
(Matra, Jambi) – Berbagai elemen masyarakat di Jambi benar-benar terhentak akibat terjangan banjir yang bertubi-tubi melanda beberapa kabupaten dan kota di daerah tersebut. Tak terkecuali, Gubernur Jambi, Dr H Al Haris, SSos, MH pun terhenyak melihat betapa meluasnya bencana banjir yang melanda Jambi awal tahun 2024 ini.
Banjir yang melanda kawasan hulu Sungai Batanghari, Kabupaten Kerinci dan Kota Sungaipenuh sepekan terakhir menyebabkan puluhan ribu warga terpaksa mengungsi, satu orang warga tewas, berbagai sarana umum dan rumah warga rusak dan para petani merugi.
Belum lagi banjir di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungaipenuh, kawasan tengah Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari, yakni di Kabupaten Tebo dan Bungo menyusul diterjang banjir. Sedikitnya 2.267 keluarga di 44 desa, sembilan kecamatan di Tebo mengungsi akibat banjir sejak Senin – Kamis (1 – 4/1/2024).
Kemudian warga Kabupaten Kerinci dan Kota Sungaipneuh yang terdampak banjir di lebih 60 desa di wilayah 15 kecamatan sejak akhir tahun 2023 hingga pekan pertama Januari 2024 mencapai 4.674 keluarga dengan anggota keluarga sekitar 20.000 jiwa.
Al Haris ketika meninjau banjir di Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi, Selasa (3/1/2024) mengungkapkan, banjir yang melanda Jambi awal tahun ini merupakan terbesar selama 10 tahun terakhir.

Kerusakan Hutan
Semakin sering, parah dan meluasnya banjir yang melanda beberapa daerah kabupaten/kota di Provinsi Jambi tak terlepas dari kerusakan hutan yang terus meningkat di daerah tersebut. Degradasi (berkurangnya) hutan secara drastis di Jambi menjadi pemicu utama bencana banjir di Jambi.
Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Jambi, Adi Junedi didampingi Senior Advisor (Penasihat Senior) KKI Warsi Jambi, Rudi Syaf pada Refleksi 50 Tahun Hutan Jambi di kantor KKI Warsi Jambi, Kota Jambi, Kamis (4/1/2024) menjelaskan, bencana alam banjir dan longsor tegak lurus dengan perusakan lingkungan. Bencana banjir di Provinsi Jambi yang semakin sering terjadi tidak terlepas dari drastisnya peningkatan kerusakan hutan.
“Tutupan hutan di Provinsi Jambi semakin menipis. Hutan yang menjadi resapan air terus mengalami degradasi. Eksploitasi sumber daya alam hutan yang banyak melanggar aturan tersebut dan dipengaruhi perubahan yang menyebabkan curah hujan meningkat drastic memicu bencana banjir dan longsor di sejumlah wilayah, termasuk di Jambi,”katanya.
Dijelaskan, berdasarkan kajian KKI Warsi Jambi, selama tahun 2023 terjadi penebangan hutan secara besar-besaran untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industry (HTI) di Jambi. Hal tersebut tampak dari citra satelit sentinel 2 dipadukan pengamatan dari google earth, citra spot 6, SAS Planet.
Adi Junedi menjelaskan, berdasarkan pantauan satelit tersebut, areal hutan yang menjadi kawasan terbuka di Jambi tahun lalu mencapai 160.105 hektare (ha). Areal terbuka yang sebelumnya berupa kawasan hutan tersebut terdiri dari areal penggunaan lain (APL) sekitar 51.904 ha. Kemudian areal restorasi (pemulihan) hutan sekitar 41.116 ha, HTI (16.255 ha), kawasan taman nasional (13.097 ha) dan hutan lindung seluas 1.725 ha.
Smentara itu, Senior Advisor KKI Warsi Jambi, Rudy Syaf mengungkapkan, berdasarkan data yang diolah Tim Geografis dan Sistem (GIS) KKI Warsi Jambi, selama 50 tahun terakhir, Provinsi Jambi telah kehilangan hutan sekitar 2,5 juta ha. Tutupan (luas) hutan di Jambi berkurang dari 3,4 juta ha tahun 1973 menjadi 922.891 ha tahun 2023. Jadi selama 50 tahun Jambi kehliangan hutan hingga 73 %.
“Tingginya kehilangan hutan di Jambi ini disebabkan pengalih-fungsian (konversi) kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain seperti perkebunan kelapa sawit. Sebagian besar sisa hutan diberikan pemerintah kepada pengusaha kehutanan. Baik pengusaha hak pengusahaan hutan (HPH) maupun HTI,”katanya.

