Kapuspenkum Kejagung, Dr Ketut Sumedana. (Foto : Matra/PuspenkumKejagung).

(Matra, Jakarta) – Kejaksaan Agung (Kejagung) benar-benar tidak memberikan toleransi terhadap aparatur Kejaksaan yang dinilai kurang serius menunaikan tugas untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Hal itu dibuktikan dengan sikap tegas Kejagung memberhentikan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Lahat, Sumatera Selatan (Sumsel), Nilawati dan Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejari Lahat, Frans Mona.

Nilawati dan Frans Mona dibehentikan sementara menyusul rendahnya tuntutan mereka terhadap dua orang terdakwa pelaku tindak kekerasan seksual. Rendahnya tuntutan JPU tersebut membuat putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Lahat, Sumsel terhadap kedua terdakwa pelaku tindak kekerasan seksual tersebut menjadi ringan.

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Puspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana di Jakarta, Selasa (10/1/2023) menjelaskan, berdasarkan proses eksaminasi (pengujian dan penelitian) terkait penanganan perkara tindak pidana kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur di PN Lahat, Sumsel ditemukan kelalaian Jaksa Penuntut Umum (JPU).

JPU Kejari Lahat dan pejabat struktural di Kejari Lahat yang menangani perkara tersebut tidak melakukan penelitian terhadap kelengkapan syarat formil dan kelengkapan syarat materil terhadap perkara kasus tindak kekerasan seksual di bawah umur itu. Kemudian ditemukan juga adanya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan JPU Kejari Lahat dalam penanganan kasus tersebut.

Dijelaskan, berdasarkan hasil eksaminasi tersebut, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum merekomendasikan agar hasil eksaminasi khusus tindak kekerasan terhadap anak yang diproses di PN Lahat diserahkan kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan. Selanjutnya hasil eksaminasi tersebut diperiksa oleh Pejabat Pemeriksa Fungsional.

“Pejabat yang menangani perkara dimaksud (Jaksa Penuntut Umum dan Pejabat Struktural) sudah diambil tindakan berupa penonaktifan sementara dari jabatan struktural Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, Senin (9/1/2023). Penonaktifan tersebut didasarkan pada Surat Perintah Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan. Penonaktifan dilakukan untuk mempermudah pemeriksaan kepada yang bersangkutan,”katanya.

Ketut Sumedana lebih lanjut mengatakan, terkait putusan PN Lahat terhadap perkara tindakan kekerasan seksual di bawah umur, JPU Kejari Lahat telah mengajukan upaya hukum banding dengan nomor Akta Permintaan Banding Penuntut Umum Nomor 2/Akta.Pid/2023/PN Lht tanggal 09 Januari 2023 atas nama anak O.OH Bin Lindi. Kemudian Akta Permintaan Banding Penuntut Umum Nomor 3/Akta.Pid/2023/PN Lht tanggal 09 Januari 2023 atas nama anak M Aldo Pratama Bin Meriansyah.

Timbulkan Polemik

Menurut Ketut Sumedana, Majelis Hakim PN Lahat menjatuhkan vonis hukuman hanya 10 bulan penjara terhadap para pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur di PN Lahat. Putusan tersebut lebih berat dibandingkan tuntutan JPU terhadap para terdakwa hanya tujuh bulan penjara.

Dikatakan, tuntutan JPU Kejari Lahat dan Putusan Majelis Hakim PN Lahat yang dinilai terlalu ringan terhadap terdakwa pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur tersebut pun menimbulkan polemik di masyarakat dan diberitakan secara luas di media massa. Tuntutan dan putusan hakim tersebut dianggap tidak adil. Bahkan tuntutan dan putusan tersebut dinilai cenderung melindungi pelaku tindak pidana.

Menyikapi kondisi tersebut, lanjut Ketut Sumedana, pihak Kejagung melakukan eksaminasi (pengujian dan penelitian) terhadap perkara tersebut. Hasil eksaminasi menunjukkan bahwa dalam tindak pidana kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur yang diproses di PN Lahat, para pelaku dan korban masih merupakan anak di bawah umur. Karena itu undang-undang (UU) yang diterapkan dalam penanganan perkara tersebut, yaitu UU RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Kemudian, terhadap para pelaku, dikenakan Pasal 81 ayat (1) UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara dan paling singkat 3 tahun penjara, serta denda Rp 300.000.000 dan paling sedikit Rp 60.000.000.

“Hasil eksaminasi menunjukkan, surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum Kejari Lahat kurang mencerminkan dan memenuhi rasa keadilan di masyarakat sehingga menimbulkan reaksi yang masif di berbagai platform media dan masyarakat termasuk keluarga,”ujarnya.

Ketut Sumedana mengungkapkan, tidak ada norma hukum yang dilanggar apabila JPU melakukan upaya hukum banding meskipun antara putusan dengan tuntutan lebih tinggi. Maka demi keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum berdasarkan hati nurani, diperintahkan kepada JPU Kejari Lahat mengambil langkah strategis yaitu upaya hukum banding dengan harapan hukuman dapat diperberat.

“Sedangkan pimpinan Kejati Sumsel tetap melakukan pemeriksaan yang intensif kepada JPU dan pejabat struktural Kejari Lahat yang menangani perkara tersebut,”katanya. (Matra/AdeSM).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *