
(Matra, Simalungun) – Kerusakan lingkungan hutan di kawasan perbukitan Desa Sipolha dan Tambun Raya, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara (Sumut) semakin meresahkan warga masyarakat setempat. Kerusakan hutan di kawasan desa pesisir Danau Toba tersebut ternyata tidak hanya menyebabkan sumber air pegunungan semakin berkurang dan pencemaran air Danau Toba meningkat.
Kerusakan hutan di kawasan perbukitan kedua desa tersebut juga mengancam keselamatan dan ekonomi masyarakat menyusul eksodus atau serbuan satwa kera, babi hutan dan ular ke perladangan penduduk. Gerombolan kera yang belakangan kerap menyerbu perladangan penduduk membuat tanaman petani gagal panen. Masalahnya seluruh tanaman petani, baik jagung, bawang dan buah-buahan habis dilalap gerombolan kera.
Kondisi demikian diperparah serbuan babi hutan yang turun ke ladang-ladang petani mencari makan. Serbuan babi hutan tersebut dipicu hilangnya sumber makanan babi hutan di kawasan hutan perbukitan kedua desa tersebut. Ancaman lain yang menghantui para petani Desa Sipolha dan Tambun Raya akibat kerusakan hutan tersebut, yani semakin seringnya muncul ular di areal pertanian, perkampungan, sungai dan danau.
Cari SolusiKepala Departemen Pelayanan GKPS, Pdt Dr Jenny R C Purba didampingi Kepala Bagian Humas GKPS, Pdt Bima Gustav Saragih, STh di Kota Pematangsiantar, Sumut, Sabtu (5/8/2023) menjelaskan, menyikapi keprihatinan dan keresahan penduduk Desa Sipolha dan Tambun Raya tersebut, pihaknya terus mengupayakan solusi.
Solusi penyelamatan penduduk Desa Sipolha dan Tambun Raya dari ancaman kerusakan lingkungan tersebut, yakni menggelar Lokakarya (Pertemuan Kerja) Ekologi dan Keberlanjutan di Desa Tigaras, Kecamatan Pematang Sidamanik, 17 – 18 Juli 2023. Lokakarya tersebut dilaksanakan atas kerja sama dengan Misi Injil Bersatu (United Evangelical Mission/UEM) Regional Asia Bidang Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (Justice, Peace and the Integrity Creation/JPIC).
Lokakarya itu diikuti oleh 28 orang dari unsur pendeta, penginjil majelis berbagai denominasi gereja di Simalungun. Lokakarya tersebut merumuskan perlunya pendampingan yang intensif terhadap kepada warga Sipolha dan Tambun Raya yang kini terdampak kerusakan lingkungan.
Lokakarya tersebut dilanjutkan dengan pertemuan Tim Departemen Pelayanan GKPS dan JPIC UEM bersama warga Desa Sipolha dan Tambun Raya di GKPS Tambun Raya, Resort Horisan Tambun Raya, Kamis (27/7/23). Pertemuan tersbeut dihadiri 30 orang warga desa, Pangulu (Kepala Desa) ambun Raya, Bilher Damanik, tokoh masyarakat, Praeses GKPS Distrik IX, Pdt Etty Saragih, MTh.
Kemudian hadir juga Advokasi Konsultan UEM Regional Asia, Irma Simanjuntak, SP, MSi, Kepala Tim Departemen Pelayanan GKPS, Pdt Dr Jenny R C Purba, Pdt Hotmaida Malau, Pdt Bima Gustav Saragih, Pdt Hamonangan Sinaga, Pendeta GKPS Resort Horisan Tambun Raya, Pdt Cerimita Saragih, tiga orang staf dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Parapat dan beberapa orang jurnalis (wartawan).

Resah
Pangulu Tambun Raya, Bilher Damanik pada pertemuan tersebut mengungkapkan, warga desa Sipolha dan Tambun Raya tidak pernah menyangka terjadinya serbuan gerombolan kera, babi hutan dan ular ke perladangan dan permukiman mereka. Sebab biasanaya, sebelum terjadi kerusakan hutan di kawasan perbukitan kedua desa itu, kera dan babi hutan jarang turun ke ladang petani. Kemudian ular pun jarang muncul di permukiman petani.
“Nah, sejak terjadi kerusakan hutan yang sangat luas di kawasan perbukitan desa ini tahun 2019, serbuan kera dan babi hutan ke ladang petani meningkat. Jafi kini terjadi perebutan makanan antara kera dan babi hutan dengan warga desa Sipolha dan Tambun Raya ini. Satwa dan manusia di perkampungan kami ini saling serang saat ini demi mempertahankan hidup masing-masing,”katanya.
Menurut Bilher Damanik, tragedi kehidupan yang dialami warga Desa Sipolha dan Tambun Raya berawal darai penerbitan izin eksploitasi hutan yang diberikan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH) PT Toba Pulp Lestari (TPL). Eksploitasi hutan alam yang dilakukan PT TPL dan menggantinya menjadi hutan tanaman industri (HTI) kawasan hutan Desa Tambun Raya dan Sipolha membuat habitat kera, babi hutan dan ular hilang.
“Sumber makanan kera, babi hutan dan ular di areal hutan yang sudah dikonversi (diganti) PT TPL menjadi tanaman eucalyptus (akasia) hilang. Hal tersebut menyebabkan ‘rumah’ para satwa liar hancur. Akibatnya ratusan kera, babi hutan dan ular bermigrasi ke lahan pertanian dan pemukiman warga,”katanya.
