Areal tanaman pangan di Dusun Hutaimbaru, Desa Ujung Mariah, Kecamatan Pamatang Silimahuta, Kabupaten Simalungun, Sumut yang kini terlantar dan berubah menjadi lahan tidur. Gambar diambil baru-baru ini. (Foto : Matra/Radesman Saragih).

(Matra, Simalungun) – Sebagian besar petani di desa-desa pesisir Danau Toba, Kecamatan Pamatang Silimahuta, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara (Sumut) membiarkan lahan pertanian pangan terlantar menjadi lahan tidur. Para petani di daerah itu tidak lagi menanam tanaman pangan seperti padi dan jagung maupun tanaman palawija seperti bawang dan sayur-sayuran karena mahalnya harga pupuk. Kondisi tersebut menyebabkan ancaman krisis pangan di desa – desa pesisir Danau Toba tersebut.

Pantauan medialintassumatera.net (Matra) di beberapa desa (nagori) di pesisir Danau Toba, Kecamatan Pamatang Silimahuta, Simalungun, sebagian besar lahan tanaman pangan dan palawija dibiarkan terlantar menjadi lahan tidur. Kemudian sebagian bekas areal tanaman pangan dan palawija tersebut kini ditanami tanaman keras seperti buah-buahan, yakni mangga, coklat, kopi, durian dan kemiri.

Areal tanaman pangan dan palawija yang menjadi lahan tidur di desa-desa pesisir Danau Toba, Pamatang Silimahuta tersebut antara lain terdapat di Dusun Hutaimbaru dan Dusun Soping, Desa (Nagori) Ujung Mariah, Desa Baluhut dan Bage. Kemudian areal tanaman pangan dan palawija juga yang banyak menjadi lahan tidur dan sebagian ditanami tanaman keras seperti mangga, kemiri, kopi dan durian terdapat juga di desa pesisir Danau Toba wilayah Kecamatan Haranggaol – Horisan, Simalungun, yakni di Desa Nagori Purba, Gaol, Binangara, Sihalpe dan Nagori.

L Saragih (40), warga Dusun Hutaimbaru, Desa Ujung Mariah, Pamatang Silimahuta, Simalungun mengatakan, warga Dusun Hutaimbaru tidak ada lagi yang menanam padi maupun bawang merah karena mahalnya harga benih bawang dan pupuk. Para petani dusun tersebut tidak menanam padi darat (ladang) karena banyak serangan hama tikus dan burung. Kemudian para petani juga tidak menanam jagung ataupun ubi kayu karena sering gagal panen akibat serangan hama babi hutan dan kera.

“Petani Dusun Hutaimbaru dan desa-desa pesisir Danau Toba di Kecamatan Pamatang Silimahuta ini juga tidak lagi menanam bawang karena harga bibitnya mahal. Harga bibit bawang merah di Kota Pematangsiantar mencapai Rp 40.000/kilogram (Kg). Kemudian harga pupuk dan pestisida juga sangat mahal. Kalau tanaman bawang berhasil, paling mahal bisa terjual Rp 20.000/Kg, sehingga petani merugi,”katanya.

Areal tanaman pangan yang ditanami mangga di Dusun Hutaimbaru, Desa Ujung Mariah, Pamatang Silimahuta, Simalungun, Sumut. Gambar diambil baru-baru ini. (Foto : Matra/Radesman Saragih).

Dikatakan, untuk memanfaatkan areal tanaman pangan dan palawija di desa-desa pesisir Danau Toba, Kecamatan Pamatang Silimahuta, Simalungun tersebut, para petani menanam kopi dan coklat. Kemudian sebagian petani menanam tanaman keras seperti mangga, durian dan kemiri.

“Setelah tanaman bawang, padi, jagung dan ubi ditinggalkan petani desa-desa pesisir Danau Toba di Simalungun ini, para petani banyak mengandalkan sumber pendapatan dari mangga. Rata-rata petani di Desa Ujung Mariah, Pamatang Silimahuta memiliki tanaman mangga. Baik itu tanaman mangga yang ditanam di areal bekas tanaman pangan, maupun tanaman mangga peninggalan orang tua. Kemudian sebagian petani juga mengandalkan durian peninggalan orang tua,”katanya.

Menurut L Saragih, sikap para petani desa-desa pesisir Danau Toba, Pamatang Silimahuta yang meninggalkan tanaman pangan dan palawija membuat para petani semakin banyak yang kesulitan mendapatkan bahan pangan. Masalahnya tanaman mangga tidak bisa sepenuhnya diandalkan menopang ekonomi keluarga karena sering hanya berbuah sekali setahun.

