Radesman Saragih. (Foto : DokMatra).

Oleh : Radesman Saragih, SSos*

Pengantar

Kehidupan keagamaan selalu terkait erat dengan pola dan gaya kehidupan masyarakat di berbagai pelosok dunia. Di tengah pola dan gaya hidup tradisional masyarakat, kehidupan keagamaan juga cenderung bersifat tradisional. Sebaliknya di tengah kehidupan masyarakat modern, kehidupan keagamaan juga mengikuti gaya hidup modern.

Pola dan gaya hidup masyarakat tersebut juga berpengaruh besar terhadap kehidupan umat Kristen Simalungun. Ketika sebagian besar masyarakat masih mengikuti pola dan gaya hidup tradisional seperti gaya hidup pedesaan tempo dulu, pola dan gaya hidup umat Kristen di Simalungun pun cenderung bersifat tradisional.

Sedangkan ketika modernisasi kehidupan sosial bangkit di tengah masyarakat, termasuk di berbagai daerah di Indonesia, kehidupan umat Kristen Simalungun juga terpengaruh. Salah satu dampak modernisasi yang terasa di kalangan umat Kristen Simalungun, tak terkecuali warga Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), yakni tergerusnya rasa kebersamaan atau kekeluargaan.

Belakangan ini tampak cukup berkembang menipisnya rasa kekeluargaan, kebersamaan dan kepedulian sosial di kalangan warga Kristen Simalungun. Situasinya agak jauh berbeda dibandingkan dengan rasa kebersamaan dan kekeluargaan warga Kristen Simalungun pada masa – masa Pekabaran Injil di Simalungun era Pdt J Wismar Saragih (Desember 1929 – Mei 1961).

Tingginya rasa kebersamaan pada masa – masa awal Pekabaran Injil berbahasa Simalungun nampak dari kiprah Parguru Saksi Ni Kristus (Pelajar Saksi Kristus) dan Komite na Ra Marpodah (Komite yang Bersedia Mengabarkan Injil) melakukan penginjilan ke daerah-daerah terpencil di Simalungun.

Kemudian sambutan warga masyarakat di desa-desa terpencil terhadap para penginjil dari kalangan putra Simalungun juga sangat antusias. Kebersamaan itu terjalin begitu erat penuh kekeluargaan, sehingga Pekabaran Injil di Tanah Simalungun berkembang pesat. Hal itu nampak dari terbentuknya banyak jemaat GKPS dan berdirinya bangunan – gereja GKPS.

Era Orde Baru

Ketika GKPS sudah resmi manjae (berpisah) dari HKBP, 1 September 1963, kebersamaan dan kekeluargaan di tengah persekutuan GKPS juga masih terasa erat. Baik itu di GKPS di Tanah (Daerah) Kabupaten Simalungun, maupun di diaspora (perantauan). Hal itu nampak dari bertambahnya jumlah gereja di daerah Simalungun dan terbentuknya jemaat GKPS di berbagai daerah perantauan.

Pembangunan gereja di Kabupaten Simalungun di masa-masa Orde Baru juga sebagian besar didukung rasa kebersamaan, saling tolong menolong dan bantu – membantu antarwarga GKPS. Pembentukan jemaat dan resort GKPS di masa itu juga sebagian didasarkan atas kesepakatan bersama berdasarkan musyawarah (urun rembug) sesuai tradisi Simalungun.

Kemudian terbentuknya jemaat GKPS di perantauan juga banyak didasarkan pada rasa kebersamaan dan kekeluargaan. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya cikal bakal GKPS perantauan yang bermula dari Parsadaan (Persatuan) Keluarga Sauhur Simalungun (PKS). Bisa dikatakan, sebagaian besar jemaat GKPS di luar Simalungun, terutama di luar Provinsi Sumatera Utara (Sumut) terbentuk melalui PKS.

Kemudian pemilihan kepemimpinan maupun pelayan di tengah GKPS di masa-masa Orde Baru juga banyak dilakukan berdasarkan musyawarah dan mufakat, konsensus. Pemilihan pelayan dan pemimpin gereja di tengah GKPS di masa itu diprioritaskan untuk memajukan GKPS, meningkatkan pelayanan, pemberdayaan masyarakat dan pembangunan gereja.