Dijelaskan, eksodus kera dan babi hutan ke perladangan penduduk di Desa Sipolha dan Tambun Raya membuat tanaman pisang, mangga, ubi dan durian seketika hancur dirusak kera dan babi hutan. Warga desa yang mayoritas menggantungkan hidup dari sektor pertanian bersatu mengusir bahkan memusnahkan para satwa liar.
Bilher Damanik lebih lanjut mengatakan, berbagai upaya telah dilakukan petani mengusir kera dan babi hutan. Namun tak ada hasil. Serangan kera dan babi hutan bahkan semakin mengganas. Perekonomian warga pun semakin. Petani tak pernah lagi memetik hasil buah mangga, pisang dan durian karena dirusak kera.
“Untuk menyelamatkan buah mangga, pisang dan durian, warga terpaksa meninap di lading, sehingga warga tidak bisa beribadah di hari minggu,”katanya.

Krisis Air Bersih
Dikatakan, selain ancaman serangan kera dan babi hutan, warga masyarakat Desa Sipolha dan Tambun Raya juga kini mengalami krisis air bersih akibat kerusakan hutan alam. Sumber mata air pegunungan yang selama ini menjadi andalan warga desa untuk mendapatkan air bersih dan mengairi persawahan kini semakin berkurang.
“Bahkan sebagian sumber mata air pegunungan di sekitar desa tersebut kini telah kering. Hal tersebut disebabkan rusaknya hutan lindung yang semestinya menjadi penyangga kehidupan masyarakat, khususnya sumber air bersih,”paparnya.
Sementara itu, Pdt Dr Jenny Purba pada kesmepatan tersebut mengatakan, pergumulan berat yang sedang dihadapi warga Desa Sipolha dan Tambun Raya merupakan pergumulan bersama yang berkaitan dengan kebenaran dan keadilan. Karena itu upaya-upaya penyelamatan warga Desa Sipolha, Tambun Raya dan sekitarnya dari ancaman kerusakan lingkungan harus segera ditemukan.
“Semua pihak, harus terpanggil secara bersama-sama memperjuangkan keselamatan kehidupan warga masyarakat Desa Sipolha dan Tambun Raya, Simalungun. Keterpurukan ekonomi warga Desa Sipolha dan Tambun Raya akibat serangan hama kera dan babi hutan harus segera diatasi,”katanya.
Prihatin
Sementara, Pendeta GKPS Resort Horisan Tambun Raya, Pdt Cerimita Saragih pada kesempatan tersbeut mengatakan, pihaknya sangat prihatin melihat kenyataan hidup yang dialami warga Desa Sipolha dan Tambun Raya akibat kerusakan lingkungan dan seranganhama kera dan babi hutan tersebut.
“Berbagai upaya sudah dilakukan mencari solusi guna menyelamatkan warga kedua desa itu dari kesulitan ekonomi akibat serangan kera dan babi hutan ke perladangan mereka. Namun hingga kini hasilnya belum tampak,”katanya.
Sedangkan Pengantar Jemaat (Ketua Majelis Jemaat) GKPS Huta Mula, St Dapot Sidabutar dan warga jemaatnya mengharapkan upaya GKPS dan UEM mengatasi masalah yang dihadapi warga Desa Sipolha dan Tambun Raya bisa segera membuahkan hasil.
Sementara itu, Koordinator KSPPM Parapat, Leorana Sihotang mengatakan, sejak pra kemerdekaan, Indonesia kerap menghadapi konflik agrarian. Korbannya adalah para warga. Sekalipun reformasi agraria ditetapkan menjadi program prioritas nasional di era Pemerintahan Presiden Joko Widodo, namun fakta dilapangan menunjukkan konflik agrarian masih terus terjadi.
“Izin konsesi pengelolaan hutan yang diberikan kepada satu perusahaan acap kali merugikan warga. PT TPL misalnya mendapat izin konsesi seluas 269.000 hektare (ha) tahun 1992 ha. Kemudian izin tersebut diperpanjang lagi tahun 2020 dan luas lahan yang dikuasai PT TPL menjadi 167.912 ha,”katanya.
Aksi Damai
Pertemuan Departemen Pelayanan GKPS dan JPIC UEM bersama warga Desa Sipolha dan Tambun Raya tersebut pun merumuskan langkah-langkah yang akan dilakukan warga Desa Sipolha dan Tambun Raya beserta GKPS, UEM serta KSPPM mengatasi masalah serbuan kera, babi hutan dan ular ke perladangan warga serta penyelamatan sumber air. Hal itu dinilai penting untuk memulihkan kembali aktivitas ekonomi, khususnya pertanian warga kedua desa itu.
Rumusan tersebut, yakni warga akan mengadukan persoalan tersebut dengan menyurati Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup awal Agustus 2023. Kemudian warga akan membentuk organisasi masyarakat dengan nama “SITAMBAR” atau Sipolha Tambun Raya.
Selain itu warga akan melakukan kampanye lewat media nasional dan media sosial mengenai masalah yang mereka hadapi. Selanjutnya warga akan menggelar aksi damai yang dilanjutkan dengan penanaman pohon buah sebagai langkah meminimalisir ruang gerak kera dan babi hutan.
“Kita berdoa kiranya semakin banyak pihak yang berempati terhadap perjuangan warga Sipolha dan Tambun Raya ini. Kita juga berharap pihak PT TPL yang disinyalir telah merusak kehidupan satwa liar ikut bertanggung jawab mengatasi kerusakan lingkungan dan dampaknya bagi warga sekitar,”kata Pdt Dr Jenny Purba. (Matra/AdeSM/HumasGKPS).