Jaksa Agung, ST Burhanuddin pada “Focus Group Discussion” di Hotel The Dharmawangsa, Jakarta, Selasa (28/11/2023). (Foto: Matra/PenkumKejagung).

(Matra, Jakarta) – Para penegak hukum di lingkungan Kejaksaan, khususnya jajaran Tindak Pidana Khusus (Tidpidsus) harus mampu melakukan langkah taktis dan strategis memberikan deterrent effect (efek jera) kepada para pelaku kejahatan, terutama pelaku tindak pidana korupsi. Hal itu penting untuk mencari dan menemukan harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi yang tidak dpat dijangkau mellui intrumen (alat) hukum saat ini.

Hal tersebut ditegaskan Jaksa Agung, Sanitiar (ST) Burhanuddin pada Fokus Diskusi Grup (Focus Group Discussion/FGD) di Hotel The Dharmawangsa, Jakarta, Selasa (28/11/2023). FGD bertajuk “Optimalisasi Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti dalam Rangka Pemulihan Dampak Tindak Pidana Korupsi” tersebut dilaksanakan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Kampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung).

Menurut ST Burhanuddin, untuk melaksanakan pemulihan kerugian Negara akibat tiondap pidana korupsi, aparat penegak hukum telah dibekali instrumen penyitaan, yaitu Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 18 Ayat (1) huruf b Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dijelaskan, Pasal 18 Ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur tentang penyitaan harta benda terpidana oleh jaksa. Jaksa memiliki kewenengan melakukan lelang harta terpidana guna menutupi uang pengganti korupsi (sita eksekusi). Pelaksanaan sita eksekusi dilakukan setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Incracht).

ST Burhanuddin mengatakan, pada tahap penyidikan maupun penuntutan, penyitaan hanya dapat dilakukan terhadap corpus delicti dan instrumental delicti. Pada tahapan tersebut jaksa penuntut umum harus mampu membuktikan bahwa terdapat suatu hubungan kausal antara benda yang disita dengan perbuatan maupun akibat perbuatan dari pelaku tindak pidana korupsi.

Ekses Korupsi

Menurut ST Burhanuddin, di tengah derasnya praktik-praktik korupsi yang terjadi di Indonesia, jajaran kejaksaan harus merenungkan tentang satu hal mendasar, yaitu terkait hakikat dari keberadaan unsur merugikan perekonomian negara akibat (ekses) tindak pidana korupsi. Hal itu tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dijelaskan, unsur perekonomian Negara dalam kasus korupsi tidak dapat dimaknai secara parsial dan bersifat alternatif. Hal ini disebabkan kerugian perekonomian negara harus dipicu oleh suatu tindakan nyata yang mengakibatkan dampak signifikan terhadap negara dan masyarakat.

ST Burhanuddin mengatakan, penjelasan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya menggambarkan makna dari perekonomian negara secara luas. Karena itu hingga saat ini definisi tersebut masih berupa konsep luas (broad concept).

“Konsep itu tentunya tidak aplikatif sebagai instrumen pemidanaan mengingat penormaan dalam hukum pidana harus tertulis (lex scripta), harus jelas (lex certa) dan harus dimaknai tegas tanpa adanya analogi (lex stricta),”ujarnya.

Dikatakan, perumusan definisi kerugian perekonomian negara seyogyanya harus dapat diatur secara khusus dalam bentuk regulasi sehingga tercipta kepastian hukum. Hal tersebut tentunya membuka peluang baik bagi legislator maupun bagi kita selaku aparat penegak hukum untuk mengkaji kembali eksistensi Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hal tersebut penting, lanjut UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai anasir pembuktian penuntut umum, apakah pembuktian merugikan perekonomian negara pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditentukan secara mandiri ataukah unsur tersebut baru ditentukan setelah adanya nominal kerugian negara.

“Namun perlu diingat bahwa dalam praktiknya, tidak mungkin ada kerugian perekonomian negara tanpa adanya kerugian keuangan negara. Penerapan atau pembuktian unsur perekonomian negara adalah langkah progresif penegakan hukum, yaitu Kejaksaan,”ujarnya.

ST Burhanuddin mengapresiasi pemilihan tema FGD tersebut, yaitu pdana tambahan kasus korupsi. Hal itu menunjukkan adanya cerminan sense of crisis (tanggap) Jampidsus menangani permasalahan tindak pidana korupsi.

“Terlebih lagi, tantangan penanganan tindak pidana korupsi kian meningkat dengan adanya pengaruh globalisasi yang membuat perkembangan kejahatan rasuah (korupsi/suap) menjadi semakin kompleks,”katanya.

ST Burhanuddin lebih lanjut mengatakan, pengaturan pidana tambahan berupa uang pengganti merupakan salah satu upaya memberikan efek jera juga terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Hal tersebut telah selaras dengan ketentuan Pasal 31 Ayat (1) Piagam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang menegaskan bahwa “Negara wajib mengambil, sepanjang dimungkinkan dalam sistem hukum nasionalnya, tindakan-tindakan yang perlu untuk memungkinkan perampasan hasil kejahatan yang berasal dari kejahatan menurut konvensi ini atau kekayaan yang nilainya setara dengan hasil kejahatan itu”.

“Karena itulah perlu pembaharuan hukum demi terwujudnya keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Hal itu dapat diwujudkan dengan terobosan penegakan hukum yang didasari oleh sebuah penalaran yuridis normatif yang dapat dipertanggungjawabkan,”katanya. (Matra/AdeSM/PenkumKejagung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *