
Oleh : Dr Janpatar Simamora *
Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhkan sanksi berat terhadap sembilan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) serta mencopot Ketua MK, Anwar Usman menimbulkan harapan spekulatif di tengah masyarakat.
Berbagai kalangan mengharapkan keputusan MKMK tersebut serta merta bisa membatalkan Keputusan MK Nomor Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Batas Usia Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) yang membuka peluang capres – cawapres berusia minimal 40 tahun.
Namun harapan tersebut mustahil diwujudkan. Masalahnya putusan MK mengenai batas usia capres dan cawapres tersebut bersifat final dan mengikat. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945. Putusan MK itu bagaikan kitab suci yang tidak bisa dilakukan perubahan atau pencabutan karena tidak mengenal upaya hukum apapun.
Maka sejak awal saya berkeyakinan bahwa MKMK tidak akan berani masuk pada substansi putusan MK. Dalam berbagai kesempatan saya sering mempersoalkan sifat putusan ini. Sebab bagaimanapun juga bahwa hakim MK juga manusia yang tidak luput dari kesalahan atau kekurangan. Maka seyogianya putusannya juga dapat dikoreksi secara hukum.
Keputusan MK mengenai batas usia capres dan cawapres tersebut juga tidak bisa dibatalkan. Persoalannya, sejak awal bahwa wewenang MKMK terbatas hanya untuk menjaga keluhuran martabat dan kehormatan MK serta memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi.
Hal ini diatur dengan tegas dalam Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2023 tentang MKMK. Jadi tidak sampai masuk pada putusan mahkamah, karena pendapat hakim dalam putusan dianggap sebagai independensi hakim.
Kemudian, MKMK menyatakan bahwa seluruh hakim konstitusi melakukan pelanggaran dengan kategori berbeda. Mulai pelanggaran ringan sampai berat, khususnya karena dianggap tidak bisa menjaga kerahasiaan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) sebagai tahapan persidangan yang bersifat rahasia di MK. Sanksi ini tentu wajar dan patut dijatuhkan.
Selain itu, MKMK menyatakan Anwar Usman melakukan pelanggaran berat dalam menangani kasus batas usia capres-cawapres. Sehingga kemudian diberhentikan dari jabatan sebagai Ketua MK.
Terkait hal ini, jika terbukti melakukan pelanggaran berat, semestinya Anwar Usman dijatuhkan sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat (PDTH) sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2023. Jadi Anwar Usman bukan hanya sebatas diberhentikan dari jabatan sebagai ketua MK.
Artinya jika MKMK konsisten dengan pendapatnya bahwa Anwar Usman melakukan pelanggaran berat, maka sanksi yang seharusnya menurut PMK Nomor 1 Tahun 2023 adalah PTDH. Toh ketika putusan dengan sanksi PTDH itu dijatuhkan dan kemudian dianggap keliru, maka hakim yang bersangkutan masih dimungkinkan membela diri dihadapan sidang Majelis Kehormatan Banding.
Namun mencermati putusan MKMK kali ini, saya melihat sepertinya MKMK kurang yakin dengan pelanggaran berat yang disebutkan atau mungkin berbeda pandangan sesama majelis kehormatan dalam menilai pelanggaran yang mereka temukan. Ini menjadi catatan penting ke depannya agar MKMK juga dapat bersikap tegas dan konsisten dalam menjalankan wewenangnya demi menjaga marwah lembaga pengawal konstitusi.
Selain itu, kasus ini juga menjadi pelajaran berharga bagi seluruh hakim MK agar mampu menjaga marwah dan nama baik institusi sekelas MK. Dengan demikian masyarakat luas percaya akan reputasi MK sebagai salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman di Tanah Air yang benar-benar menjadikan hukum sebagai panglima di negeri ini.***