
(Matra, Jambi) – DPRD Provinsi Jambi siap menuntaskan seluruh konflik atau sengketa lahan antara perusahaan dengan masyarakat (petani) di Provinsi Jambi. Penyelesaian konflik lahan tersebut penting guna memberikan lahan usaha yang bisa dimanfaatkan masyarakat meningkatkan kesejahteraan mereka. Namun penuntasan kasus konflik lahan di daerah itu dilakukan secara bertahap, tidak bisa secara sekaligus.
Hal tersebut dikatakan Ketua DPRD Provinsi Jambi, H Edi Purwanto ketika menerima ratusan petani yang menggelar unjuk rasa terkait konflik lahan di DPRD Provinsi Jambi, Selasa (27/9/2022). Para pengunjuk rasa tersbeut tergabung dalam Gerakan Suara Tuntutan Rakyat (Gestur) Jambi.
Menurut Edi Purwanto, DPRD Provinsi Jambi sudah menyelesaikan salah satu konflik lahan yang sudah berlangsung hamper 20 tahun antara warga Suku Anak Dalam (SAD) 113 Kabupaten Batanghari dengan PT Berkat Sawit Utama (BSU) Jambi. Sekitar 750 hektare (ha) yang selama ini dikuasai PT BSU sudah diserahkan kepada SAD 113 Batanghari, 30 Agustus 2022.
Dikatakan, saat ini masih ada sekitar 51.170,15 ha lahan di Jambi yang tersangkut konflik antara petani dan perusahaan. Konflik lahan tersebut melibatkan sebanyak 21 perusahaan. Baik itu perusahaan di bidang hutan tanaman industri (HTI, perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara.
Edi Purwanto mengatakan, pihaknya juga sedang berusaha menyelesaikan konflik lahan antara petani Desa Danau Lamo, Kabupaten Muarojambi dengan pihak perusahaan. Panitia Khusu (Pansus) Konflik Lahan DPRD Jambi dengan tim DPR RI dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah melihat sekitar 2.600 ha lahan sengketa di Danau Lamo baru-baru ini.
Saat kunjungan tersebut, lanjutnya, pihak perusahaan sudah diminta menyerahkan sekitar 2.600 ha lahan tersebut kepada petani. Tetapi ternyata lahan yang akan diberikan perusahaan kepada petani hanya 50 ha. Persoalan tersebut akan kembali diberitahukan kepada DPR RI karena kesepakatan mengenai penyerahan lahan tersebut dilakukan di hadapan perwakilan DPR RI saat itu.
“Kami akan menyampaikan kasus lahan ini ke DPR RI karena wakil DPR RI sudah turun ke lokasi. Ketika itu pihak perusahaan sudah diminta agar menyerahkan 2.600 ha lahan yang mereka kuasai kepada petani. Namun ternyata yang akan diberikan hanya 50 ha. Ini kan sama dengan menampar muka DPR RI. Kami juga akan memanggil pihak Dinas Kehutanan Provinsi Jambi terkait konflik lahan ini,”katanya.

Hentikan Intimidasi
Sementara itu, Koordinator Wilayah (Korwil) Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Jambi yang juga menjabat Koordinator Gestur Jambi, Fransdodi pada kesempatan tersebut mengatakan, penyelesaian konflik lahan tidak bisa dilakukan secara kasus per kasus. Konflik lahan harus dilakukan secara struktural, menyeluruh dan melibatkan semua pihak.
“Penyelesaian konflik lahan secara terstruktur, menyeluruh dan melibatkan semua pihak haris diterapkan di Jambi karena daerah ini sudah mengalami krisis agraria. Kasus konflik lahan di Jambi termasuk nomor dua paling tinggi di Indonesia. Karena itu untuk menuntaskan konflik lahan di Jambi perlu ada kemauan dan komitmen baik DPRD, DPR, gubernur sampai kepada presiden,”katanya.
Fransdodi pada kesmepatan tersbeut juga meminta agar kriminalisasi terhadap para petani di Jambi segera dihentikan. Saat ini ada seorang ibu pemilik sertifikat lahan malah dijadikan tersangka ketika memperjuangkan haknya. Kriminalisasi terhadap warga yang memperjuangkan haknya atas lahan seperti ibu tersebut sering terjadi di berbagai daerah di Jambi.
“Konflik lahan di Jambi masih banyak terjadi di kawasan perusahaan hutan tanaman industri, PT Wirakarya Sakti (WKS) dan beberapa perusahaan perkebunan ada di sektor perkebunan. Saat ini ada seorang ibu menjadi tersangka kasus sengketa lahan padahal ibu tersebut memiliki sertifikat hak milik atas tanahnya,”katanya.
Pada aksi unjuk rasa tersebut, Fransdodi mewakili seluruh petani Jambi menuntut pelaksanaan reformasi agraria sejati di Jambi, menolak bank tanah, menolak omnibus law (Undang-undang tenag Kerja), menghentikan kriminalisasi dan intimidasi terhadap petani, perempuan, mahasiswa dan aktivis agrarian.
Kemudian Gestur Jambi juga menolak impor pangan, meminta pemerintah harus menjamin harga produksi petani, menyelesaikan konflik agraria di Provinsi Jambi secara tuntas dan menyeluruh, menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dam mendorong penerbitan peraturan daerah mengenai agraria di Jambi. (Matra/AdeSM).