Sedangkan tanaman kopi dan coklat juga sulit diandalkan karena luas tanam dan produksinya kurang memadai. Karena itu banyak petani di desa-desa pesisir Danau Toba, Pamatang Silimahuta masuk daftar keluarga harapan penerima bantuan sosial.

“Tanaman mangga memang bisa membantu ekonomi keluarga di dusun kami ini jika mangga berbuah lebat. Dari lima pohon mangga berusia 10 – 50 tahun saja, petani bisa mendapatkan penghasilan Rp 16 juta – Rp 25 juta selama musim panen dua bulan. Namun mangga sering hanya berbuah sekali setahun. Jadi hasilnya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga selama mangga tidak berbuah atau musim,”katanya.

Hal senada juga diakui, Anta Damanik (80), warga Dusun Hutaimbaru. Saat ini petani Dusun Hutaaimbaru, Soping, Baluhut dan Bage hanya sedikit yang memanfaatkan lahan pangan untuk tanaman jagung. Sebagian besar petani membiarkan lahan pangan terlantar karena bibit bawang dan pupuk mahal serta tanaman padi ladang sering gagal panen.

Untuk bertahan hidup, lanjut Anta Damanik, para petani di dusun ini lebih banyak mengandalkan hasil panen mangga. Tambahannya ada yang menanam kopi dan coklat. Karena panen mangga sering hanya sekali setahun, pendapatan petani dari hasil penjualan buah mangga di dusun kami ini pun sering hanya bisa bertahan tiga sampai empat bulan.

“Setelah hasil mangga habis, sementara sumber pendapatan lain petani tidak ada, para petani banyak meminjam kepada tengkulak dan dibayar setelah musim mangga. Sebagian petani mendapatkan bantuan keluarga sejahtera dari pemerintah dan bantuan dari anak-anak di perantauan,”katanya.

Kawasan lereng bukit di pesisir Danau Toba, Desa Ujung Mariah, Kecamatan Pamatang Silimahuta yang dulunya areal tanaman bawang merah kini beralih fungsi menjadi areal kebun mangga, durian, kemiri dan kopi. Gambar diambil baru-baru ini. (Foto : Matra/Radesman Saragih).

Tanpa Sawah

Sementara itu berdasarkan data yang dihimpun medialintassumatera.net (Matra) dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Simalungun, Kecamatan Pamatang Silimahuta termasuk wilayah kecamatan di Kabupaten Simalungun yang memiliki lahan dan produksi pangan paling sedikit dari 32 kecamatan di Kabupaten Simalungun. Kecamatan Pamatang Silimahuta yang memiliki 10 desa sama sekali tidak memiliki areal sawah.

Kecamatan Pamatang Silimahuta hanya memiliki padi ladang karena sulitnya irigasi. Luas areal padi ladang di Kecamatan Pamatang Silimahuta hanya sekitar 435,50 ha, berkurang dibandingkan luas areal padi ladang di daerah itu tahun 2017 sekitar 1.747 ha. Produksi padi ladang di Kecamatan Pamatang Silimahuta berkurang dari 5.846 ton tahun 2017 menjadi 1.489 ton tahun 2019.

Kemudian luas areal tanaman jagung di Kecamatan Pamatang Silimahuta hanya sekitar 1.202 ha berkurang dibanding tahun 2017 sekitar 1.810 ha. Produksi jagung berkurang dari 10.431 ton (2017) menjadi 6.831 ton (2019). Sedangkan luas areal tanaman ubi kayu di kecamatan tersebut hanya sekitar 87,2 ha atau berkurang drastis dibanding tahun 2017 sekitar 428 ha. Produksi ubi kayu di Pamatang Silimahuta hanya 602 ton/tahun.

Sementara luas tanaman bawang merah tersisa hanya sekitar 68 ha dengan produksi 8.222 ton/tahun. Di Dusun Hutaimbaru sendiri, tidak ada lagi tanaman padi ladang, bawang dan jagung dan ubi kayu. Kalau pun ada petani yang menanam jagung dan ubi kayu hanya sebagai tanaman sela atau tumpang sari di areal tanaman buah-buahan manga dan durian. (Matra/Radesman Saragih).

Areal tanaman bawang merah yang ditanami coklat di Dusun Hutaimbaru, Desa Ujung Mariah, Pamatang Silimahuta, Simalungun, Sumut. Gambar diambil baru-baru ini. (Foto : Matra/Radesman Saragih).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *