Jajaran Kejati Kepri mengikuti “zoom meeting” dengan Jampidum Kejagung, Asep Nana Mulyana mengenai pemberian “restorative justice” di kantor Kejati Kepri, Tanjungpinang, Senin (24/6/2024). (Foto : Matra/PenkumKejatiKepri).

(Matra, Tanjungpinang) – Tiga orang pelaku (tersangka) kasus tindak pidana penadahan barang yang ditangani Kejaksaan Negeri (Kejari) Bintan, Kepulauan Riau (Kepri) mendapat pengampunan melalui kebijakan Restorative Justice (Keadilan Restoratif) dari Kejaksaan Agung (Kejagung). Melalui pemberian Restorative Justice tersebut, proses hukum ketiga pelaku penadahan tersebut dihentikan atau dianggap selesai dan ketiga pelaku pun dibebaskan.

Persetujuan pemberian Restorative Justice kepada tiga pelaku penadahan di Bintan tersebut disampaikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejagung), Dr Asep Nana Mulyana, SH, MHum pada zoom meeting (rapat jarak jauh) dengan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Kepri, Teguh Subroto, SH, MH, Senin (24/6/2024).

Zoom meeting yang dilaksanakan di kantor Kejati Kepri tersebutturut dihadiri para pejabat Kejati Kepri, yakni Asisten Pidana Umum (Aspidum), Bayu Pramesti, SH, MH, Kepala Kejaksaan Negeri, Bintan, Andi Sasongko, SH, MHum, Kasi Penerangan Hukum (Penkum) Kejati Kepri, Denny Anteng Prakoso, SH, MH dan para Kepala Seksi (Kasi) di Kejati Kepri.

Kasi Penkum Kejati Kepri, Denny Anteng Prakoso seusai zoom meeting tersebut mengatakan, Kejari Bintan mengajukan satu perkara Tindak Pidana Orang dan Harta Benda (Oharda) dengan tiga orang tersangka.

Selanjutnya Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kepri mengajukan permohonan atau usulan kepada Jampidum Kejagung agar memberikan Restorative Justice kepada tiga orang terdakwa kasus penadahan yang ditangani Kejari Bintan tersebut. Permohonan penghentian proses hukum secara Restorative Justice atau perdamaian tersebut pun disetujui Jampidum Kejagung.

Dikatakan, ketiga tersangka yang mendapatkan Restorative Justice tersebut, Fajar Agusti Bin M Sadri Saputra, terlibat penadahan dan Pasal 480 Ayat (1) KUHP. Kemudian, Rangga Saputra Als Apek Bin Muhamad, terlibat kasus penadahan dan dinyatakan melanggar Pasal 480 Ayat (1) Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Selanjutnya, Silvi Tiara Putri Binti Razali terlibat kasus penadahan dan dinyatakan melanggar Pasal 480 Ayat (1) Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Dikatakan, yarat-syarat yang sudah dipenuhi dalam proses pemberian Restorative Justice tersebut, yakni sudah ada perdamaian antara tersangka dengan korban. Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf. Kemudian tersangka belum pernah dihukum. Selain itu, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana denda atau pidana penjara tidak lebih dari lima tahun.

“Kesepakatan perdamaian dilaksanakan tanpa syarat. Kedua belah pihak sudah saling memaafkan dan tersangka berjanji tidak mengulangi perbuatannya dan korban tidak ingin perkaranya dilanjutkan ke persidangan. Selanjutnya ada juga pertimbangan sosiologis dan masyarakat pun merespon positif penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif tersebut,”ujarnya.

Denny Anteng Prakoso mengatakan, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, Kepala Kejaksaan Negeri Bintan segera memproses penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) yang berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Hal itu sesuai dengan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Menurut Denny Anteng Prakoso, Kejati Tinggi Kepri melakukan penyelesaian perkara tindak pidana dengan mengedepankan keadilan restorative. Keadilan restotarif menekankan pemulihan kembali keadaan semula dan keseimbangan perlindungan, kepentingan korban maupun pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pembalasan.

Keadilan restorative, katanya, juga merupakan suatu kebutuhan hukum masyarakat dan sebuah mekanisme yang harus dibangun dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan dan pembaharuan sistem peradilan dengan memperhatikan azas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan dalam rangka menciptakan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.

“Melalui kebijakan Restorative Justice ini, diharapkan tidak ada lagi masyarakat bawah yang tercederai oleh rasa ketidakadilan. Meskipun demikian perlu juga untuk digaris bawahi bahwa keadilan restoratif bukan berarti memberikan ruang pengampunan bagi pelaku pidana untuk mengulangi perbuatan pidana, ”katanya. (Matra/AdeSM/PKK).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *