(Matra, Jakarta) – Penyelesaian konflik lahan (agrarian) antara Pemerintah dengan ratusan warga masyarakat Rempang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) tidak boleh dilakukan secara semena-mena dengan mengorbankan warga masyarakat. Penyelesaian masalah konflik lahan di Pulau Rempang harus dilakukan dengan baik dan tetap mengedepankan kepentingan masyarakat sekitar.
Hal tersebut diungkapkan Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) pada rapat terbatas bersama sejumlah jajarannya di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (25/9/2025). Rapat tersebut secara khusus membahas membahas masalah konflik lahan di Pulau Rempang.
Menurut Presiden Jokowi, penyelesaian masalah konflik lahan di Pulau Rempang harus dilakukan secara baik, secara betul-betul kekeluargaan dan tetap mengedepankan hak-hak dan kepentingan masyarakat sekitar. Kemudian penyelesaian konflik lahan di Pulau Rempang juga hendaknya melibatkan kementerian terkait.
Sementara itu, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia seusai mengikuti rapat terbatas dengan Presiden Jokowi mengatakan, pihaknya telah berkunjung langsung ke Pulau Rempang beberapa hari lalu menemui warga masyarakat Rempang.
Berdasarkan hasil kunjungannya tersebut, lanjut Bahlil Lahadalia, pihaknya menemukan solusi, yakni melakukan pergeseran rumah warga ke area yang masih berada di Pulau Rempang, bukan relokasi atau penggusuran.
“Tadinya kita mau relokasi dari Rempang ke Pulau Galang, tapi sekarang hanya dari Rempang ke kampung yang masih ada di Rempang,”tambahnya.
Menurut Bahlil Lahadalia, warga terdampak akan dipindahkan ke Tanjung Banun. Sekitar 300 kepala keluarga (KK) dari total 900 KK warga Rempang sudah bersedia dipindahkan. Selain itu, masyarakat juga akan diberikan penghargaan berupa tanah seluas 500 meter persegi berikut dengan sertifikat hak miliknya dan dibangunkan rumah tipe 45.
“Apabila ada rumah yang lebih dari tipe 45 dengan harga Rp 120 juta, nanti penilaiannya dilakukan KJPP (Kantor Jasa Penilai Publik). KJPP akan menetapkan nilai rumahnya berapa. Nantinya biaya pembangunan rumah tersebut diserahkan kepada warga,”ujarnya.
Pada proses transisi pergeseran (perpindahan) warga tersebut, kata Bahlil Lahadalia, warga masyarakat juga akan mendapatkan uang tunggu sebesar Rp 1,2 juta/orang dan uang kontrak rumah sebesar Rp 1,2 juta/KK. Jika dalam satu KK ada empat orang, maka mereka akan mendapatkan uang tunggu sebesar Rp 4,8 juta dan uang kontrak rumah Rp 1,2 juta. Jadi keluarga tersebut menerima Rp 6 juta.
“Kemudian di dalam progres pergeseran tersebut ada tanaman dan keramba yang terpaksa ditinggal warga, itu juga akan dihitung dan akan diganti berdasarkan aturan yang berlaku oleh Badan Pengusahaan Batam,”lanjutnya.
Bahlil Lahadalia lebih lanjut mengatakan, pada rapat terbatas dengan Presiden Jokowi tersbeut, dirinya melaporkan bahwa dari 17.000 hektare (ha) area Pulau Rempang, hanya sekitar 8.000 ha saja yang bisa dikelola. Pembangunan industri di Pulau Rempang hanya akan menggunakan 2.300 ha lahan yang ada.
“Kami laporkan bahwa dari 17.000 ha areal Pulau Rempang, hanya 7.000 ha – 8.000 ha yang bisa dikelola. Selebihnya hutan lindung. Pada tahap awal, kami fokus membangun industri ekosistem pabrik kaca dan solar panel yang sudah kami canangkan pada areal sekitar 2.300 ha,”katanya.
Kepemilikan Ganda
Sementara itu, upaya pemindahan warga dari Pulau Rempang pekan lalu menyulut bentrok antara aparat keamanan dengan warga sekitar. Warga menolak dipindah (direlokasi) karena mereka sudah lama tinggal di pulau tersebut. Sementara pemerintah dan investor sudah menyiapkan areal Pulau Rempang membangun industri.
Menurut Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud Md bahwa konflik lahan di Pulau Rempang dipicu kekeliruan dan kesalahan di lingkup Pemerintah Pusat dan daerah mencatat hak atas tanah yang merupakan bakal areal pembangunan Rempang Eco-City (Kota Ekonomi Rempang).
Dijelaskan, berdasarkan Surat Keputusan (SK) terkait hak guna usaha (HGU) tanah Pulau Rempang sudah dikeluarkan sejak 2001. Tetapi pemerintah, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan kekeliruan pada penetapan HGU tersebut.
“Sedangkan masalah hukumnya, banyak orang yang tidak tahu bahwa tanah di Pulau Rempang sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan tahun 2001 – 2002. Tanah itu akan digunakan sebagai HGU,”katanya.
Kendati sudah memiliki HGU, pihak perusahaan tidak menggarap tanah tersebut. Bahkan pemegang HGU pun tidak pernah melihat lokasi HGU tersebut. Kemudian ada pihak yang memberikan hak menempati tanah atau lahan tersebut kepada penduduk di beberapa desa. Pemberian hak menempati lahan tersebut terjadi mulai 2004.
“Selanjutnya terbit lagi beberapa keputusan mengenai pemberian hak baru atas tanah itu kepada orang lain untuk ditempati tahun – tahun selanjutnya. Padahal SK HGU lahan di Pulau Rempang kepada pihak investor sudah dikeluarkan pemerintah tahun 2001 dan 2002. SK HGU itu sah,”katanya.
Dikatakan, surat kepmilikan lahan yang ganda tersebutlah yang akhirnya memicu permasalahan. Penduduk atau warga masyarakat Pulau Rempang merasa berhak tinggal di lokasi tersebut, sebab mereka sudah memiliki surat keputusan pemerintah. Namun di pihak lain, HGU lahan Pulau Rempang sudah diberikan pemerintah kepada pengusaha untuk digunakan sebagai lokasi Rempang Eco-City sejak 2001.
“Ketika pihak investor hendak masuk atau memanfaatkan lahan HGU tersebut tahun 2022, mereka menemukan bahwa lahan tersebut sudah ditempati penduduk. Setelah diselidiki, ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat, yakni KLHK. Kemudian kepemilikan lahan itu diluruskan sesuai dengan aturan. Pihak investor ditetapkan sebaga pemegang hak lahan tersebut,”katanya. (Matra/AdeSM/BPMISetpres/BerbagaiSumber).