Karena itulah pada masa-masa tersebut, GKPS benar-benar mampu menjadi penggerak pembangunan di Simalungun, pengayom warga GKPS di perantauan. Hal tersebut ditunjukkan dengan pembangunan sekolah (lembaga) pendidikan GKPS, pembangunan rumah sakit (RS) GKPS, RS Bethesda Seribudolok, peningkatan pelayanan ke desa-desa pesisir Danau Toba menggunakan kapal RS Bethesda Seribudolok dan memberdayakan ekonomi dan pertanian masyarakat Simalungun melalui Pelayanan Pe,mbangunan (Pelpem) GKPS.

Sedangkan di GKPS diaspora, jemaat GKPS menjadi salah satu tupuan warga GKPS untuk menjalin kekeluargaan, menolong warga GKPS yang hendak mencari pekerjaan hingga pengembangan seni budaya Simalungun di perantauan seperti di Jakarta.

Dampak Modernisasi

Memasuki era modernisasi dan globalisasi yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi dan komunikasi, kehidupan gereja (umat Kristen) juga berubah menjadi semakin modern. Modernisasi pola dan gaya hidup masyarakat juga berpengaruh terhadap kehidupan jemaat. Kebersamaan dan persaudaran semakin terabaikan atau bahkan tertinggalkan.

Pola dan gaya hidup yang semakin menonjol di tengah masyarakat seperti individualisme, materialisme dan hedonisme juga merasuk ke tengah persekutuan di tengah gereja. Hal tersebut nampak dari pola dan gaya hidup warga gereja yang semakin kurang peduli terhadap peningkatan pelayanan sosial dan pembangunan di tengah gereja.

Orang Kristen sudah semakin banyak yang sekadar menjalankan rutinitas mengikuti berbagai kegiatan persekutuan jemaat. Kemudian pemilihan pelayan dan para pemimpin gereja juga sudah banyak berubah kepada pola transaksional seperti politik praktis. Hal itu tercermin dari merebaknya kampanye-kampanye pada setiap pemilihan pelayan dan pemimpin gereja.

Kondisi tersebut juga merasuk ke tubuh GKPS di berbagai tempat. Pola tersebut membuat persekutuan gereja kerap mengalami keretakan terselubung dan berlanjut secara menahun. Hal itu membuat pelayanan-pelayanan berbasis kepedulian (diakonia) di tengah jemaat cenderung terabaikan.

Pemberdayaan jemaat di bidang sosial, ekonomi, pendidikan dan budaya di tengah persekutuan yang terkontaminasi politik praktis tersebut pun cenderung terlupakan. Kelompok-kelompok pelayan dan pimpinan di tubuh GKPS pun lebih mengutamakan pembangunan fisik gereja untuk menunjukkan karya mereka.

Sedangkan jumlah jemaat yang terus menurun mengikuti berbagai persekutuan dan pelayanan diakonia sering kurang terperhatikan. Hal itu nampak dari menurunnya jumlah warga GKPS mengikuti kegiatan persekutuan.

Bupati Simalungun, St Radiapoh Hasiholan Sinaga, SH, MH pada pembukaan Sinode Bolon (Sidang Raya) ke-45 GKPS 2022 di Balai Bolon GKPS, Jalan Pdt J Wismar Kota Pematangsiantar, Sumut, Selasa (28/6/2022) mengungkapkan, persentase kehadiran warga jemaat GKPS pada ibadah minggu dan rumah tangga satu tahun terakhir cenderung menurun. Kehadiran warga jemaat GKPS dalam ibadah minggu tahun 2021 hanya rata-rata 44 %.

Kehadiran jemaat GKPS dalam ibadah minggu tersebut menurun dibandingkan tahun 2020 rata-rata 45 %. Kemudian kehadiran jemaat GKPS dalam partonggoan (ibadah rumah tangga) turun dari 33 % tahun 2020 menjadi 27 % tahun 2021.

Sedangkan menurut Pdt Jahenos, MTh, dalam bukunya GKPS “Dari Mana Mau Ke Mana” menyebutkan, sekitar 50 % warga GKPS belakangan ini sering beribadah di gereja lain. Kemudian sekitar 25 % dari 50 % warga GKPS yang tidak beribadah di GKPS tersebut, beribadah di gereja yang menganut paham atau aliran Injili dan Kharismatik.

Apa yang disebutkan Bupati Simalungun dan Pdt Jahenos Saragih tersebut tampaknya masih terjadi hingga saat ini. Penurunan partisipasi jemaat tersebut juga bisa dilihat dari berbagai rapat pengurus, majelis, resot dan jemaat GKPS di berbagai tempat. Belakangan ini semakin jarang kehadiran rapat di jemaat GKPS mencapai 2/3 dari jumlah jemaat yang terdaftar.

Dibiarkan

Hal demikian terkesan dibiarkan berlalu begitu saja, seolah-olah warga jemaat yang sudah lama tidak hadir dalam persekutuan jemaat tidak perlu lagi. Kondisi itu terjadi akibat semakin enggannya para pelayan, rohaniawan terjun ke bawah, martandang (menjenguk) jemaat yang sudah lama tidak hadir dalam persekutuan-persekutuan jemaat.

Gejala seperti itu cenderung meningkat karena muncul kecenderungan para gembala gereja di GKPS menjadikan tugas-tugas hanya sebagai profesi biasa sebagaimana profesi lainnya. Profesi fulltimer terkesan kerap hanya dijadikan sekadar mencari nafkah dengan hanya melaksanakan tuigas-tugas rutin seremonial belaka.

Sedangkan tugas-tugas keorganisasian, pemberdayaan ekonomi rakyat yang berada dalam kesulitan, advokasi (pembelaan) terhadap warga yang tersandung kasus-kasus tindakan hukum kurang mendapatkan perhatian.

Selain itu muncul juga kecenderungan para pelayan nonfulltimer di GKPS hanya menjadikan jabatan pelayan sekadar menjalankan tugas-tugas rutinitas peribadahan. Sedangkan tugas-tugas panggilan ke luar, memperhatikan, menjenguk dan membantu warga jemaat yang kesusahan kurang mendapat perhatian.

Kurangnya kepedulian para pelayan GKPS terhadap tugas panggilan diakonia tersebut tercermin ketika GKPS memberlakukan kebijakan baru perekrutan pelayan menjadi syamas (diaken) dengan sintua (penatua) dengan cara pilih sendiri medio 2020. Ketika itu, sebagian besar syamas periode lama (2015 – 2020) memilih menjadi sintua padahal sebenarnya kapasitasnya lebih pas menjadi syamas.

Hal tersebut terjadi karena masih ada anggapan bahwa sintua lebih “bergengsi” dibandingkan syamas. Kondisi tersebut membuat banyak jemaat GKPS tidak memiliki syamas dengan jumlah yang memadai dibandingkan jumlah jemaat. Akibatnya pelayanan diakonia, termasuk pemberdayaan ekonomi dan advokasi di jemaat masing-masing pun terabaikan.

Di masa-masa suburnya Pekabaran Injil di Simalungun (1960-an hingga 1980-an) hal tersebut mungkin tidak masalah. Sebab saat itu warga Simalungun di Tanah Simalungun tidak ada pilihan keagamaan, kecuali sipele begu (animisme) dan gereja. Orang malu menjadi sipele begu, sehingga masuk menjadi warga gereja, baik GKPS maupun denominasi gereja lain.

Namun di era modernisasi, globalisasi, digitalisasi dan reformasi sekarang ini hal seperti itu tentunya tidak bisa dibiarkan agar warga GKPS tidak semakin berkurang. Saat ini kepengurusan GKPS di segala tingkatan harus benar-benar peduli, serius menggembalakan warga jemaat. Hal itu penting karena saat ini banyak pilihan warga GKPS untuk mendapatkan pelayanan kerohanian dan sosial.

Berbagai denominasi gereja di Tanah Simalungun kini tumbuh menjamur. Warga GKPS yang kurang terperhatikan kemungkinan pindah ke gereja denominasi tersebut karena tidak “betah” di GKPS. Kemudian warga GKPS di perkotaan atau diaspora bisa pindah ke gereja lain karena banyak pilihan.

Antisipasi

Dampak modernisasi kehidupan masyarakat terhadap kehidupan gerejawi di tengah GKPS tersebut tentunya tidak bisa dibiarkan. Masalahnya, bila kehidupan individualis, materialis, apatis dan hedonis dibiarkan berkembang di tengah persekutuan GKPS, dikhawatirkan jumlah warga GKPS yang loncat pagar (pindah gereja) atau bahkan loncat benteng (pindah agama) kemungkinan terus bertambah. Lama kelamaan kondisi seperti itu bisa membuat gedung-gedung gereja GKPS yang dibangun dengan megah di desa dan di kota sepi ditinggalkan generasi penerus.

Agar GKPS tetap eksis memasuki era milenial, GKPS perlu melakukan refleksi mengangkat atau menghidupkan kembali kekeluargaan, kebersamaan, kepedulian sosial dan pemberdayaan seperti pada masa-masa awal hingga pertengahan Pekabaran Injil di Simalungun. GKPS tidak bisa membiarkan dampak buruk modernisasi merangsek ke tubuh gereja atau persekutuan jemaat, walaupun kehidupan masyarakat hanyut terbawa arus modernisasi dan globalisasi.

Firman Tuhan pada Roma 12 : 2 mengatakan, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna”.

Guna mencegah warga jemaat, pengurus, pelayan dan rohaniawan tidak sampai terjebak dan hanyut terbawa arus modernisasi, tentunya duri – duri (dampak negatif) dan jebakan-jebakan modernisasi dan globalisasi harus bisa dideteksi dan dihindari.

Dampak negatif modernisasi yang perlu dihindari memasuki 120 tahun Pekabaran Injil di Simalungun hingga menyongsong masa depan penuh tantangan, yakni sikap hidup individualistis dan pragmatis yang bisa menimbulkan potensi konflik dengan orang maupun pihak lain.

Kemudian sikap hidup hedonis (hidup hanya untuk bersenang-senang) yang embuat orang tak peduli orang lain dan terjebak perilaku asosial dan amoral. Selain itu hilangnya nilai-nilai luhur adat budaya tradisional warisan nenek moyang akibat budaya global yang membuat warga GKPS masa depan bisa kehilangan identitas budaya.

Selajutnya sikap materialistis yang berpotensi membuat para pelayan, rohaniawan hidup terlalu konsumtif, mengedepankan kepentingan materi, sehingga kurang maksimal memperhatikan kesulitan-kesulitan warga jemaat, terutama kesulitan ekonomi. Dampak lain dari gaya hidup modern yang perlu dihindari, yakni kurangnya kepedulian gereja terhadap lingkungan, sehingga kerusakan lingkungan semakin meningkat, termasuk di daerah Simalungun.

Apatisme terhadap nilai-nilai moral dan agama yang cenderung muncul di tengah kehidupan modern juga harus mendapat perhatian khusus GKPS karena hal tersebut cenderung menimbulkan meningkatnya tindak kriminalitas, termasuk di lingkungan warga GKPS.

Namun demikian, bukan berarti GKPS harus bersikap anti terhadap modernisasi. Modernisasi di tengah kehidupan gereja juga penting. Sebab melalui modernisasi, warga gereja, termasuk GKPS bisa lebih mudah meningkatkan taraf kehidupan di berbagai bidang. Melalui modernisasi, warga GKPS akan lebih bersikap terbuka terhadap pengetahuan dan teknologi baru yang bisa dimanfaatkan memajukan kehidupan dan pelayanan gereja.

Melalui modernisasi, warga GKPS bisa lebih leluasa meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dengan mengikuti pendidikan dan pelatihan semaksimal mungkin. Modernisasi juga bisa membuat warga GKPS lebih berdaya juang, optimistis dan siap menghadapi berbagai tantangan zaman berdasarkan Firman Allah.

Jadi buanglah segala dampak negatif modernisasi yang merusak sendi-sendi kehidupan GKPS belakangan ini. Mari petik buah baik modernisasi demi kelanggengan persekutuan, kesaksian dan pelayanan GKPS di sepanjang zaman. Selamat Jubileum 120 Tahun Injil di Simalungun, 2 September 1903 – 2 September 2023.***

Penulis pengamat sosial kerohanian, alumni Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, kini menjadi wartawan tinggal di Jambi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *