(Matra, Kepri) – Pengelolaan dana desa (DD) yang digelontorkan Pemerintah Pusat langsung kepada para kepala desa memiliki banyak titik rawan korupsi. Titik rawan tersebut antara lain rekayasa laporan (laporan fiktif) penggunaan DD, pengelolaan DD yang tidak transparan, kolusi dan nepotisme. Titik rawan korupsi pengelolaan DD juga terjadi pada mark up (penggelembungan anggaran), tidak melakukan swakelola, formalitas administratif dan terlambat mendeteksi korupsi.
“DD juga rawan korupsi akibat adanya elit capture atau rencana penggunaan anggaran tidak sesuai aturan 70 % untuk pembangunan dan 30 % untuk operasional serta masalah kick back (suap) kepada oknum pemerintah daerah untuk pencairan DD,”kata Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kepulauan Riau (Kepri) Tengku Firdaus, SH, MH pada Workshop (Rapat Kerja) Evaluasi Pengelolaan Keuangan dan Pembangunan Desa Tingkat Regional Kepri di aula Wan Seri Beni kantor Gubernur Kepri, Tanjungpinang, Kepri, Senin (13/11/2023).
Workshop bertajuk Pencegahan Korupsi dalam Pengelolaan Anggaran Pembangunan dan Belanja Desa (APBDes) yang diselenggarakan Perwakilan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kepri tersebut dihadiri Gubernur Kepri, Ansar Ahmad, organisasi perangkat dinas (OPD), para camat dan kepala desa se-Provinsi Kepri.
Menurut Tengku Firdaus, pengelolaan keuangan desa yang dilakukan kepala desa sebagai Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa (PKPKD) harus berdasarkan asas transparan, akuntabel partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran. Sedangkan pengelolaan anggaran pemerintah dikategorikan masuk tindak pidana korupsi jika merugikan keuangan negara.
Kemudian, penyuapan, pemerasan, penggelapan dalam jabatan, kecurangan, benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa serta gratifikasi (suap). Sedangkan nilai antikorupsi yang perlu dibudayakan sejak dini, yaitu tanggung jawab, disiplin, jujur, sederhana, kerja keras, mandiri, adil, berani dan peduli.
Banyak Tantangan
Dikatakan, pengelolaan DD memiliki banyak tantangan. Di antaranya, distribusi DD per kapita antar desa yang masih belum berimbang. Kemudian penyerapan dan pelaksanaan DD yang lambat. Selain itu penggunaan DD di luar bidang prioritas, laporan penggunaan DD yang terlambat dan pengawasan DD yang masih belum optimal.
Tengku Firdaus menjelaskan, jenis penyimpangan dana yang sering dilaporkan, yakni tidak adanya pembangunan di desa dan pembangunan/pengadaan barang/jasa tidak sesuai dengan spesifikasi/rencana anggaran biaya. Kemudian dugaan adanya mark up oleh oknum aparat desa, tidak adanya transparansi, masyarakat tidak dilibatkan dan penyelewengan dana desa untuk kepentingan pribadi.
“Selain itu lemahnya pengawasan DD oleh inspektorat, kongkalikong pembelian material bahan bangunan, proyek fiktif dan penggelapan honor aparat desa,”katanya.
Dikatakan, untuk menekan penyelewengan DD di Kepri, kejati Kepri sudah melakukan penandatanganan nota kesepakatan bersama antara pemerintah desa dengan kejaksaan negeri atau cabang kejaksaan negeri tentang Program Jaga Desa (Jaksa Garda Desa) se-Provinsi Kepri.
Program tersebut sesuai dengan Instruksi Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2023 Tentang Optimalisasi Peran Kejaksaan Republik Indonesia Dalam Membangun Kesadaran Hukum Masyarakat Desa Melalui Program Jaksa Garda Desa (Jaga Desa).
Sementara itu, Gubernur Keri, Ansar Ahmad pada kesmepatan tersbeut mengatakan, total DD yang dialokasikan Pemerintah Pusat untuk 275 desa di Kepri tahun ini mencapai Rp 226 miliar. DD tersebut sebagian besar sudah dimanfaatkan pemerintah desa di Kepri membangun sarana dan prasarana umum di desa masing-masing.
“Saya mengharapkan, melalui workshop evaluasi DD ini, para kepala desa di Kepri bisa melaporkan dengan baik penggunaan DD selama satu tahun ini. Kemudian penggunaan DD hingga ahir tahun anggaran 2023 harus benar-benar dilakukan sesuai ketentuan guna mencegah masalah hukum,”katanya. (Matra/AdeSM/PenkumKejatiKepri).