Oleh : Refy Gabriella Vanesa, SPsi *

Pengantar

Fenomena bullying (perundungan/penindasan) terhadap anak-anak di Tanah Air kita ini masih menjadi salah satu masalah yang belum bisa diatasi hingga tuntas. Hal tersebut ditandai dengan masih banyaknya kasus-kasus bullying di Indonesia. Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus bullying di Indonesia hingga medio Juli ini mencapai 1.150 kasus.

Sebanyak 12 kasus bullying tersebut terjadi tahun ini. Kasus bullying tersebut umumnya terjadi di sekolah dasar (SD) dan sering terjadi juga di tingkat Selokah Menengah Pertama (SMP). Bahkan menurut KPAI, Indonesia masuk peringkat kelima dari negara 78 negara yang mengalami banyak kasus bullying.

Dampak kasus bullying terhadap masa depan generasi muda Indonesia sangat berat. Perundungan sangat merusak psikis anak dan bisa membenamkan kualitas generasi penerus bangsa. Jika tidak ada langkah nyata yang terpadu mencegah dan menanggulangi perundungan anak, generasi muda penerus estafet kepemimpinan dan pembangunan bangsa kita bisa kehilangan kualitas dan daya saing memasuki satu abad Indonesia tahun 2045.

Membuat Pilu

Maraknya kasus bullying anak di Indonesia hingga kini benar-benar memantik keprihatinan mendalam. Apalagi kita baru saja memperingati Hari Anak Nasional 23 Juli 2023. Kondisi ini juga mengirimkan pesan kepada publik bahwa perlindungan terhadap perundungan anak di Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Kasus bullying tidak hanya terjadi di lingkungan rumah dan kantor, namun juga sering terjadi di lingkungan pendidikan seperti sekolah dan universitas. Hal tersebut juga menjadi gambaran bahwa bullying dapat terjadi kepada siapa saja, terutama pada anak-anak hingga remaja.

Baru-baru ini kasus bullying membuat hati pilu dan gerah. Seorang siswa SD di Banyuwangi ditemukan mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri di rumah karena merasa tidak kuat menahan bully (penindasan) yang dilakukan oleh teman sebayanya hanya karena ia tidak mempunyai ayah.

Ada juga beredar juga video yang diunggah di media sosial (YouTube) saat seorang siswi SD di Kota Bukittinggi, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) yang tidak berdaya menerima kekerasan fisik dari teman-temannya. Tampak di video tersebut beberapa siswi yang seolah menikmati aksi mereka menyiksa rekan mereka. Mereka tertawa – tawa dengan bangga menghadap kamera setelah melakukan atau menyaksikan pemukulan kepada korban.

Kasus lain, siswa SMP di Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah yang nekad melakukan pembakaran sekolahnya lantaran ia sudah enam bulan di-bully seperti dikeroyok oleh kakak kelas dan teman satu kelas. Dia juga menerima perlakuan tidak menyenangkan dari oknum oknum guru yang seharusnya memberikan perlindungan di sekolah. Hal itu menaruh luka di hati siswanya.

Anggar Kekuasaan

Perilaku bullying merupakan sebuah situasi dimana telah terjadi penyalahgunaan kekuatan atau anggar kekuasaan yang dilakukan seseorang ataupun sekelompok orangterhadao orang lain. (Sejiwa, 2008:2). Bullying dilakukan secara terus-menerus oleh pihak-pihak yang merasa dirinya lebih kuat dengan tujuan membuat korban menderita serta tidak berdaya. Biasanya pelaku bullying berdalih bahwa yang mereka lakukan hanyalah sebuah candaan belaka.

Menurut Psikolog Andrew Mellor, ada beberapa jenis bullying yang sering terjadi. Pertama, tindakan fisik. Ini merupakan jenis bullying yang melibatkan kontak fisik antara pelaku dan korban. Misalnya memukul, menendang, meludahi, mendorong, memaksa korban melakukan ativitas fisik tertentu, merusak barang milik korban dan tindakan lainnya. Bullying fisik dapat langsung terlihat dan disadari oleh lingkungan sekitar.

Kedua, tindakan verbal. Ini merupakan sebuah tindakan bullying yang sulit diamati karena melibatkan bahasa verbal yang menyakiti hati seseorang. Misalnya mengejek, memberi nama julukan yang tidak pantas, memfitnah, melecehkan melalui pernyataan seksual, meneror dan lain-lain.

Ketiga, relasional. Ini merupakan tindakan bullying yang sulit ditangkap oleh mata dan telinga. Misalnya memandang seseorang sinis/penuh ancaman, mengucilkan seseorang, mendiamkan dan mengakhiri hubungan tanpa alasan dan sebagainya. Biasanya hal ini terjadi karena munculnya situasi di mana kelompok tertentu berseberangan dengan kelompok ataupun individu lain.

Keempat, elektronik/cyberbullying. Gejala ini merupakan perilaku bullying yang dilakukan melalui media elektronik seperti komputer, handphone (telepon genggam), internet, website (portal media), chatting room (ruang komunikasi online), email (surat elektronik), pesan pendek (short message sent/sms) dan sebagainya. Biasanya kebanyakan pelaku cyberbullying bersembunyi di balik alasan “hanya sekedar opini”.

Pengaduan

Berdasarkan Pusat Data dan Informasi, hingga 31 Maret 2023, KPAI telah menerima 64 pengaduan kasus bullying. Kasus bullying tersebut terdiri dari kekerasan terhadap anak pada satuan pendidikan, yakni meliputi kekerasan fisik, bullying, kekerasan seksual, korban diskriminasi kebijakan satuan pendidikan, hingga kebijakan pemerintah daerah yang tidak memperhatikan prinsip hak partisipasi anak.

Hal ini perlu mendapat perhatian dan harus kita sikapi bersama demi melindungi, mengurangi dan menghentikan perilaku bullying yang kerap diterima maupun dilakukan oleh anak-anak yang merupakan penerus bangsa. Bullying ini harus dihentikan karena dampaknya sangat beragam, salah satunya ialah dampak psikologis.

Biasanya para korban bullying merasa bingung, tidak berdaya, malu, putus asa dan takut untuk mengungkapkan hal yang terjadi pada diri mereka. Akhirnya para korban memilih untuk diam dan menyimpan sendiri pengalaman tidak menyenangkan tersebut. Para korban cenderung merasa bingung bagaimana cara untuk mengungkapkan perundungan yang terjadi karena tidak memiliki bukti.

Kemuidian korban bullying juga kerap berpikir tidak ada orang yang peduli akan apa yang mereka alami. Atau merasa tidak ada yang bisa menolong untuk menghentikan perundungan tersebut. Mereka takut jika mereka melaporkan situasi yang terjadi, pelaku bullying akan melakukan hal yang lebih menyeramkan di kemudian hari.

Anak-anak yang menjadi korban bullying akan cenderung sulit berinteraksi dengan orang lain, menurunnya prestasi, kehilangan kepercayaan diri dan kesehatan mental yang terganggu. Misalnya memiliki gangguan kecemasan, gangguan tidur, gangguan emosi, trauma, keinginan untuk membalas dendam dan depresi.

Korban bullying juga dan kerap memiliki keinginan melakukan tindakan yang menyakiti diri mereka sendiri (self harm) hingga ada yang nekad mengakhiri hidup (suicidal thought/attempt) seperti kasus-kasus yang telah terjadi.

Sementara anak-anak yang menjadi pelaku bullying akan terperangkap dalam peran yang ia “nikmati dan senangi”. Mereka tidak dapat mengembangkan hubungan yang sehat dan tidak memiliki empati. Mereka beranggapan bahwa mereka disukai dan disegani. Bahkan mereka sering berpikir bahwa mereka memiliki kekuasaan terhadap keadaan.

Jika kita terus menutup mata dan telinga terkait hal ini, maka sifat pelaku bullying tersebut dapat menimbulkan kenakalan-kenalakan lain di masa yang akan datang. Maka, langkah preventif harus dilakukan untuk mengatasi permasalahan perilaku bullying ini.

Langkah Pencegahan

Melihat begitu besarnya dampak negatif bullying, baik terhadap korban maupun pelakunya, maka fenomena bullying harus mendapatkan perhatian dan penangana serius dari pihak terkait. Untuk menghentikan bullying dibutuhkan kolaborasi, inisiasi dan peran orang dewasa (orang tua, guru, pengasuh dan pihak lain) mencegah terjadinya bullying di sekolah maupun di rumah.

Kemudian perlu juga dilakukan edukasi (pemberian pengetahuan) kepada anak-anak sedari dini terkait perilaku bullying yang disesuaikan dengan rentang usia. Hal ini penting agar agar anak mengetahui dampak yang akan terjadi apabila mereka melakukan perbuatan bullying. Anak-anak juga perlu diberikan edukasi terkait apa yang harus dilakukan jika menjadi korban bullying.

Edukasi bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya melakukan kunjungan ke sekolah oleh pihak-pihak yang memiliki wewenang. Kemudian membuat poster terkait bahaya perilaku bullying. Selanjutnya pihak orang tua juga perlu memberikan pendampingan saat anak-anak menyaksikan acara yang memperlihatkan perilaku-perilaku kekerasan yang kemungkinan akan mereka contoh di kehidupan.

Selain itu, guru dan orang tua perlu belajar memberikan validasi emosi, simpati dan empati kepada anak-anak yang menjadi korban bullying. Hal itu penting agar mereka merasa aman dan nyaman untuk bercerita tentang kegiatan yang mereka lakukan setiap harinya.

Terkadang, karena kelelahan akibat aktivitas di kantor yang padat atau banyaknya jumlah murid di sekolah (khususnya bagi para guru), kita kurang aware (menyadari) perilaku anak yang berubah. Kita menjadi sulit meluangkan waktu untuk sekedar bertanya dan mendengarkan cerita anak.

Guru dan orang tua harus belajar untuk menjadi “telinga” bagi anak-anak. Hal itu dapat dilakukan dengan mendengarkan keluh kesah anak tanpa memotong pembicaraan. Tidak menilai dan menghakimi dari sudut pandang orang dewasa. Serta yang paling penting adalah berusaha “hadir dan menyimak” saat mereka mengungkapkan apa yang dirasa.

Orang tua atau guru juga perlu melakukan eye contact (kontak mata) selama proses diskusi berlangsung, memberikan sentuhan hangat kepada anak serta merespon cerita mereka dengan antusias (apapun ceritanya). Hal ini menumbuhkan keyakinan pada diri anak bahwa ia memiliki support system (dukungan) yang akan selalu ada untuk mereka.

Terakhir, pemberian sanksi dan aturan yang tegas, adil, dan bijak mengenai tindakan bullying di lingkungan sekolah perlu digaungkan dan dilakukan dengan tegas. Hal tersebut perlu guna menimbulkan efek jera (shock therapy) bagi para pelaku. Hal itu diharapkan dapat menguubah pola pikir dan tingkah laku mereka menjadi lebih baik.

Jika kerja sama seluruh pihak (orang tua, keluarga, sekolah, lingkungan dan pemerintah) bisa dijalin dengan baik memberikan perlindungan kepada anak, termasuk pencegahan bullying, penulis optimis kita dapat mewujudkan Anak Indonesia Generasi Emas Tahun 2045. Menciptakan generasi yang cerdas, sehat, unggul, berkarakter dan dalam suka cita yang bersendikan pada nilai-nilai moral yang kuat tentunya menjadi cita-cita kita semua.

Karena itu mari bersama-sama mewujudkan lingkungan yang aman dan nyaman untuk anak. Mari kita hentikan/hindari kekerasan pada anak. Perlidungan anak dari bullying dan tindak kekerasan lain juga kita harapkan bisa membuat anak-anak Indonesia lebih berani memperjuangkan dan menyuarakan hak-hak mereka di masa mendatang. Anak Terlindungi, Indonesia Maju.***

Penulis adalah Staf Sub Bagian Komunikasi Pimpinan Biro Administrasi Pimpinan Sekretariat Daerah Provinsi Jambi, lulusan Sarjana Psikologi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *