penambahan alokasi pupuk bersubsidi tersebut tidak ada gunanya.

“Kalau pupuk bersubsidi tidak bisa ditebus petani, ya sama saja. Tahun lalu saja alokasi pupuk bersubsidi mencapai 4,5 juta ton masih bersisa. Apalagi sekarang ditambah lagi alokasi pupuk bersubsidi tersbeut. Saya yakin jumlah yang tidak terserap pun makin banyak selama pendataan tidak diperbaiki. Data-data petani penerima kita hanya copy paste (fotokopi) dari data-data sebelumnya,”katanya.

BLT Pupuk

Terkait dengan wacana BLT pupuk yang disalurkan dalam bentuk uang tunai ke rekening petani, Kepala Ombudsman periode 2013-2018 dan 2018-2023 ini mengatakan, hal itu akan membuat distribusi pupuk bersubsidi akan semakin kacau.

Masalahnya, petani penerima tidak akan tepat sasaran. Data-data penerima pupuk bersubsidi bisa saja dibuat berdasarkan unsur kedekatan antara pengurus dengan petani. Kemudian bisa jadi uang yang seharusnya membeli pupuk dialihkan untuk membeli kebutuhan lain di luar pertanian. Misalnya dibelikan emas, dijadikan uang muka pembelian motor atau dipakai untuk berjudi.

Selain itu, lanjut Abyadi, selisih harga pupuk nonsubsidi dengan subsidi yang sangat jauh. Sementara uang yang diberi pemerintah tidak cukup. Hal itu membuat petani akan membeli pupuk abal-abal dengan mengutamakan harga murah.

“Akibatnya, pertanian kita akan semakin kacau. Produksi akan menurun drastis. Ujung-ujungnya pemerintah akan impor beras. Sekarang saja akibat perubahan iklim dan El Nino produksi beras nasional anjlok. Apalagi bila tidak dipupuk dengan pupuk yang baik,”ujarnya.

Abyadi Siregar mengharapkan pemerintah mengkaji lebih serius untuk menerapkan BLT pupuk dalam bentuk uang ke petani.

Sementara itu, Suhardi, petani padi di Desa Bingkat, Kecamatan Pegajahan, Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai) saat dihubungi melalui telepon seluler menegaskan, para petani menolak sistem BLT pupuk yang akan diberlakukan pemerintah.

Menurut Suhardi, sistem yang ada sekarang sudah cukup baik. Petani petani datang ke kios dengan membawa KTP tapi sudah terdaftar di e-RDKK. Dengan syarat itu petani sudah bisa menebus pupuk subsidi. Kemudian, dengan penerapan sistem ini pupuk tidak pindah ke mana-mana. Artinya bila petani tidak menebus maka pupuk akan kembali ke pemerintah.

“Seperti akhir tahun lalu, pupuk masih bersisa dan menjadi stok awal di 2024. Sekarang pupuk setiap saat ada di kios karena diwajibkan,”jelasnya.

Semenara kalau melalui sistem BLT, kata Suhardi, petani harus belajar lagi bagaimana sistemnya. Apakah sistem ini bisa membuat distribusipupuk bersubsidi tepat sasaran atau tidak. Karena, bisa jadi petani penerima adalah orang-orang terdekat dengn pengurus.

“Karena itu saya berharap pemerintah mengkaji lagi mengenai perubahan sistem pendistribusian pupuk subsidi dengan pemberian BLT pupuk,”katanya.(Matra/HH/RS).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *