Oleh : Exaudi Situmorang, SPd
(Magister Pendidikan Ekonomi, Fakultas Ekonomi,Universitas Negeri Jakarta)
Pengantar
Masyarakat Indonesia cukup dikagetkan dengan adanya rencana kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN ) dari sebesar sebelumnya 10 % menjadi 11 % tahun 2022. Kemudian tariff PPN tersebut akan dinaikkan lagi menjadi 12 % tahun 2025. Kenaikan PPN tersebut disampaikan Menteri Perekomonian Indonesia, Airlangga Hartanto. Kebijakan ini sesuai dengan yang tertuang pada Undang-Undang (UU) Harmonisasi Perpajakan (HPP).
Langkah Pemerintah menaikkan PPN ini dimaksudkan menambah jumlah penerimaan negara yang bersumber dari pajak. Kita tahu bahwa komponen penerimaan terbesar negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah dari sektor pajak. Hampir 83,5 % sumber APBN tahun 2022 berasal dari pajak. Selebihnya penerimaan negara bukan pajak dan hibah.
PPN adalah salah penyumbang terbesar setelah pajak Pajak Penghasilan (PPh). PPN merupakan biaya tambahan yang harus dibayarkan konsumen saat membeli barang. Pajak PPN biasanya dipungut dari restoran dan tempat hiburan. Pajak dipungut oleh negara dan dikelola oleh Kementertian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Pajak yang dipungut negara tersebut nantinya akan dialokasikan sesuai fungsinya seperti untuk belanja ASN/TNI POLRI, belanja modal, belanja barang, hibah, cicilan utang, pendidikan gratis, kesehatan, sarana dan prasarana umum.
Kemudian untuk anggaran biaya pembangunan infrastruktur, subsidi energi dan non energi serta banyak manfaat lainnya. Untuk mendukung kelancaran pengalokasian dana dalam APBN tersebut, maka pemerintah mengambil langkah konkrit dengan salah satunya adalah menaikkan tarif pajak PPN.
Tantangan Pengusaha
Rencana Pemerintah menaikkan tarif PPN ini akan menjadi suatu tantangan yang cukup besar bagi para pelaku usaha dan masyarakat, terutama dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Dari sisi produsen tentunya hal ini berpengaruh terhadap menurunnya pendapatan karena harga barang akan semakin mahal dan masyarakat mengurangi konsumsi.
Pajak adalah salah satu komponen biaya dalam perusahaan. Ketika tarif pajak PPN naik, maka harga bahan baku, mesin dan peralatan lain yang menyokong operasional perusahaan juga akan naik. Langkah antisipatif yang dapat dilakukan perusahaan adalah menaikkan harga atau menurunkan jumlah produksi. Kedua Langkah ini ibarat boomerang untuk perusahaan karena salah satunya tidak ada yang menguntungkan.
Masyarakat sebagai konsumen juga sangat terdampak dengan adanya rencana kebijakan ini, terutama masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah dan berpenghasilan tetap setiap bulannya. Kenaikan tarif pajak PPN akan mengakibatkan melambungnya harga barang kebutuhan pokok. Kenaikan harga barang yang tidak diikuti dengan kenaikan upah/gaji akan mengurangi daya beli masyarakat.
Menurunnya daya beli dan kualitas konsumsi masyarakat akan mengurangi keuntungan perusahaan. Sebagai akibatnya, produktivitas perusahaan akan semakin rendah. Jika hal ini dibiarkan secara terus menerus tentu akan berdampak buruk bagi keberlangsungan perusahaan. Meningkatnya angka pengangguran dan bertambahnya jumlah masyarakat miskin merupakan indiktor yang tampak jelas sebagai akibat kenaikan harga barang.
Pandemi Covid-19 yang terjadi selama lebih dari dua tahun yaitu pada 2020-2022 sudah melumpuhkan ekonomi global termasuk perekonomian Indonesia. APBN yang menjadi tumpuan perekonomian kala itu akhirnya goyah dan berakhir pada defisit anggaran. Hal itu tak terhindari karena sumber penerimaan negara yang sangat minim.
Penerimaan negara minim akibat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang terpaksa memberhentikan kegiatan masyarakat termasuk perusahaan. Di sisi lain, pemerintah terus menggelontorkan dana yang cukup besar untuk fokus pada penanganan Covid-19. Hal ini sampai mengakibatkan krisis keuangan negara selama bertahun-tahun.
Reformasi Perpajakan
Selain masalah di atas, naiknya tarif PPN juga sebagai bagian dari upaya reformasi perpajakan dan menaikkan penerimaan perpajakan. Kenaikan pajak PPN tersebut diharapkan akan menaikkan penerimaan negara hingga Rp 350 triliun. Namun di tengah ketidak-pastian global, kebijakan kenaikan tersebut diproyeksikan akan memperlambat pertumbuhan ekonomi karena rendahnya konsumsi masyarakat.
Pengamat ekonomi berpendapat bahwa kebijakan menaikkan PPN ini merupakan “jalan pintas”. Hal lain yang lebih buruk adalah munculnya masyarakat miskin baru. Masyarakat menengah ke bawah akan terpaksa mengalokasikan tabungannya untuk konsumsi sehari-hari.
Pemerintah optimis bahwa kenaikan tarif PPN ini adalah demi kebaikan masyarakat. Pemerintah berjanji akan mengalokasikan dana tersebut sebaik mungkin dan sebesar-besarnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat berharap semoga dengan kenaikan tarif PPN ini akan memberi dampak baik bagi perekonomian Indonesia.
Kenaikan PPN tersebut juga diharapkan dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, tidak digunakan untuk hal yang sifatnya tidak produktif. Seperti tagline (slogan) yang diserukan pihak perpajakan, yaitu “pajak kita untuk kita’.***