(Matra, Jakarta) – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan (Jaksel) tidak melakukan banding terkait putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jaksel yang menjatuhkan vonis pidana penjara 1,6 tahun terhadap seorang terdakwa kasus pembunuhan berencana, Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu (Bharada Eliezer).
Upaya hukum banding tersebut tidak dilakukan JPU dengan mempertimbangkan secara mendalam rasa keadilan yang berkembang dan hidup dalam masyarakat. Kemudian pihak keluarga korban kasus pembunuhan berencana Brigadir Polisi Nofriansyah Yoshua Hutabarat (Brigadir Yoshua) sudah memaafkan terdakwa Bharada Eliezer.
Hal tersebut ditegaskan Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Kejagung, Fadil Zumhana ketika memberikan keterangan terkait sikap Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait vonis hakim 1,6 tahun terhadap Bharada Eliezer di kantor Kejaksaan Agung (Kejagung) Jakarta, Kamis (16/2/2023). Turut hadir pada kesempatan tersebut, Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana.
Menurut Fadil Zumhana, JPU mengambil keputusan tidak melakukan banding terkait vonis terhadap Bharada Eliezer tersebut setelah mempertimbangkan berbagai masukan dari para ahli hukum pidana, praktisi dan dikaitkan dengan fakta hukum yang berkembang dalam proses persidangan.
“Kemudian kami juga mempertimbangkan sikap terdakwa Bharada Eliezer yang selama proses persidangan selalu berkelakuan baik, bersikap kooperatif dan membantu serta mempermudah JPU dalam pembuktian di persidangan,”katanya.
Fadil Zumhana menjelaskan, Kejagung menghormati vonis Majelis Hakim PN Jaksel yang menyatakan terdakwa Bharada Eliezer terbukti secara sah dan meyakinkan terlibat kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yoshua di rumah mantan Kabid Propam Polri, Irjen Pol Ferdy Sambo di kompleks rumah dinas Polri, Jalan Duren III No 46, Jumat (8/7/2022).
Atas perbuatan tersebut, Majelis Hakim PN Jaksel telah menyatakan terdakwa Bharada Eliezer terbukti melanggar Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang pembunuhan berencana dan menjatuhkan vonis pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan (1,6 tahun).
Dijelaskan, mengenai putusan Majelis Hakim PN Jaksel terhadap empat terdakwa lainnya, yakni Ferdy Sambo dengan vonis hukuman mati, Putri Candrawathi (20 tahun penjara), Kuat Ma’ruf (15 tahun penjara) dan Ricky Rizal Wibowo (13 tahun penjara), pihak JPU belum mengambil keputusan.
Menurut Fadil Zumhana, Kejagung mengapresiasi putusan yang dijatuhkan Majelis Hakim terhadap para terdakwa dan membuktikan Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yaitu pasal primair pembunuhan berencana sebagaimana surat dakwaan JPU.
Seluruh fakta hukum dan pertimbangan hukum yang disampaikan dalam Surat Tuntutan JPU telah diakomodir dalam surat putusan PN Jaksel. JPU berhasil meyakinkan majelis hakim untuk membuktikan pasal primair dalam perkara a quo (pembunuhan berencana Brigadir Yoshua).
“Terhadap perkara tersebut, JPU menyatakan sikap, yaitu mempelajari lebih lanjut sambil menunggu upaya hukum yang dilakukan terdakwa dan penasihat hukumnya,”ujarnya.
Humanis
Sementara itu, Direktur Solusi dan Advokasi (SA) Institut, Suparji Ahmad mengatakan, pihaknya mengapresiasi keputusan JPU yang tidak banding menyikapi putusan hakim yang menjatuhkan hukuman 1,6 tahun terhadap Bharada Eliezer. Keputusan itu dinilai menunukkkan sikap kejaksaan yang humanis.
“Kami mengapresiasi langkah Kejagung yang tidak mengajukan banding atas vonis 1,6 tahun terhadap Bharada Eliezer. Langkah yang diambil kejaksaan tersebut sudah tepat. Itu suatu langkah yang bijak dari kejaksaan dengan tidak mengajukan upaya hukum lagi. Kita sebagai masyarakat tentu sangat mengapresiasi kebijakan tersebut,”katanya.
Menurut Suparji Ahmad, apa yang dilakukan Kejagung tersebut merupakan bentuk implementasi jargon humanis kejaksaan. Karena itu masyarakat sangat mendukung. Dengan tidak melakukan upaya hukum banding terhadap vonis 1,6 tahun terhadap Bharada Eliezer, kejaksaan sudah mengedepankan rasa keadilan masyarakat. Penerapan hukum seperti inilah yang ditunggu-tunggu rakyat.
“Terlebih Bharada Eliezer sudah berusaha kooperatif dalam mengungkap peristiwa. Untuk bertindak demikian tidaklah mudah. Maka cara apresiasi adalah dengan tidak mengajukan banding,” tuturnya.
Suparji Ahmad mengatakan, penegakan hukum diharapkan juga demikian di masa-masa mendatang. Aparat penegak hukum harus lebih mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat di samping keadilan kuantitatif.
“Tentu kita berharap tidak hanya pada kasus ini saja hal itu dilakukan. Tetapi juga terhadap bagaimana kasus-kasus serupa yang melibatkan rakyat kecil.Meskipun tidak tersorot, penegakan hukum harus humanis,”katanya.
Sementara itu pada sidang kasus pembunuhan berencana Brigadir Yoshua di PN Jaksel, Rabu (15/2/202), Majelis Hakim PN Jaksel yang dipimpin Wahyu Imam Santoso dengan anggota Morgan Simanjuntak dan Alimin Ribut Sudjono menjatuhkan vonis hukuman hanya 1,6 tahun terhadap terdakwa Bharada Eliezer. Vonis tersebut jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan JPU sebelumnya, yakni pidana penjara selama 12 tahun. (Matra/AdeSM).