(Matra, Jambi) – Para petani Desa Pematang Bedaro, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi yang tergabung dalam Forum Masyarakat Kumpeh, Muarojambi, mengadukan kasus konflik lahan yang mereka alami kepada Ketua DPRD Provinsi Jambi, H Edi Purwanto, SHI, MSi di gedung DPRD Provinsi Jambi, Kota Jambi, Rabu (16/8/2023).
Para petani Desa Pematang Bedaro tersebut menghadapi konflik lahan dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit, PT Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL). Konflik lahan tersebut terjadi sejak pihak PT FPIL mendapatkan ribuan hektare lahan hak guna usaha (HGU) di Kumpeh Ulu untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit tahun 1998. PT FPIL diduga menyerobot sebagian lahan masyarakat. Konflik lahan tersebut belum terselesaikan selama 25 tahun.
Edi Purwanto kepada wartawan seusai menerima petani tersebut menjelaskan, para petani meminta DPRD Provinsi Jambi bisa menyelesaikan konflik lahan yang mereka hadapi seperti penyelesaian konflik lahan warga Suku Anak Dalam (SAD) Batanghari tahun lalu.
“Setelah mendapat penjelaskan perwakilan petani tadi, saya akan menindak-lanjuti penyelesaian konflik lahan tersebut. DPRD Jambi akan mengupayakan mediasi antara petani dengan pihak PT FPIL dan pihak-pihak terkait,”ujarnya.
Dikatakan, penyelesaian konflik lahan antara petani Desa Pematang Bedaro, Muarojambi dengan PT FPIL perlu segera dilakukan karena di dalamnya ada persoalan hukum. Karena itu pihak-pihak terkait juga harus dilibatkan menyelesaikan kasus konflik lahan ini.
“Konflik lahan ini terkait juga dengan persoalan hukum. Nanti akan kita lihat duduk perkaranya. Kita akan melihat apakah konflik lahan ini benar-benar terkait perkara hukumnya. Jika demikian, kita juga tidak bisa bertindak menyelesaikan konflik lahan ini tanpa melihat dasar perkara yang ada,”katanya.
Edi Purwanto meminta para petani Desa Pematang Bedaro tetap menjaga keamanan dan ketertiban selama proses penyelesaian konflik lahan tersebut. Warga masyarakat jangan sampai terjebak aksi anarkisme.
“Kami akan segera berkoordinasi membahas masalah ini dengan semua pihak. Baik kepolisian dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Yang pasti kita meminta masyarakat tetap menjaga keamanan dan ketertiban di lapangan,”katanya.
Sementara itu dalam keterangannya kepada medialintassumatera.net (Matra), konflik lahan masih menjadi persolan pembangunan di Jambi yang perlu terus mendapat perhatian. Sebab hingga kini masih banyak konflik lahan di Jambi. Penyelesaian konflik lahan ini tidak bisa hanya dilakukan di tingkat daerah, tetapi juga di tingkat pusat.
“Selain di tingkat daerah, persoalan-persoalan konflik lahan dan persoalan pembangunan lain di Jambi akan kita upayakan juga melibatkan pihak terkait di tingkat pusat,”katanya.
Turun Tangan
Sementara itu, anggota DPRD Provinsi Jambi, Daerah Pemilihan (Dapil) Batanghari – Muarojambi, Abun Yani di gedung DPRD Provinsi Jambi, baru-baru ini mengatakan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) segera turun tangan menyelesaikan konflik lahan tersebut.
Tim Terpadu Penyelesaikan Konflik Lahan PT FPIL dengan masyarakat Kumpeh Ulu Muarojambi segera melibatkan Kementerian ATR/BPN menyelesaikan konflik lahan tersebut. Para ahli Kementerian ATR/BPN perlu turun tangan menyelesaikan konflik lahan tersebut karena mereka yang lebih mengetahui prosedur dan pengukuran kembali lahan HGU yang dikuasai PT FPIL.
Dikatakan, Tim Terpadu Penyelesaian Konflik Lahan Kabupaten Muarojambi dan Tim Terpadu Penyelesaian Konflik Lahan Provinsi Jambi harus bekerja sama dengan Tim Kementerian ATR/BPN menyelesaikan konflik lahan tersebut. Hal itu penting guna menyeleaikan konflik lahan tersebut bisa dilakukan secara adil, sesuai aturan dan tanpa tindakan anarkisme.
“Pansus I Konflik Lahan DPRD Provinsi Jambi sudah pernah mengajukan permohonan kepada Kementerian ATR/BPN agar melakukan pengukuran ulang dan memeriksa keabsahan HGU PT FPIL tahun 2022. Namun sampai sekarang pengukuran ulang dan peninjauan lahan HGU perusahaan tersebut tak kunjung dilakukan,”ujarnya.
Proses Panjang
Menurut Abun Yani, regulasi atau aturan untuk mendapatkan hak guna usaha (HGU) lahan perkebunan kelapa sawit sangat sulit dan prosesnya pun sangat panjang. Berdasarkan Pasal 17 Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 7 tahun 2017 tentang Peraturan dan Tata Cara Perolehan HGU, pemberian HGU dilakukan melalui beberapa tahapan.
Tahap pertama, pengukuran bidang tanah. Kemudian permohonan hak. Selanjutnya penetapan hak dan pendaftaran hak. Selain itu amsih ada pemeriksaan dan penelitian data yuridis (hukum) dan data fisik yang dilakukan BPN. Jadi aturan pengurusan untuk memperoleh HGU sangat panjang namun jelas.
“Supaya konflik lahan ini cepat selesai, pihak perusahaan dan warga masyarakat harus bertemu dan membawa data sah kepemilikan lahan. Setelah itu dilakukan pengukuran lahan yang dikuasai kedua belah pihak. Jadi penyelesaian konflik lahan di Kumpeh ini harus dimulai dari pemeriksaan awal pengurusan izin HGU beserta dokumen-dokumen aslinya,”katanya. (Matra/AdeSM).