(Matra, Jakarta) – Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) beserta seluruh perangkatnya harus bertanggung jawab dalam kasus tragedi sepak bola Indonesia yang menewaskan 132 orang di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Pengurus PSSI yang dinilai paling bertanggung jawab dalam kasus Kanjuruhan mulai dari ketua umum dan Executive Committe (Exco).
Hal tersebut dikatakan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusi (Menkopolhukam) selaku Ketua Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Kanjuruhan, Mahfud MD ketika mengumumkan hasil temuan investigasi Tragedi Kanjuruhan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (14/10/2022). Pada kesempatan itu Mahfud MD menyerahkan hasil investigasi TGIPF Kanjuruhan kepada Presiden RI, Joko Widoao (Jokowi).
Menurut Mahfud MD, pihaknya merekomendasikan agar jajaran PSSI, mulai dari Ketua Umum PSSI, Iwan Bule hingga pengurus lainnya bertangggung jawab atas terjadinya tragedi sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jatim, Sabtu (1/10/2022).
“PSSI harus bertanggung jawab atas tragedi Kanjuruhan, termasuk sub-sub organisasinya. Bertanggung jawab itu berdasar aturan-aturan resmi atau hokum dan yang kedua bertanggung jawab secara berdasarkan moral,” katanya.
Mahfud MD mengatakan, selama melakukan investigasi, pihaknya menemukan fakta-fakta bahwa semua pihak yang terkait dalam penyelenggaran laga sepak bola Arema FC melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu (1/10/2022) sudah melakukan tugas masing-masing sesuai aturan dan kesepakatan.
Dikatakan, seluruh ketentuan yang ditetapkan untuk menyelenggarakan pertandingan sepak bola BRI Liga 1 yang mempertemukan Arema FV dengan Persebaya sudah dipenuhi. Pengamanan pertandingan tersebut pun sudah dilakukan sesuai aturan. Jadi pihak yang aling bertanggung jawab dalam tragedi sepak bola di Stadion Kanjuruhan, yaitu PSSI.
Seperti diberitakan, tragedi sepak bola di Stadion Kanjuruhan yang akhirnya tercatat menewaskan 132 orang, dua di antaranya anggota Polri terjadi seusai laga sepak bola lanjutan BRI Liga 1 2022/2023 antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya.
Pertandingan kesebelasan sesama asal Jawa Timur tersebut dimenangkan Persebaya Surabaya dengan skor 3 – 2. Kekalahan Arema FC dari Persebaya membuat pendukung Arema FC (Aremania) masuk ke lapangan seusai pertandingan dan memicu terjadinya kerusuhan. Kerusuhan tersebut bukan antar suporter Arema FC dengan Persebaya karena pada pertandingan itu tidak ada supporter Persebaya yang menonton di Stadion Kanjuruhan.
Tragedi sepak bola Kanjuruhan membuat PSSI mendapat sorotan tajam. Ketua Umum PSSI sendiri, Iwan Bule bahkan diminta supaya mundur. Namun Iwan Bule menolak mundur dari jabatannya. Iwan Bule berpendapat, mundur dari jabatan Ketua PSSI di tengah tragedi Kanjuruhan merupakan melepaskan tanggung jawab.
Temuan Fakta
Sementara itu, Tim Gabungan Pencari Fakta dari Koalisi Masyarakat Sipil (TGPF KMS) menemukan 12 temuan terkait tragedi sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. TGPF KMS tersebut terdiri dari, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pos Malang, LBH Surabaya, YLBHI, Lokataru, IM 57+ Institute dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Kepala Divisi Hukum Kontras, Andi Muhammad Rezaldi di Malang, Jatim baru-baru ini, temuan mereka terkait tragedi Kanjuruhan, yakni adanya mobilisasi pasukan membawa gas air mata pada paruh babak kedua pertandingan Arema FC vs Persebaya. Kemudian ketika pertandingan Arema FC vs Persebaya usah, beberapa orang suporter masuk ke dalam lapangan.
Para supporter tersebut dinyatakan hanya ingin memberikan semangat dan dukungan moril kepada seluruh pemain Arema FC yang kalah. Namun masuknya supporter Arema FC ke lapangan direspon aparat keamanan secara berlebihan yang pada akhirnya menimbulkan tindak kekerasan.
“Kondisi ini membuat para suporter lain ikut turun ke dalam lapangan untuk menolong suporter lain yang mengalami tindak kekerasan dari aparat keamanan. Mereka bukan bukan mau melakukan penyerangan,”katanya.
Temuan lain TGPF KMS, lanjut Andi Muhammad Rezaldi, sebelum tindakan penembakan gas air mata, tidak ada upaya dari aparat untuk menggunakan kekuatan lain seperti kekuatan yang memiliki dampak pencegahan, perintah lisan atau suara peringatan hingga kendali tangan kosong lunak.
Padahal berdasarkan Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan, Polisi harus melalui tahap-tahap tertentu sebelum mengambil tahap penembakan gas air mata;
Selanjutnya, tindak kekerasan yang dialami para suporter, tidak hanya dilakukan oleh anggota Polri tetapi juga dilakukan oleh prajurit TNI dengan berbagai bentuk seperti menyeret, memukul, dan menendang.
Dikatakan, berdasarkan kesaksian para suporter, penembakan gas air mata tidak hanya ditujukan ke bagian lapangan, tetapi juga mengarah ke bagian Tribun sisi Selatan, Timur, dan Utara sehingga hal tersebut menimbulkan kepanikan yang luar biasa bagi suporter yang berada di tribun.
“Ketika ingin hendak keluar dengan kondisi akses evakuasi yang sempit, terjadi penumpukan di sejumlah pintu yang terkunci. Dalam ruangan yang sangat terbatas tersebut, diperparah dengan masifnya penembakan gas air mata oleh aparat kepolisian dan hal ini berdampak sangat fatal yang mengakibatkan para korban sulit bernafas hingga menimbulkan korban jiwa,”paparnya. (Matra/AdeSM/BerbagaiSumber).