Oleh: Yulfi Alfikri Noer, SIP, MAP*
Pengantar
Kritikan terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) memang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses demokrasi. Sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu), KPU harus siap menghadapi berbagai macam pandangan dan kritik yang datang dari berbagai pihak, termasuk dari peserta pemilu, pengamat dan masyarakat umum.
Terkadang, kritik terhadap KPU bisa menjadi sangat beragam dan bahkan kontroversial. Namun, penting bagi kita untuk memahami bahwa dalam sebuah negara demokrasi, menyampaikan kritik merupakan hak yang dilindungi dan seharusnya dihargai. Kritik yang konstruktif dapat menjadi dorongan bagi KPU untuk terus berinovasi dan memperbaiki kinerja.
Menghadapi kritik, KPU juga harus memastikan bahwa mereka tetap menjalankan tugasnya dengan integritas dan profesionalisme. Mereka perlu menyadari bahwa keputusan-keputusan yang mereka ambil dapat memiliki dampak yang signifikan bagi jalannya proses demokrasi.
Meskipun kritik terhadap KPU mungkin akan selalu ada, terutama dari pihak yang merasa dirugikan oleh keputusan-keputusan lembaga tersebut, namun otoritas dan independensi KPU harus tetap dihormati. KPU memiliki kewajiban menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan hukum dan prinsip-prinsip demokrasi, tanpa terpengaruh tekanan politik atau kepentingan-kepentingan tertentu.
Menyalahkan
Pihak yang kalah mengikuti kontestasi politik di Indonesia cenderung menyalahkan KPU. Hal ini bisa dipahami sebagai bagian dari dinamika politik yang ada di setiap negara demokratis. Namun sikap menyalahkan tersebut diharapkan tidak membuat KPU goyah. Sebab pada hakekatnya KPU merupakan lembaga yang bertugas menjaga integritas dan keadilan dalam proses pemilu, bukan sebagai pemain politik yang bersaing.
KPU tentunya tidak dapat memuaskan semua pihak. Namun keputusan-keputusan KPU haruslah berdasarkan pada upaya untuk menyelenggarakan pemilu yang berkualitas dan adil bagi seluruh warga negara. Hanya dengan cara ini, KPU dapat memenuhi harapan dan kepercayaan rakyat Indonesia terhadap lembaga ini, yakni sebagai penjaga demokrasi yang teguh dan kredibel.
Hasil pemilu bisa dinyatakan batal manakala kecurangan pemilu signifikan (cukup besar atau massif). Karena itu integritas proses demokratis harus dijaga dengan ketat untuk memastikan bahwa pemilu merupakan representasi (wujud) politik yang adil dan akurat sesuai kehendak rakyat. Dalam konteks ini, keputusan KPU yang berkualitas menjadi sangat penting.
Karena keputusan KPU tidak hanya mempengaruhi hasil pemilihan tetapi juga memastikan integritas keseluruhan sistem demokratis. Kecurangan dalam bentuk apapun, mulai dari intimidasi pemilih hingga manipulasi suara, tentunya merusak fondasi demokrasi dan mempengaruhi legitimasi pemerintahan yang terpilih.
Dibatalkan
Beberapa pemilihan kepala daerah di Indonesia pernah dibatalkan atau diadakan pemungutan suara ulang akibat terbuktinya kecurangan. (Sumber: Media Indonesia). Sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan hasil pemilu atau memerintahkan pemilu ulang. Misalnya pembatalan hasil pemilihan gubernur (Pilgub) ulang di Provinsi Jawa Timur tahun 2008.
Hasil Pilgub Jawa Timur saat itu menyatakan calon gubernur, Khofifah Indar Parawansa kalah. Namun hasil pilgub tersebut dibatalkan MK dan dilakukan pemilu ulang dam Khofifah Indar Parawansa menang. Kemudian ada kasus pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Bengkulu Selatan yang pemenangnya didiskualifikasi.
Karena itu kandidat yang berada di peringkat kedua langsung naik menjadi pemenang. Hal serupa terjadi pada Pilkada Kota Waringin Barat. Pemenang pilkada juga didiskualifikasi dan dilakukan pemungutan suara ulang.
Selain itu, MK juga memerintahkan pemungutan suara ulang pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Provinsi Jambi tahun 2020. Jadi banyak kasus lain di mana terjadi pemilihan ulang.Baik itu untuk daerah tertentu, desa tertentu, atau kasus-kasus lain yang memerlukan koreksi atas hasil pemilihan yang telah dilakukan. Hal ini menunjukkan pentingnya pengawasan yang ketat dan perlindungan terhadap proses demokratis untuk memastikan integritas dan keadilan dalam setiap pemilihan.
Kemudian sengketa hasil pemilihan umum presiden juga terjadi di Indonesia. Pada Pemilu 2014, calon presiden Prabowo Subianto mengajukan Permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden. Prabowo Subianto juga mengajukan gugatan yang serupa ke MK pada waktu itu. Namun, MK menolak seluruh gugatannya. Sembilan hakim konstitusi secara bulat menolak permohonan pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa.
Pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto – Sandiaga Uno kembali mengajukan PHPU pada Pemilu 2019. Dia juga mengajukan gugatan serupa ke MK. Namun MK memutuskan menolak seluruh gugatan tersebut. Secara garis besar, meskipun substansi gugatan Prabowo Subianto pada Pemilu 2014 dan 2019 serupa, tapi tidak sama.
Meskipun terdapat persamaan dalam substansi gugatannya, seperti dugaan kecurangan dan ketidak-beresan penyelenggaraan pemilu, namun konteks politik dan peristiwa yang terjadi di sekitarnya berbeda. Hal itu mempengaruhi dinamika dan resonansi gugatan tersebut dalam masyarakat (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190612132836-32-402673) .
Pengawasan Berlapis
Perlu dicatat bahwa pemilu saat ini sudah dikontrol (diawasi) secara berlapis. Ada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bertugas memantau dan menanggapi pelanggaran pemilu. Kemudian ada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memiliki wewenang untuk mengadili pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.
Selain itu, ada juga pemantau yang diperbolehkan masuk ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memastikan keberlangsungan proses pemilu berjalan dengan adil dan transparan. Kemudian penghitung cepat juga hadir memberikan perkiraan hasil pemilu dengan cepat meskipun tidak bersifat resmi. Dengan demikian, struktur pengawasan yang kuat dan beragam ini integritas dan keadilan pelaksanaan pemilu.
Terakhir, MK memegang peran penting menyelesaikan sengketa pemilu yang mungkin timbul setelah pemungutan suara. Melalui kontrol yang berlapis tersebut proses pemilu diharapkan dapat berjalan lebih terjamin dan integritasnya dapat dijaga lebih baik. Sistem kontrol berlapis pelaksanaan pemilu juga mencerminkan komitmen pemerintah dan masyarakat menjaga demokrasi yang sehat dan kuat.
Dengan memperkuat lembaga-lembaga pengawasan dan penegakan hukum terkait pemilu, kita dapat mengurangi risiko terjadinya manipulasi atau kecurangan yang dapat mengganggu integritas proses demokratis. Namun demikian, sistem kontrol juga perlu terus ditingkatkan dan diperbaharui sesuai perkembangan zaman dan tantangan yang muncul.
Perbaikan proses pemilu terus-menerus, termasuk perbaikan mekanisme pengawasan, merupakan investasi jangka panjang guna memperkuat fondasi demokrasi kita. Jadi melalui kerja sama antara berbagai lembaga dan pemangku kepentingan disertai komitmen memperbaiki sistem, kita dapat memastikan bahwa pemilu di negara kita tetap menjadi sarana yang efektif mengekspresikan kehendak rakyat dan memperkuat fondasi demokrasi yang inklusif dan berkelanjutan. Tentunya kita mengharapkan pemilu di masa-masa yang akan datang bisa terlaksana lebih transparan, adil dan dapat dipercaya.***