Radesman Saragih (Dok).

                                          Oleh : Radesman Saragih, SSos *

Pengantar

Pemerintah Indonesia selama era reformasi ternyata belum sepenuhnya bisa memberantas korupsi secara memuaskan. Sejak reformasi bergulir di Tanah Air 1998, Indonesia sudah lima kali melakukan pemilihan umum (Pemilu), yakni Pemilu 1999, 2004, 2009, 2014 dan 2019. Namun kasus korupsi tak kunjung bisa ditumpas hingga ke akar-akaranya.

Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa praktik korupsi masih tetap menjadi persoalan klasik yang sulit diberantas di tengah pembangunan bangsa kita hingga memasuki Pemilu 2024. Sama seperti masa-masa pemerintahan Orde Baru, korupsi juga masih menggurita di era reformasi. Padahal pemberantasan korupsi di era reformasi sudah dilakukan dengan khusus melalui pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sulitnya pemberantasan korupsi di era reformasi ini tercermin dari masih banyaknya kasus – kasus korupsi yang terungkap ke permukaan. Selama tahun 2023, KPK mengungkap 85 kasus korupsi dan suap di berbagai daerah di Tanah Air. Dari 85 kasus tersebut, terdapat lima kasus korupsi dan suap kelas kakap dengan nilai kerugian negara sekitar Rp 16,2 miliar. Kasus korupsi dan suap tersebut melibatkan oknum bupati, wali kota, anggota DPR RI, pejabat lembaga penegak hukum dan pejabat kementerian negara. (KPK.go.id).

Sementara itu, selama tahun 2023, Polri berhasil mengungkap dan menangani kasus korupsi hingga 431 kasus dengan total nilai kerugian negara sekitar Rp 3,6 triliun. Kasus korupsi tersebut melibatkan oknum-oknum pegawai, pejabat pemerintah maupun anggota DPRD dan DPR yang memiliki posisi atau jabatan strategis. (DivisiHumasPolri).

Sedangkan berdasarkan data Lembaga Pemantau Korupsi Indonesia (Indonesian Corruption Watch/ICW) tahun 2023, kerugian negara akibat kasus korupsi di Indonesia selama 10 tahun terakhir (2013 – 2022) mencapai Rp 230 triliun. Sedangkan kasus korupsi yang dicatat ICW tahun 2022 ada sekitar 2.056 kasus dengan jumlah terdakwa 2.249 orang dan kerugian keuangan negara sekitar Rp 48,81 triliun.

Tingginya kasus korupsi tersebut membuat peringkat Indonesia dalam hal pemberantasan korupsi melorot. Hingga tahun 2023, Indonesia berada pada peringat 110 dari 180 negara yang dinilai tidak mampu memberantas korupsi dengan maksimal. Bahkan Indonesia masuk kategori negara paling terkorup di dunia. (Antikorupsi.org).

“Shock Therapy”

Berbagai strategi dan kebijakan tegas sudah diterapkan pemerintah (penegak hukum) menangani kasus korupsi. Beberapa strategi yang ditempuh penegak hukum meredam kasus korupsi, yakni membuat efek jera (shock therapy) melalui pemberian sanksi hukum yang berat, pencabutan hak politik bagi kepala daerah dan anggota DPRD yang terlibat korupsi serta memiskinkan para pelaku korupsi melalui penyitaan asset atau kekayaan terpidana korupsi.

Kejaksaan Agung selama tahun 2023 berhasil menyelamatkan keuangan negara dan kerugian perekonomian negara hingga Rp 29,98 triliun melalui penyitaan aset para pelaku korupsi. Kemudian penyelamatan kerugian keuangan dan perekonomian negara dari tangan koruptor dalam bentuk dolar mencapai USD 5,39 juta, dolar Singapura sekitar SGD 364.200, mata uang Eropah sekitar EU 4.290, ringgit Malaysia sekitar RM 52.638 dan mata uang negara lainnya, W24.000 dan PF56.

Aset yang disita tersebut bukan hanya berupa uang, tetapi juga barang atau material. Penyitaan aset itu merupakan salah satu upaya mengembalikan kerugian keuangan negara sekaligus memiskinkan para pelaku korupsi.

Shock therapy tersebut sejatinya diharapkan bisa membuat aparatur hingga pejabat pemerintah maupun swasta berpikir dua kali untuk melakukan korupsi. Namun dalam kenyataan praktik korupsi masih terjadi dan diperkirakan bakal masih terus terjadi di Indonesia yang kita cintai ini.

Pemicu

Masih maraknya praktik korupsi di Tanah Air hingga saat ini kerap membuat berbagai kalangan masyarakat bingung. Kebingungan muncul karena para pelaku korupsi umumnya tidak hanya dijatuhi sanksi secara hukum berat, tetapi juga diberikan sanksi sosial melalui publikasi di berbagai media massa. Namun kasus korupsi masih terus terjadi.

Lantas muncul pertanyaan. Mengapa masih banyak orang yang notabene sudah punya jabatan baik, penghasilan besar dan hidupnya tampak sudah senang penuh gelimang kemewahan masih tersandung kasus korupsi. Tidakkah para pelaku korupsi tersebut berpikir betapa besarnya kerugian negara maupun kesulitan hidup orang miskin akibat korupsi yang mereka lakukan ?

Menjawab pertanyaan tersebut tentunya cukup sulit. Masalahnya pemicu seseorang melakukan korupsi cukup banyak, kompleks. Berdasarkan kajian Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, umumnya korupsi terjadi akibat sifat keserakahan, ketamakan dan rasa tidak pernah puas (greedy) seseorang.

Kemudian korupsi juga sering terjadi akibat adanya kesempatan seseorang yang memegang jabatan strategis (opportunity). Selain itu kebutuhan material (need) yang berlebihan juga kerap menggoda seseorang melakukan korupsi. Selanjutnya penanganan (exposure) kasus korupsi yang tidak membuat efek jera juga membuat orang tidak takut korupsi.

Sifat serakah, moral lemah yang disertai dengan pola atau gaya hidup hidup materialistis, mewah dan konsumtif, kemudian ada peluang atau kesempatan (aji mumpung) dan sanksi terhadap pelaku korupsi dinilai tidak memberatkan, membuat seseorang cepat tergiur melakukan korupsi. Selain itu sikap mental menerabas alias mencari jalan pintas untuk memperkaya diri sendiri juga banyak memicu kasus korupsi.

Melihat kompleksnya faktor pemicu praktik korupsi tersebut, pendapat mengenai kemustahilan pemberantasan korupsi tersebut pun serap muncul. Banyak orang yang bersikap pesimis terkait keberhasilan pemberantasan korupsi sesuai tujuan cita-cita reformasi.

Pendapat pesimis tersebut muncul sebab sejak pemerintahan Indonesia di masa era reformasi dipimpin Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tahun 1999 hingga era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dua periode 2014 – 2019 dan 2019 – 2024, kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara masih bermunculan. Di tengah ketegasan penegak hukum mengganyang korupsi belakangan ini, justru oknum menteri kabinet pemerintahan Jokowi malah terlibat kasus korupsi.

Kelemahan

Salah satu kelemahan penanggulangan korupsi di Indonesia terletak pada masih maraknya praktik kolusi, nepotisme dan gratifikasi (suap) di berbagai lembaga pemerintahan. Namun praktik yang terselubung tersebut jarang terungkap ke permukaan. Praktik kolusi dan dan nepotisme dalam rekrutmen pegawai misalnya menjadi salah satu peyebab oknum aparatur pemerintah maupun oknum pejabat bisa tergiur dan terjebak praktik korupsi.

Betapa tidak. Untuk mengembalikan suap atau sogokan ketika hendak masuk menjadi pegawai pemerintah, seorang oknum pegawai pemerintah berpotensi memiliki niat melakukan korupsi atau menerima suap dari oknum-oknum tertentu dalam pengurusan pelayanan publik. Oknum pegawai dan pejabat seperti itu juga sering kali tergiur menerima gratifikasi dari para oknum pengusaha yang melakukan pengurusan izin-izin usaha.

Praktik suap alias sogok untuk urusan administrasi pelayanan publik yang sangat marak di era pemerintahan Orde Baru tersebut masih sering terjadi hingga kini, kendati skala dan frekuensinya semakin berkurang. Walaupun berbagai lembaga pemerintah/negara sudah banyak menerapkan sistem online atau digitalisasi dalam pengadaan barang dan jasa serta pengurusan berbagai surat-surat penting, praktik pemberian “uang terima kasih” yang sepertinya dianggap menjadi suatu kewajiban tersebut masih kerap terjadi.

Kemudian kelemahan lain penanggulangan korupsi di tengah dunia politik masa kontemporer ini, yakni masih seringnya terjadi money politic (politik uang) setiap menjelang pemilihan umum (Pemilu). Baik pemilu presiden, pemilu legislatif maupun pemilihan kepala daerah (Pilkada). Money politic dalam berbagai bentuk halus dan terselubung hingga hingga bentuk kasar dan to the point (terus terang) tersebut umumnya marak di masa-masa kampanye.

Konsekuensi dari money politic tersebut tentunya berpotensi melahirkan praktik korupsi. Seseorang kepala pemerintahan dan anggota legislatif yang memenangkan pertarungan politik dalam kontestasi pemilu dengan bermodalkan uang sogok kepada rakyat tentu akan berupaya mengembalikan uangnya dengan berbagai cara, termasuk cara korupsi, kolusi dan nepotisme.

Bahkan pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) di berbagai daerah di Tanah Air, sering terjadi praktik korupsi, kolusi dan suap (pungutan liar) yang melibatkan para oknum pendidik, oknum pegawai pemerintah hingga oknum-oknum wakil rakyat. Praktik seperti itu jarang terungkap ke permukaan karena kalangan masyarakat juga lebih sering bungkam, membiarkan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) tersebut.

Solusi

Nah, satu solusi yang perlu diterapkan atau diberlakukan memberantas praktik korupsi di lingkungan birokrasi atau pemerintahan Indonesia hasil Pemilu 2024, yakni membuat suatu strategi yang cukup rapi agar penerimaan (rekrutmen) hingga kenaikan pangkat aparatur pemerintahan bersih dari suap, kolusi dan nepotisme.

Kalau seseorang masuk menjadi pegawai pemerintahan secara murni dan jenjang kariernya juga diraih benar-benar melalui prestasi, tanpa suap dan kolusi, tentunya pegawai tersebut memiliki peluang besar terhindar dari niat melakukan korupsi. Hingga pegawai tersebut berhasil menjadi pejabat pemerintah pun, dia akan bersih dari praktik korupsi karena kariernya menanjak hanya berkat prestasi.

Kemudian masyarakat Indonesia pun bisa berperan besar menghentikan praktik korupsi dengan menolak money politic dari para calon legislatif, calon kepala daerah dan calun pemimpin pemerintahan. Kalau warga masyarakat masih tetap menerima uang dan barang pemberian para calon legislatif dan calon kepala pemerintahan menjelang pemilu dan pemilukada, niscaya potensi keterlibatan korupsi di kalangan wakil rakyat dan kepala pemerintahan akan tetap terjadi.

Jika wakil rakyat dan kepala pemerintahan berhasil menduduki jabatan hasil pemilu tanpa memberikan suap atau money politic, tentunya mereka juga tidak akan terpicu nafsu melakukan korupsi. Wakil rakyat dan kepala pemerintahan yang terpilih secara bersih karena benar-benar pilihan rakyat, berkualitas dan tak dirugikan money politic, tentunya dia pun akan bekerja melayani rakyat, mengelola pemerintahan, mengabdi untuk bangsa dan negara dengan bersih, ikhlas dan jujur.

Beberapa hal lagi yang perlu diterapkan untuk meredam praktik korupsi dalam berbagai bentuknya di Indonesia di masa mendatang seperti dikumandangkan ICW baru-baru ini, yakni melakukan reformasi lembaga penegak hukum dengan menguatkan penerapan kode etik dan profesionalisme. Kemudian memilih pimpinan KPK periode 2023 – 2027 tanpa ada intervensi kekuasaan. Selanjutnya melakukan evaluasi mengenai pelaksanaan agenda reformasi birokrasi guna mencegah jual beli jabatan di lembaga pemerintahan dan lembaga negara. ***

• Penulis adalah wartawan media online, medialintassumatera.net (Matra) tinggal di Kota Jambi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *