Gubernur Jambi, H Al Haris (kiri) dan Ketua DPRD Provinsi Jambi, H Edi Purwanto (dua dari kiri) pada sidang Paripurna DPRD Provinsi Jambi di ruang siding utama gedung DPRD Provinsi Jambi, Kota Jambi, Rabu (12/7/2023). (Foto : Matra/KominfoJbi).

(Matra, Jambi) – Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan DPRD Provinsi Jambi membahas delapan sekaligus rancangan peraturan daerah (ranperda) pada sidang Paripurna DPRD Provinsi Jambi di ruang sidang utama gedung DPRD Provinsi Jambi, Kota Jambi, Rabu (12/7/2023). Enam ranperda tersebut inisiatif DPRD dan dua ranperda inisiatif Pemprov Jambi. Kedelapan ranperda tersebut terkait dengan penataan ekonomi daerah dan perlindungan masyarakat adat.

Sidang Paripurna DPRD Provinsi Jambi yang langsung dihadiri Gubernur Jambi, Dr H Al Haris, SSos, MH tersebut dipimpin Ketua DPRD Provinsi Jambi, H Edi Purwanto, SHI, MSi didampingi dua orang wakilnya, Faizal Riza dan Burhanuddin Mahir. Sidang paripurna tersebut juga membahas tanggapan Pemprov Jambi terhadap Pemandangan Umum Fraksi-fraksi DPRD Provinsi Jambi atas Ranperda Provinsi Jambi tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2022.

Penjelasan DPRD Provinsi Jambi mengenai enam ranperda inisiatif DPRD Provinsi Jambi pada sidang tersebut disampaikan anggota DPRD Provinsi Jambi dari Fraksi PDI Perjuangan, Akmaluddin. Keenam ranperda tersebut, yakni Ranperda tentang Penyelenggaraan Komunikasi dan Informatika, Ranperda Perlindungan Pemberdayaan Petani dan Nelayan dan Ranperda Penyelenggaraan Jasa Kontruksi, Kemudian Ranperda Sistem Kesehatan Provinsi Jambi, Ranperda Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (Corporation Social Responsibility/CSR).

Kemudian dijelaskan juga mengenai pencabutan beberapa Perda Provinsi Jambi, yaitu Perda (Peraturan Daerah) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara dan Perda Nomor 11 Tahun 2013 mengenai Reklamasi dan Pasca Tambang di Provinsi Jambi.

Sementara itu, Al Haris menjelaskan mengenai dua ranperda, yakni ranperda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dan ranperda tentang Perubahan Kedua atas Perda Provinsi Jambi Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Provinsi Jambi.

Banyak Masalah

Menurut Al Haris, inisiatif Pemprov Jambi mengajukan Ranperda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat merupakan bentuk komitmen melaksanakan amanat konstitusi mengenai pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat.

Dikatakan, pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat dalam banyak hal masih belum melembaga secara penuh. Hal tersebut terlihat dari banyaknya permasalahan yang dialami masyarakat adat, terutama konflik lahan.

Sementara di Provinsi Jambi terdapat banyak kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki hak-hak tradisional sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Berdasarkan konstitusi, negara menghormati identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban,”katanya.

Al Haris lebih lanjut mengatakan, yang melatarbelakangi penyusunan dan pengajuan ranperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat tersebut, yaitu adanya kenyataan di lapangan bahwa pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat belum sepenuhnya terpenuhi.

Hal tersebut mengakibatkan keberadaannya masyarakat adat terpinggirkan dan munculnya konflik sosial dan konflik agraria di wilayah adat. Masalah tersebut penting mendapat perhatian melalui pengaturan mengenai pengakuan dan perlindungan hokum masyarakat adat.

“Pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan masih menimbulkan kendala dalam pelaksanaan di lapangan. Karena itu Pemprov Jambi memandang perlu menyusun dan mengusulkan suatu ranperda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Jambi,” katanya.

Dikatakan, Undang-undang Dasar (UUD) UUD 1945 pasca amandemen yaitu Pasal 18 B ayat (2) menyebutkan, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kemudian Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 mensyaratkan agar pengakuan dan penghormatan masyarakat adat beserta hak tradisionalnya harus diatur dengan undang-undang. (Matra/AdeSM).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *