
(Matra, Medan) – Kegelisahan dan keresahan masih menyelimuti kehidupan sebagaian warga masyarakat adat di Tanah Batak, Provinsi Sumatera Utara (Sumut) akibat banyaknya tanah adat mereka yang dikuasai para pemilik modal atau investor. Kehilangan tanah adat tersebut membuat warga masyarakat di Tanah Batak banyak yang kehilangan lahan pertanian sebagai sumber pencaharian keluarga.
Perjuangan masyarakat adat Batak meraih pengakuan ha katas tanah adat mereka yang selama ini masih tetap sulit karena ada kecenderungan keberpihakan pemerintah terhadap investor. Kondisi tersebut tidak bisa dibiarkan agar warga masyarakat di Tanah batak tidak sampai kehilangan tanah di daerah leluhur mereka.
Demikian pokok pikiran yang bisa dipetik dari Bedah Buku bertajuk bertajuk “Nunga Leleng Hami Mian di Son: Perjuangan Panjang Masyarakat Adat Mendapatkan Pengakuan Negara”. Bedah buku tersebut digelar Fakultas Hukum (FH) Universitas Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Nommensen, Medan, Sumut di Perpustakaan Universitas HKBP Nommensen, Senin(3/10/2022).
Tampil sebagai pembicara pada bedah buku tersebut, Dekan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan, Dr Janpatar Simamora, SH, MH, akademisi, Prof Dr Posman Sibuea, Koordinator Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Medan, Sumut, Rocky Pasaribu, SH, MH, aktivis lembaga swadaya masyarakat, Saurlin Siagian, perwakilan Dinas Kehutanan Provinsi Sumut, Jonner Sipahutar.
Bedah buku yang dihadiri ratusan mahasiswa dan civitas akademika Universitas HKBP Nommensen Medan tersebut dipandu Marsen Sinaga. Bedah buku tersebut dikemas melalui model kuliah umum Program “Obrolan dan Pendapat Intelektual dari Nommensen untuk Indonesia” (OPINI) Seri-2. Kegiatan tersebut terselenggara atas kerja sama Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen dengan KSPPM Medan, Sumut.
Dr Janpatar Simamora pada kesmepatan tersebut memaparkan, hingga kini masih ada konflik hukum dalam proses penyelesaian konflik agrarian di wilayah tanah Batak, khususnya wilayah Tapanuli Utara, Toba dan Samosir. Konflik tersebut terjadi dalam pemberlakuan hukum formal dan hukum kebiasaan (adat). Tetapi hukum formal memiliki kuasa (kekuatan) lebih besar, sehingga masyarakat sulit mendapatkan hak mereka atas tanah di daerah sendiri.

Janpatar Simamora yang pernah menjadi Ketua Tim Penyusunan Peraturan Daerah (Perda) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Toba dan Kabupaten Samosir menjelaskan, masyarakat adat sebagai pemilik pertama wilayah adat belum sepenuhnya dilindungi negara. Buktinya, perda tersebut belum berhasil diimplementasikan (dilaksanakan) dengan baik oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Toba dan Samosir.
“Padahal kita sering menegaskan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati sejarahnya. Tetapi negara kita justru belum sepenuhnya menghargai historis keberadaan masyarakat adat yang sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka,”tegas jebolan Magister Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
Sementara itu Koordinator KSPPM Medan, Sumut, Rocky Pasaribu pada kesempatan itu mengungkapkan fakta-fakta kasus konflik lahan yang mereka temukan di wilayah pendampingan KSPPM. KSPPM bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Wilayah Tano-Batak mengajukan pengakuan hak tanah adat masyarakat seluas 27.000 hektare (ha) di Toba dan Samosir.
“Wilayah tanah adat tersebut berhadapan dengan berbagai konflik, yaitu kawasan hutan, konsesi perusahaan kehutanan dan bubur kertas PT Toba Pulp Lestari (TPL), proyek pariwisata dan food estate. Sekitar 6.800 ha lahan tersebut sudah diakui dan dikembalikan kepada masyarakat adat,”katanya.
Dijelaskan, ketika menuntut pengakuan hak tanah adat dari negara, masyarakat adat masih sering mengalami banyak tantangan. Tantangan tersebut terutama ketika masyarakat adat berhadapan tim verfikasi. Keberadaan mereka sebagai masyarakat adat seakan-akan diragukan oleh negara. Negara menaruh curiga kepada mereka padahal sudah ratusan tahun masyarakat adat menguasai wilayah adatnya.
Sementara itu, Prof Posman Sibuea pada kesmepatan itu mengatakan, pihaknya mendukung perjuangan masyarakat adat yang berdarah-darah mempertahankan wilayah adatnya. Industri tidak menjawab kegelisahan masyarakat adat yang semakin terancam kehilangan pekerjaan kesehariannya bercocok tanam atau bertani.
Keberadaan PT TPL, ujarnya, hanya menjadi bencana di Tano Batak (Tanah Batak). Industri bubur kertas tersebut menciptakan krisis air, kemiskinan petani, kerusakan lingkungan dan perampasan ruang hidup. Karena itu perjuangan bersama mengembalikan hak masyarakat adat atas tanah mereka tidak boleh terhenti demi keamanan pangan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
“Kita sekarang harus mengamankan pangan kita. Kedaulatan pangan sejalan dengan kedaulatan petani. Kedaulatan petani terwujud jika hak atas tanahnya jelas,”tegasnya.

Publikasi Buku
Koordinator KSPPM Medan, Sumut, Rocky Pasaribu mengatakan, pihaknya menggandeng Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan menggelar bedah buku tersebut sebagai salah satu upaya mempublikasikan buku-buku yang diterbitkan KSPPM.
Dalam tiga tahun terakhir, katanya, KSPPM telah menerbitkan tiga buku, yakni Tombak Haminjon Do Ngolu Nami (Ladang Kemenyan Sumber Hidup Kami), Mangan Sian Tano Ni Ompung (Hidup dari Tanah nenek Moyang) dan Nunga Leleng Hami Mian di Son (Kami Sudah Lama di Sini).
Diskusi tersebut membahas buku terbitan terakhir, Nunga Leleng Hami Mian Dison. Buku tersebut menjelaskan bagaimana kesulitan masyarakat adat ketika diperhadapkan dengan negara dalam menuntut pengakuan atas hak-hak tradisionalnya.
Para pembahas dan nara sumber diskusi atau bedah buku tersebut, semuanya para pakar di bidang hukum, pembangunan masyarakat, lingkungan dan pemerintahan. Mereka berasal dari lintas profesi, yakni aktivis, akademisi dan kalangan birokrat.
Kehadiran para pembahas atau narasumber dari berbagai kalangan tersebut membuat suasana diskusi menjadi menarik. Pada diskusi tersebut muncul berbagai perspektif (pandangan) ketika mengkaji persoalan-persoalan agraria yang sedang dihadapi masyarakat adat.
Peserta diskusi berasal dari berbagai kalangan, yakni dosen, mahasiswa dan tim KSPPM. Para peserta sangat antusias mengajukan pertanyaan kepada para narasumber. Pertanyaan-pertanyaan lahir dari kegelisahan terhadap hak-hak masyarakat adat yang belum dijamin oleh negara.
Pada sesi diskusi buku tersebut berhasil dicuatkan isu – isu mengenai masyarakat adat. Isu tersebut mendapat perhatian semua kalangan, baik akademisi, mahasiswa, pejabat dan masyarakat perkotaan.
“Kami mengharapkan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan menjadi lembaga yang tepat meperjuangkan hak masyarakat adat ini. Hal ini penting karena perguruan tinggi yang memiliki akademisi-akademisi memang diharapkan berkontribusi menyusun kebijakan mengenai penataan agrarian (pertanahan) yang lebih baik di masa depan,”papar Rocky Pasaribu. (Matra/FebP/AdeSM).