(Matra, Jakarta) – Seluruh Komisi Pemilihan Umum (KPU) provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia diminta mengawasi ketat praktik kecurangan pada pemungutan dan penghitungan suara Pemilu Serentak 2024. Potensi kecurangan yang perlu mendapat perhatian khusus terutama pada tahapan sebelum pemungutan suara dan masa tenang. Kemudian pengawasan selama pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara.
Permintaan tersebut disampaikan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Pusat, Rahmat Bagja pada Bimbingan Teknis (Bimtek) Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolahan Suara dan Penetapan Perolehan Kursi serta Calon Terpilih pada Pemilu Serentak 2024 di Jakarta, Minggu (4/2/2024).
Menurut Rahmat Bagja, menjelang masa tenang pemilu yang berlangsung pada 11 – 13 Februari 2024, penyelenggara pemilu harus meningkatkan kewaspadaan terhadap berbagai praktik kecurangan pemilu. Potensi kecurangan yang biasanya gencar terjadi pada masa tenang pemilu antara lain serangan fajar dan serangan malam. Kasus-kasus kecurangan seperti banyak terjadi pada Pemilu 2019 bisa juga terjadi pada Pemilu 2024 ini.
“Selain itu, tahapan masa tenang juga membuat kita was-was berbagai kendala pelaksanaan pemungutan suara. Terkadang teman-teman juga deg-degan (khawatir) terkait kekurangan logistik, pelaksanaan plan (rencana) a, b dan c. Jadi asa tenang membuat kita tidak tenang. Karena itu kita harus sama-sama bertukar informasi jika menghadapi masalah pemungutan suara,”ujarnya.
Dijelaskan, permasalahan yang banyak terjadi pada tahapan masa tenang Pemilu 2019, yakni adanya formulir C6 (Surat Pemberitahuan Pemungutan Suara) yang belum terdistribusi. Kemudian masih terdapat Alat Peraga Kampanye (APK). Masih ada kegiatan kampanye dimasa tenang. Kemudian kurangnya aturan jelas terkait kerja sama penyelenggara pemilu dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), khususnya kaitan dengan anggaran penurunan APK.
Rahmat Bagja mengatakan, pada tahap pelaksanaan pemungutan suara juga sering terjadi kerawanan kerawanan. Misalnya Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) membuka dan menutup tempat pemungutan suara (TPS ditutup tidak tepat waktu. Kemudian logistik pemilu masih belum siap di TPS, surat suara kurang dan surat suara yang tertukar.
“Pengalaman di lapangan selama ini, sekitar 10 % kerawanan pemilu merupakan pelanggaran administrasi KPPS. Contohnya, Ketua KPPS tidak mengambil sumpah petugas KPPS. Seharusnya hal tersebut dilaksanakan sebelum pemungutan suara. Kemudian surat suara tidak dihitung lagi. Pada Pemilu 2019, surat suara daerah pemilihan DPRD di KPU Depok tertukar,”katanya.
Ditambahkan, petugas penyelenggara pemulu, khusunya petugas KPPS juga harus memperhatikan masalah soal kekeliruan atau kurangnya pemahaman pengisian formulir C1 (sertifikat hasil) Pleno & salinan C1 hologram. Kurangnya konsentrasi pengawas TPS dan petugas KPPS juga harus diperhatikan. Kurangnya konsentrasi itu bisa saja terjadi karena jumlah formulir yang banyak, yakni lima jenis pemilihan dan petugas KPPS kelelahan.
“Memang saat ini KPPS dipermudah mengisi formulir karena diseiakan printer dan scanner. Namun kekeliruan pengisian formulir tetap rawan kesalahan. Sebab komputer bisa saja rusak, ngadat (terganggu) dan mati lampu. Kami mengingatkan agar printer atau scanner di TPS dipastikan benar-benar berfungsi,”ujarnya.
Rahmat Bagja mengatakan, kehadiran pengawas TPS penting pada saat pemungutan dan penghitungan suara. Pengawas TPS harus bekerja dengan telaten mencegah kesalahan dan kecurangan. Kalau ada kritik pengawas, hal itu merupakan dukungan agar kinerja petugas KPPS lebih baik.
Rahmat Bagja mengharapkan pengawas dan penyelenggara pemilu tetap bisa bekerja sama dengan baik. Jika terjadi pendapat yang berbeda, hal itu bisa dituliskan di formulir keberatan. Tidak usah kemudian terjadi perdebatan hingga memakan waktu.
“Karena waktu terus bergulir dan yang kita hadapi sama. Untuk itu kita harus bekerja sama. Kita ini adalah kawan seperjuangan karena kita di rumah yang sama, rumah penyelenggara pemilu,”katanya. (Matra/AdeSM/HumasBawaslu).