Moratorium Gagal
Rudy Syaf mengatakan, Pemerintah Pusat (Kementerian Kehutanan) sejak tahun 2011 memang sudah menerapkan kebijakan moratorium (penghentian) penerbitan izin baru pengelolaan hutan. Moratorium dilaksanakan setiap dua tahun. Moratorium tahap pertama dilakukan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2011.
Kemudian moratorium diperpanjang lagi melalui Perpres Nomor 6 Tahun 2013, Perpres Nomor 8 Tahun 2015 dan Perpres Nomor 6 Tahun 2017. Namun kebijakan moratorium izin baru pengelolaan (eksploitasi) hutan tersebut belum bisa menghentikan konversi hutan menjadi areal perkebunan, HTI dan penggunaan lain.
“Konversi hutan menjadi lahan perkebunan di Jambi belakangan ini masih terus terjadi. Bahkan konversi hutan tersebut terpantau sudah meluas sempadan sungai atau kawasan daerah aliran sungai (DAS). Selain itu hampir semua wilayah anak-anak sungai di Provinsi Jambi juga mengalami persoalan akibat aktivitas penambangan emas dengan menggunakan alat berat. Penambangan emas juga merusak hutan di kawasan DAS,”katanya.
Dijelaskan, berdasarkan analisis citra Satelit Sentinel 2 yang dilakukan KKI Warsi Jambi dan dikaitkan dengan peta perizinan pada tahun 2023, ditemukan sekitar 48.140 ha lahan terbuka yang diduga menjadi kawasan tambang emas. Luas areal pertambangan rakyat hanya 1.884 ha. Selebihnya, sekitar 46.256 ha merupakan areal pertambangan ilegal.
“Penambangan emas secara ilegal tambang di kawasan anak-anak sungai di Jambi menyebabkan terjadinya sedimentasi (pendangkalan) sungai. Kondisi tersebut membuat air sungai cepat meluap ketika intensitas hujan tinggi, sehingga banjir pun tidak terbendung,”katanya.
Rudy Syaf lebih lanjut mengatakan, pertambangan yang meningkat di Jambi belakangan ini juga memicu kerusakan hutan. Luas areal pertambangan batu bara di Jambi tahun 2023 diperkirakan mencapai 16.414 ha. Sekitar 6.127 ha areal tambang batu bara tersebut berada di wilayah izin usaha pertambangan. Sedangkan sekitar 10.287 ha berada di luar areal wilayah izin usaha pertambangan atau kawasan hutan.
“Sama halnya dengan tambang emas. Tambang batu bara juga menjadi penyumbang masalah ekologi. Total wilayah yang berada di luar areal wilayah izin usaha pertambangan mendekati 2 kali lipat dibandingkan dengan pertambangan yang berada dalam wilayah izin,”katanya.

Pemulihan Hutan
Rudy Syaf mengatakan, pemulihan hutan melalui rehabilitasi dan penghijauan di Jambi sangat mendesak ditingkatkan mencegah semakin luasnya kerusakan hutan dan membendung meningkatnya frekuensi bencana banjir dan longsor. Pemulihan hutan tersebut tidak hanya bisa dilakukan pemerintah, jajaran Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) dan dinas kehutanan di daerah.
Pemulihan hutan juga membutuhkan keterlibatan masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) peduli lingkungan. Salah satu di antaranya pemulihan huta melalui pembangunan hutan kemasyarakatan atau perhutanan sosial. Pembangunan perhutanan sosial di Jambi bberapa tahun terakhur cukup berhasil menghijaukan kembali kawasan hutan yang sebelumnya gundul.
Menurut Rudy Syaf, berdasarkan analisis citra satelit di kawasan perhutanan sosial yang didampingi KKI Warsi Jambi, luas hutan yang bisa dipulihkan dari kerusakan meningkat. Total luas Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) di Jambi yang didampingi KKI Warsi Jambi sejak tahun 2020 mencapai 103,895 ha.
Luas kerusakan hutan yang berhasil dihijaukan kembali di areal PHBM tersebut tahun 2020 mencapai 59.498 ha atau 57 % dari areal PHBM. Kemudian kerusakan hutan di areal PHBM yang berhasil dihijaukan hingga 2023 sudah mencapai 72.784 ha (70 %). Jadi pemulihan hutan di kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat juga menjadi penyumbang pertumbuhan hutan di Jambi.
Dijelaskan, pemulihan hutan yang dilakukan melalui pembangunan perhutanan masyarakat dan rehabilitasi hutan, luas hutan di Provinsi Jambi kembali meningkat. Luas hutan di Jambi tahun 2020 tersisa hanya sekitar 882.271 ha. Luas hutan tersebut meningkat menjadi 895.567 ha tahun 2021. Kemudian luas hutan di daerah tersbeut meningkat lagi menjadi 912.947 ha (2022) dan menjadi 922.891 ha (2023).
Jadi tren peningkatan luas hutan di Jambi tiga tahun terakhir cukup positif menyusul bergulirnya pembangunan perhutanan sosial. Peningkatan luas hutan di Jambi tersebut membuktikan bahwa hutan yang dikelola masyarakat mampu memulihkan hutan di Jambi.
“Karena itu dukungan terhadap program perhutanan sosial perlu terus ditingkatkan guna menyelamatkan hutan di Jambi sekaligus mengurangi frekuensi bencana banjir dan longsor,”katanya.
Rudy Syaf menegaskan, kontribusi pembangunan perhutanan sosial untuk memulihkan hutan di Jambi beberapa tahun terakhir akan sia-sia jika masih terus terjadi konversi hutan menjadi perkebunan dan HTI. Karena itu, aparat keamanan dan pihak terkait harus menindak tegas pihak-pihak yang melakukan tindakan perusakan hutan. (Matra/Radesman Saragih).