Koalisi Penyelamat Pilar Demokrasi Jambi menyampaikan tuntutan dan penolakan hasil revisi UU Penyiaran di halaman gedung DPRD Provinsi Jambi, Kota Jambi, Senin (27/5/2024). (Foto : Matra/KPPD).

(Matra, Jambi) – Kalangan jurnalis dan elemen masyarakat Jambi yang tergabung dalam Koalisi Penyelamat Pilar Demokrasi Jambi melakukan unjuk rasa di ke DPRD Provinsi Jambi, Kota Jambi, Senin (27/5/2024). Mereka menolak hasil revisi Undang-undang (UU) Penyiaran yang dikeluarkan Maret 2024. Jurnalis Jambi menolak revisi UU Penyiaran itu karena melarang penayangan liputan investigasi.

Koalisi Penyelamat Pilar Demokrasi Jambi yang menggelar unjuk rasa tersebut terdiri dari unsur Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jambi, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Jambi, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Jambi, Rambu House, komunitas pers mahasiswa, aktivis, seniman dan masyarakat umum. Mereka silih berganti melakukan orasi di halaman gedung DPRD.

Koalisi Penyelamat Pilar Demokrasi di Jambi tersebut juga membentangkan ejumlah spanduk bertuliskan tuntutan, protes, kritikan dan pernyataan dampak buruk RUU Penyiaran. Spanduk tersebut antara lain berbunyi, “Jangan Larang Liputan Investigasi Eksklusif”, “Tindakan Aparat Brutal Pembungkaman UU Pers” dan hingga “Kembali ke UU No. 40/1999”.

Koalisi Pilar Demokrasi di Jambi juga menilai revisi RUU Penyiaran merupakan ancaman kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Hak masyarakat mendapatkan informasi terkikis bila revisi UU Penyiaran rampung dan disahkan sebagai undang-undang.

Kendali Berlebihan

Ketua IJTI Pengurus Daerah (Pengda) Jambi, Adrianus Susandra pada kesempatan tersebut mengatakan, pemerintah dan dewan perwakilan rakyat, melalui revisi UU Penyiaran menunjukkan sikap mengendalikan kegiatan pers secara berlebihan (overcontrolling).

Revisi UU Penyiaran yang melarang kegiatan investigasi jurnalistik mengkhianati semangat demokratis. Hal tersbeut bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang melindungi kegiatan jurnalistik serta menjamin pemenuhan hak publik atas informasi.

Dikatakan, pada Pasal 50B Ayat 2 revisi UU Penyiaran menyebutkan adanya larangan penayangan konten (hasil liputan) eksklusif jurnalisme investigasi. Larangan ini menunjukkan ketakutan terbongkarnya permasalahan yang penting untuk diketahui publik.

Tidak hanya itu, kata Adrianus Susandra. Larangan penayangan hasil liputan investigasi jurnalistik tersebut juga merupakan bentuk keengganan pemerintah melakukan pembenahan. Alih-alih memanfaatkan produk jurnalistik investigasi eksklusif untuk mengatasi persoalan negara. Kanal informasi tersebut malah dilarang.

“Sikap pemerintah dan wakil rakyat ini merupakan simbol kemunduran kemerdekaan pers karena berusaha membungkam pers melalui revisi UU Penyiaran. Padahal, karya jurnalistik investigasi merupakan karya tertinggi bagi seorang jurnalis,”katanya.

Koalisi Penyelamat Pilar Demokrasi Jambi menggelar unjuk rasa menolak hasil revisi UU Penyiaran di komplek perkantoran Provinsi Jambi, Kota Jambi, Senin (27/5/2024). (Foto : Matra/KPPD).

Pasal Kontroversial

Menurut Adrianus Susandra, UU Penyiaran hasil revisi juga masih mengandung pasal – pasal kontroversial yang mengancam kebebasan pers dan menghalangi tugas jurnalistik.

“Kami memandang pasal yang multi-tafsir dan membingungkan ini menjadi alat kekuasaan untuk membungkam pers dan mengancam kemerdekaan pers,”katanya.

Sementara itu, Ketua PFI Jambi, Irma mengatakan, pada Pasal 50B Ayat 2 Huruf K revisi UU Penyiaran yang berbunyi “Larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik,” berpotensi membungkam dan mengkriminalisasi jurnalis atau pers. Pasal ini juga terkesan rancu sehingga dapat menimbulkan multi-tafsir.

“Karena itu, kami mendesak agar pasal-pasal ‘nakal’ ini segera dihapuskan. Draf revisi ini juga menetapkan kewajiban sensor untuk seluruh isi siaran. Ini bertentangan dengan UU Pers karena seharusnya siaran jurnalistik tidak dikenai sensor,”ujarnya.

Dikatakan, sejumlah pasal dalam draf revisi UU Penyiaran juga berpotensi menciptakan tumpang tindih kewenangan antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers. Pasal 8 Ayat 1 disebutkan bahwa KPI berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Pasal ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya yang berkaitan dengan fungsi Dewan Pers.

“Kami khawatir, Komisi I DPR merancang draf ini demi mengutamakan kepentingan pemodal, dengan mengabaikan kepentingan publik. Karena itu, kita harus menolaknya sebelum penyusunan draf dinyatakan tuntas,”katanya.

Sedangkan menurut Ketua AJI Jambi, Suwandi alias Wendi mewanti-wanti (mewaspadai) KPI menjadi lembaga powerfull (kekuatan penuh) yang dapat membatasi kebebasan berekspresi, membatasi hak publik untuk mendapatkan informasi hingga dapat melakukan kriminalisasi. Apalagi perekrutan komisioner KPI tingkat pusat dan daerah rawan disusupi partai politik dan kelompok ‘jahat’ yang mengabaikan hak publik.

“Sengketa pers yang akan ditangani KPI bertentangan dengan UU Pers dan dapat digunakan penguasa otoritarianisme untuk membungkam kritik. Artinya, semakin banyak jurnalis yang akan dipenjara karena berita,”katanya.

Suwandi mengatakan, revisi UU Penyiaran seharusnya dirancang dengan partisipasi publik. Namun, Komisi I DPR malah merancang revisi UU Penyiaran dengan tidak berpijak pada asas kepentingan publik atau masyarakat umum.

“Revisi UU Penyiaran tidak akan mendapat penolakan dari banyak pihak jika prosesnya dilakukan dengan benar yakni memberi ruang partisipasi publik. Tentu jika ingin mengatur karya jurnalistik harus melibatkan organisasi jurnalis dan dewan pers serta aktivis-aktivis yang peduli pada isu Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan ekspresi, perempuan, anak dan kelompok minoritas,”katanya.

Keresahan Masyarakat

Sementara itu perwakilan masyarakat dari Koalisi Pilar Demokrasi Jambi, Ismet Raja pada kesempatan itu mengatakan, keresahan atas revisi UU Penyiaran tidak hanya dirasakan kalangan juralis, tetapi juga masyarakat. Masyarakat khawatir banyak informasi penting yang tidak bisa dijangkau publik imbas (akibat) larangan jurnalisme investigasi. Padahal, berbagai kasus dan kejahatan terbongkar di tengah masyarakat karena jurnalisme investigasi dan kebebasan pers.

Menurut Ismet Raja, nonjurnalis juga harus menyuarakan penolakan revisi Penyiaran. Dia khawatir bila revisi UU Penyiaran itu rampung dan disahkan, UU Penyiaran itu dapat menjadi instrumen negara untuk melakukan kriminalisasi.

“Gaung penolakan atas revisi UU Penyiaran semakin meluas. Sebab itu, kita harus sangat merespons kejanggalan undang-undang yang diatur negara yang akan mengkriminalisasi hak-hak siar sebagai kita umat manusia. Aladabu powko ilmi (adab itu lebih tinggi dari pada ilmu),”katanya.

Pada kesmepatan itu Koalisi Penyelamat Pilar Demokrasi Jambi menyampaikan serua dan tuntutan, menolak tegas draf revisi UU Penyiaran versi Maret 2024. Koalisi Penyelamat Pilar Demokrasi Jambi juga menyerukan pemerintah pusat dan DPR berhenti membungkam pers atau mengikis hak masyarakat mendapatkan informasi.

Koalisi Penyelamat Pilar Demokrasi Jambi juga mendesak DPR mengkaji dan merancang ulang revisi UU Penyiaran dengan mementingkan asas kebebasan pers dan kepentingan masyarakat serta tidak mengkhianati UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Kami juga mendesak DPR menghapus pasal-pasal problematik yang berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi. DPR harus melibatkan masyarakat, organisasi jurnalis, dan Dewan Pers dalam perancangan revisi UU Penyiaran,”katanya. (Matra/AdeSM).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *