Plh Wakajati Kepri, Tengku Firdaus (dua dari kanan) pada ekspose kasus ohara di kantor Kejati Kepri, Tanjungpinang, Kepri, Rabu – Kamis (29 – 30/11/2023). (Foto : Matra/PenkumKejatiKepri).

(Matra, Tanjungkepri) – Pelaksana Haian (Plh) Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi (Wakajati) Kepulauan Riau (Kepri), Tengku Firdaus, SH, MH melakukan ekspose (gelar perkara) kasus – kasus tindak pidana Orang dan Harta Benda (Ohara) di hadapan jajaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejagung) di kantor Kejati Kepri, Tanjungpinang, Kepri, Rabu – Kamis (29 – 30/11/2023).

Pada ekspose tersebut, Tengku Firdaus mengungkapkan, pihaknya menangani kasus pidana yang terkait orang dan harta benda (ohara) dengan mengedepankan unsur humanisme (kemanusiaan). Hal itu dilakukan dengan memberlakukan restorative justice (keadilan restoratif) terkait kasus tindak pidana ohara.

Tengku Firdaus pada kesempatan itu memaparkan tiga kasus ohara yang diselesaikan melalui restorative justice. Ketiga kasus tersebut, yakni kasus pencurian yang melibatkan tersangka atas nama Rezky Fadillah bin Abdul Fatah (alm). Kemudian kasus penganiayaan yang melibatkan tersangka Eep Rikanda bin Endang Rohmaya.

Kedua kasus tersebut berada di wilayah hukum Kejaksaan Negeri (Kejari) Natuna, Kepri. Selanjutnya kasus kekerasan dalam rumah htangga yang melibatkan tersangka Al-Fazri alias Ari bin Abdulhadi. Kasus tersebut berada di wilayah hukum Kejari Karimun, Kepri.

Menurut Tengku Firdaus, pihaknya menyelsaikan kasus tindak pidana umum tersebut melalui restorative justice karena telah dilaksanakan proses perdamaian. Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf. Kemudian tersangka belum pernah dihukum, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana dan ancaman pidana denda atau pidana penjara tidak lebih dari lima tahun.

“Kesepakatan perdamaian dilaksanakan tanpa syarat dimana ke dua belah pihak sudah saling memaafkan dan Tersangka berjanji tidak mengulangi perbuatannya dan korban tidak ingin perkaranya dilanjutkan ke persidangan. Pertimbangan sosiologis. Masyarakat merespon positif penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif,”ujarnya.

Jajaran Kejati Kepri pada ekspose kasus ohara di kantor Kejati Kepri, Tanjungpinang, Kepri, Rabu – Kamis (29 – 30/11/2023). (Foto : Matra/PenkumKejatiKepri).

Pemulihan

Menurut Tengku Firdaus, Kejati Kepri melakukan penyelesaian perkara tindak pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif. Proses penyelesaian perkara tersebut menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula. Restorative justice juga mengutamakan keseimbangan perlindungan, kepentingan korban, maupun pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pembalasan.

Dikatakan, restorative justice merupakan suatu kebutuhan hukum masyarakat dan menjadi sebuah mekanisme yang harus dibangun melaksanakan kewenangan penuntutan dan pembaharuan sistem peradilan. Restorative justice juga memperhatikan azas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan guna rangka menciptakan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.

“Melalui kebijakan restorative justice diharapkan tidak ada lagi masyarakat bawah yang tercederai oleh rasa ketidakadilan. Namun demikian perlu juga digaris-bawahi bahwa keadilan restoratif bukan berarti memberikan ruang pengampunan bagi pelaku pidana untuk mengulangi perbuatan pidana,”katanya.

Ekspose tersebut dihadiri Jampidum Kejagung, Dr Fadil Zumhana, SH, MH, Direktur Tindak Pidana Orang dan Harta Benda (Oharda) Jampidum, Nanang Ibrahim Soleh, SH, MH, Aspidum Kejati Kepri, Bayu Pramesti, SH, MH, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Karimun, Dr Priyambudi, SH, MH dan Kajari Natuna, Surayadi Sembiring, SH, MH. (Matra/AdeSM).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *