Kajati Kepri, Dr Rudi Margono, SH, MH (tengah) memberikan penjelasan mengenai “restorative justice” kasus penganiayaan di Kejati Kepri, Selasa (2/4/2024). (Foto : Matra/PenkumKejatiKepri).

(Matra, Tanjungpinang) – Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Kepulauan Riau (Kepri), Dr Rudi Margono, SH, MH mengabulkan permohonan restorative justice (keadilan restortif) dari pelaku penganiayaan. Pengajuan retorative justice tersebut disampaikan Cabang kejaksaan geri (Kejari) Tarempa, Kepri.

Kebijakan pemberian retorativ justice di akhir masa jabatannya sebagai Kajati Kepri itu disampaikan Rudi Margono kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejagung) RI yang diwakili Direktur Tindak Pidana Orang dan Harta Benda (OHARDA) Jampidum Kejagung, Nanang Ibrahim Soleh, SH, MH melalui sarana virtual di Kejati Kepri, Selasa (2/4/2024).

Ekspose (pemaparan) mengenai restorative justice tersebut turut dihadiri Wakajati Kepri, Rini Hartatie, SH, MH, Aspidum, Bayu Pramesti, SH, MH, Kasi Oharda, Kasi Teroris dan Lintas Negara Kejati Kepri. Sedangkan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri Tarempa, Niky Junismero, SH, MH mengikuti ekspose tersebut secara virtual.

Kepala Seksi (Kasi) Penerangan Hukum (Penkum) Kejati Kepri, Denny Anteng Prakoso, SH, MH di Kejati Kepri, Selasa (2/4/2024) menjelaskan, Cabang Kejaksaan Negeri Tarempa mengajukan satu perkara Tindak Pidana Orang dan Harta Benda (Oharda) dengan tersangka Roni als Roni bin Burhan. Tersangka melakukan tindak pidana penganiayaan yang melanggar Pasal 351 KUHP.

Dikatakan, Jampidum Kejagung menyetujui penghentian penuntutan kasus penganiayaan berdasarkan restorative justice dengan pertimbangan hukum, pihak pelaku dan korban penganiayaan sudah melakukan perdamaian. Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf.

Kemudian, katanya, tersangka belum pernah dihukum dan baru baru pertama kali melakukan tindak pidana. Selain itu, ancaman pidana denda atau pidana penjara terhadap tersangka tidak lebih lima tahun. Kesepakatan perdamaian dilaksanakan tanpa syarat. Kedua belah pihak sudah saling memaafkan dan tersangka berjanji tidak mengulangi perbuatannya. Korban pun tidak ingin perkaranya dilanjutkan ke persidangan.

“Penghentian proses hukum kasus ini juga dilakukan berdasarkan perimbangan sosiologis. Masyarakat merespon positif penghentian perkara berdasarkan keadilan restoratif,”ujarnya.

Menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, lanjut Denny Anteng Prakoso Kepala Cabang Kejaksaan Negeri Tarempa harus segera memproses penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan Keadilan Restoratif. Hal itu merupakan perwujudan kepastian hukum dan kemanfaatan hukum sesuai dengan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Dijelaskan, Kejati Kepri melakukan penyelesaian perkara tindak pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif. Penyelesaian perkara tindak pidana tersebut juga menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dengan mempertimbangkan keseimbangan perlindungan, kepentingan korban, maupun pelaku tindak pidana tanpa berorientasi pada pembalasan.

Denny Anteng Prakoso mengatakan, keadilan restoratif merupakan kebutuhan hukum masyarakat dan sebuah mekanisme yang harus dibangun dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan dan pembaharuan sistem peradilan dengan memperhatikan azas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.

“Hal itu penting dalam rangka menciptakan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat. Kebijakan restoratif justice ini diharapkan tidak lagi membuat masyarakat bawah tercederai oleh rasa ketidakadilan. Namun demikian perlu juga untuk digaris-bawahi bahwa keadilan restoratif bukan berarti memberikan ruang pengampunan bagi pelaku pidana untuk mengulangi perbuatan pidana,”katanya. (Matra/AdeSM/PenkumKejatiKepri).

0204FotoKajatiKepriRudiMargonoSantai-1024x872.jpeg

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *