Unjuk rasa warga Suku Anak Dalam (SAD) 113 Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi menggugat pengembalian lahan dengan melakukan aksi jalan kaki ke Jakarta Agustus 2019. (Foto : Matra/Ist).

(Matra, Jambi) – Kepemilikan atas tanah sebagai sumber penghidupan termasuk salah satu hak asasi manusia yang perlu dimiliki setiap warga masyarakat Indonesia. Kepemilikan atas tanah tersebut dijamin konstitusi negara, yakni Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Namun kenyataannya kepemilikan sah atas tanah bagi setiap warga negara tersebut belum sepenuhnya bisa diwujudkan. Bahkan yang sering terjadi di beberapa daerah di Tanah Air, hak masyarakat atas tanah yang diwariskan secara turun-temurun dikuasai pihak pengusaha dan penguasa.

Kehilangan hak atas kepemilikan tanah tersebut antara lain dialami kelompok suku terasing, yakni Suku Anak Dalam (SAD) dan warga masyarakat sekitar hutan di berbagai kabupaten di Provinsi Jambi. Warga masyarakat dari kelompok suku terasing dan masyarakat sekitar hutan di Provinsi Jambi selama ini banyak yang kehilangan hak atas kepemilikan tanah akibat ekspansi perusahaan besar perkebunan kelapa sawit dan perusahaan kehutanan, khususnya hutan tanaman industri (HTI).

Penguasaan lahan perusahaan perkebunan kelapa sawit dan HTI yang begitu luas membuat tanah ulayat (adat) warga SAD dan masyarakat sekitar hutan di Provinsi Jambi banyak yang kehilangan hak mereka atas tanah. Ketika warga SAD dan warga masyarakat sekitar hutan di Jambi menggugat hak kepemilikan lahan yang telah dikuasai perusahaan perkebunan kelapa sawit dan HTI, yang terjadi adalah konflik.

Pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit dan HTI yang menguasai lahan luas berdasarkan izin hak guna usaha (HGU) yang diberikan pemerintah sering melepas sebagian lahan mereka kepada warga SAD dan warga masyarakat sekitar hutan.

Sedangkan ketika warga SAD dan warga masyarakat sekitar hutan menggugat pengembalian lahan atau tanah ulayat mereka yang dikuasai perusahaan perkebunan dan HTI, mereka kerap mendapatkan penolakan. Kondisi tersebut akhirnya memicu konflik lahan antara warga SAD dan warga masyakakat sekitar hutan dengan pihak pengusaha.

Konflik Berlarut

Ketua DPRD Provinsi Jambi, H Edi Purwanto didampingi Ketua Panitia Khusus (Pansus) Konflik Lahan DPRD Provinsi Jambi, Wartono Triyan Kusumo pada diskusi konflik lahan di Jambi baru-baru ini mengungkapkan, kasus konflik lahan di Provinsi Jambi hingga saat ini masih cukup banyak dan penyelesaian kasus masih berlarut-larut. Sebagian besar konflik lahan tersebut sudah ada yang terjadi hingga puluhan tahun dan tidak terselesaikan hingga saat ini.

Banyak konflik lahan di Jambi tidak bisa dituntaskan kendati sudah digugat masyarakat melalui unjuk rasa ke lembaga legislatif dan eksekutif di tingkat kabupaten, provinsi hingga ke pusat. Pasalnya pihak pengusaha biasanya memiliki tameng izin HGU untuk mempertahankan lahan yang mereka kuasai. Jeritan suara hati warga SAD dan masyarakat sekitar hutan yang kehilangan hak atas lahan atau tanah tersebut sering tidak ada didengarkan.

Kendati Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menyerahkan sekitar 6.000 sertifikat tanah kepada warga masyarakat Jambi tahun 2018, ternyata masih banyak warga SAD dan masyarakat sekitar hutan di Jambi yang tidak memiliki hak atas tanah ulayat mereka.

Menurut Edi Purwanto, sejak awal 2021, jumlah pengaduan kasus konflik lahan dari SAD, petani dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang diterima DPRD Provinsi Jambi mencapai 105 kasus dan 25 kasus sudah dilaporkan ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Sedangkan kasus konflik lahan yang belum terselesaikan di Provinsi Jambi hingga tahun 2022 mencapai 51.170,15 ha. Konflik lahan tersebut melibatkan sebanyak 21 perusahaan sawit, HTI dan batu bara. Bahkan saat ini, kasus konflik lahan di Provinsi Jambi menempati urutan kedua tertinggi di Sumatera setelah Provinsi Riau.

“Provinsi Jambi menempati peringkat kedua dalam hal banyaknya konflik lahan di Sumatera setelah Riau. Hal ini memprihatinkan kita semua. Karena itu konflik lahan di Jambi perlu penanganan serius,”tegasnya.

Sebagian sengketa lahan di Jambi sudah berlangsung 20 hingga 30 tahun. Warga masyarakat sudah sering menggugat lahan mereka ke DPRD dan pemerintah daerah tingkat kabupaten, provinsi dan bahkan hingga ke DPR dan Pemerintah Pusat. Namun tak ada hasil. Sengketa lahan di Jambi yang masih menggantung, yakni konflik lahan antara warga masyarakat sekitar hutan Kabupaten Muarojambi PT Ricky Kurniawan Kertapersada.

Kemudian sengketa lahan antara SAD Batin Bahar (113) Batanghari dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Berkat Sawit Utama (BSU). Konflik lahan tersebut sudah berlangsung hampir 20 tahun. Penyelesaian konflik lahan antara warga SAD 113 dengan PT BSU pun telah menempuh perjalanan cukup panjang dan penuh liku.

Medio 2019, ratusan warga SAD Batin Bahar (113), Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi pernah melakukan aksi unjuk rasa ke Kementerian ATR/BPN RI di Jakarta. Mereka meminta pihak PT BSU mengembalikan sekitar 3.550 hektare (ha) tanah ulayat mereka yang masuk ke areal PT BSU.

Namun perjuangan mereka tersebut tidak membuahkan hasil. Lantas warga SAD 113 Batanghari pun melakukan aksi pendudukan lahan perusahaan perkebunan sawit PT BSU di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi medio Juni 2020.

Mereka menuntut pihak BPN Batanghari menyelesaikan pengembalian sekitar 3.550 ha lahan yang dikuasai PT BSU kepada warga SAD 113 Batanghari. Tuntutan itu mereka ajukan karena Menteri ART/BPN melalui surat keputusan Nomor 1373/020/III/2016, tanggal 29 Maret 2016 sudah menyetujui pengembalian lahan itu. Namun hasilnya juga nihil.

Ketua DPRD Provinsi Jambi, H Edi Purwanto (dua dari kanan) menyaksikan penyerahan 754 ha lahan kepada warga Suku Anak Dalam (SAD) 113 Batanghari di Des Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi, Rabu (31/8/2022). (Foto : Matra/HumasDPRDProvJambi).

Kesulitan

Melihat betapa banyaknya kasus konflik lahan di Jambi tersebut, sementara aksi-aksi unjuk rasa tak bisa menyelesaaikannya, DPRD Provinsi Jambi pun berinisiatif mencari solusi penyelesaian konflik lahan di daerah tersebut. Salah satu solusi tersebut, melalui mediasi antara berbagai pihak yang tersangkut konflik lahan. Mediasi itu dilakukan dengan membentuk Pansus Konflik Lahan DPRD Provinsi Jambi, sejak Agustus 2021.

“Semua konflik lahan di Jambi ini tidak akan bisa diselesaikan dengan tuntas jika tidak ada wadah, penggerak, inovasi dan komitmen kita untuk menyelesaikannya. Karena itu Pansus Konflik Lahan DPRD Jambi dibentuk. Pansus fokus menyelesaikan konflik lahan yang memang benar-benar menyalahi aturan atau izin,”katanya.

Menurut Ketua Pansus Konflik Lahan DPRD Prtovinsi Jambi, Wartono Triyan Kusumo, selama melakukan mediasi penyelesaian konflik lahan sejak Agustus 2021 – Agustus 2022, salah satu kesulitan yang dihadapi, yakni menghadirkan pihak manajemen perusahaan pada rapat. Seringkali pihak perusahaan hanya mengutus petugas hubungan masyarakat (humas) yang tidak dapat mengambil keputusan strategis.

“Jadi banyak perusahaan kurang kooperatif jika diundang. Semakin perusahaan tidak kooperatif, ini artinya sama saja dengan memelihara konflik lahan yang terjadi,”ujarnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III (Bidang Pembangunan) DPRD Provinsi Jambi yang juga menjabat Sekretaris Panitia Khusus (Pansus) Konflik Lahan DPRD Provinsi Jambi, Ivan Wirata mengatakan, salah satu bentuk konflik lahan yang mendapat perhatian Pansus Konflik Lahan DPRD Provinsi Jambi, yakni adanya perusahaan yang tidak mengelola kawasan hak guna usaha (HGU) yang mereka kuasai.

Misalnya satu perusahaan perkebunan kelapa sawit menguasai kawasan HGU hingga 15.000 ha. Namun HGU yang mereka kerjakan hanya 7.000 ha. Kemudian ada juga perusahaan yang menguasai lahan lebih dari izin yang mereka kantongi, sehingga usaha perkebunan atau HTI mereka masuk ke tanah ulayat dan hutan adat. Kendati sudah jelas menyalahi aturan, perusahaan sering kali tidak rela mengembalikan kelebihan lahan yang mereka kuasai kepada warga masyarakat sekitar.

Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Dewi Kartika mengatakan, pemerintah daerah dan pihak korporasi belum maksimal memberikan perhatian menuntaskan konflik lahan di Jambi. Hal tersebut tercermin dari kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dan pihak korporasi di Jambi yang kurang prorakyat dalam penyelesaian konflik lahan.

Kebijakan pemerintah dan perusahaan menyikapi kasus konflik lahan di Jambi justru sering menghambat proses penyelesaian konflik itu sendiri. Akibatnya petani di Jambi selalu kalah dalam penyelesaian konflik lahan hingga kini.

“Sikap pemerintah dan perusahaan yang kurang berpihak terhadap masyarakat dalam penyelesaian konflik lahan tersebut merupakan cerminan wajah buruk situasi agraria di Indonesia. Bahkan kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap petani dalam penyelesaian konflik lahan menunjukkan terjadinya pengabaikan negara terhadap situasi-situasi agraria yang terjadi di lapangan,”katanya.

Fokus Konflik SAD

Menyadari situasi tersebut, Pansus Lahan DPRD Provinsi Jambi pun memfokusikan diri menyelesaikan konflik lahan yang kemungkinan besar bisa ditemukan solusinya. Salah satu di antaranya, lahan antara PT BSU dengan warga SAD 113 Batanghari.

Konflik lahan antara SAD 113 dengan PT BSU tersebut mendapat prioritas, karena konflik tersebut sudah berlangsung sekitar 35 tahun. Kemudian sudah ditemukan data-data mengenai tanah ulayat yang dikuasai PT BSU di luar areal yang ditetapkan dalam izin HGU mereka. Selain itu Pemerintah Pusat melalui Kementerian ATR/BPN pun sudah menyetujui pengembalian lahan tersebut.

Ketua DPRD Provinsi Jambi, Edi Purwanto mengatakan, mediasi penyelesaian konflik lahan SAD 113 Batanghari dengan PT BSU tersebut dilakukan dengan mempertemukan berbagai pihak. Baik itu pihak penggugat, yakni warga SAD 113, perusahaan, perusahaan, pemerintah daerah di Jambi, pihak BPN daerah, Kementerian APR/BPN dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Provinsi Provinsi Jambi.

Menurut Edi Purwanto, keterlibatan banyak pihak terkait dalam penyelesaian konflik lahan penting karena selain melalui pendekatan hukum, penyelesaian konflik lahan juga dapat dilakukan lewat pendekatan adat dan politik. Pendekatan hukum kalau bisa merupakan jalan terakhir penyelesaian konflik lahan.

Dikatakan, penyelesaian konflik lahan warga SAD 113 Batanghari dengan PT BSU didahului dengan Diskusi Kelompok Terpumpun (Focus Group Discussion/FDG) yang digelar di DPRD Provinsi Jambi, Jumat (25/2/2022). FGD tersebut dimaksudkan mendengar saran dan masukan dari berbagai pihak terkait penyelesaian konflik lahan di Jambi. Jadi penyelesaian konflik lahan didahului FGD untuk menerapkan prinsip legal, win-win solution (sama-sama menang) dan mendapat persetujuan semua pihak terkait.

Hasil FGD tersebut mengenai penyelesaian konflik lahan cukup kuat karena FGD tersebut dihadiri unsur Pemprov Jambi, Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Provinsi Jambi, pemerintah kabupaten yang ada konflik lahan di wilayahnya, lembaga adat Jambi, pakar hukum Universitas Jambi, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Jambi, lembaga swadaya masyarakat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian ATR/BPN dan DPR RI.

Penyelesaian lahan yang dilakukan Pansus Konflik Lahan DPRD Provinsi Jambi melalui mediasi tersebut pun akhirnya membuahkan hasil. Pada rapat penyelesaian konflik lahan yang dipimpin langsung Menteri ATR/Kepala BPN, Marsekal TNI (Purn) Dr (HC) Hadi Tjahjanto di rumah dinas Gubernur Jambi, Kota Jambi, Jumat (22/7/2022), disepakati bahwa PT BSU harus menyerahkan lahan sekitar 754 ha lahan perkebunan mereka kepada 744 orang warga SAD 113 Batanghari.

Penyerahan lahan itu paling lambat harus dilakukan, Rabu (31/8/2022). Penyelesaian konflik lahan harus tetap berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 42 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Koordinasi Penanganan Konflik Sosial dengan meningkatkan efektivitas dan keterpaduan dalam upaya pencegahan konflik, penanganan konflik, dan pemulihan pasca konflik.

Menurut Menteri ATR/BPN, Hadi Tjahjanto, penyelesaian sengketa lahan antara PT BSU dengan kelompok SAD 113 Batanghari tidak bisa diselesaikan selama ini karena pihak PT BSU masih berat membagi lahannya. Karena itu untuk mempercepat penyelesaian sengketa lahan tersebut, pihak PT BSU diharapkan segera menyerahkan lahan yang dituntut warga SAD.

“Kami mengharapkan pertemuan ini bisa merumuskan langkah-langkah terbaik dalam penyelesaian konflik perusahaan dengan SAD 113 Batanghari. Penyelesaian sengketa lahan ini juga kami harapkan tidak merugikan pihak perusahaan dan warga SAD 113. Kelompok SAD 113 perlu mendapatkan haknya atas lahan agar mereka bisa berusaha ekonomi produktif demi kesejahteraan mereka,”katanya.

Hadi Tjahjanto mengungkapkan, pihaknya mengapresiasi terobosan DPRD Provinsi Jambi menyelesaikan konflik lahan melalui kebijakan pembentukan Pansus dan Satgas Konflik Lahan DPRD Provinsi Jambi. Dirinya pun menanggapi positif semua rekomendasi DPRD Provinsi Jambi mengenai penyelesaian konflik lahan kepada Kementerian ATR/BPN.

“Kami sudah menerima 23 rekomendasi penyelesaian konflik lahan dari DPRD Provinsi Jambi. Salah salah satu rekomendasi yang mendapat perhatian khusus kami, yakni mengenai masalah audit (pemeriksaan) luas, fungsi dan kemanfaatan lahan yang berstatus sengketa,”katanya.

Penyerahan lahan dari PT BSU kepada warga SAD 113 Batanghari tersebut pun direalisasikan pada Rabu (31/8/2022) di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Serah terima lahan tersebut disaksikan langsung Ketua DPRD Provinsi Jambi, H Edi Purwanto.

“Kami hadir hari ini di sini untuk memastikan bahwa kesepakatan antara SAD 113 dengan pihak PT BSU berjalan dengan baik sebagaimana kesepakatan 22 Juli 2022 lalu bersama Menteri ATR/BPN. Hari ini ini kita melakukan pengukuran, bikin batas, patok-patok seluas 750 ha sesuai kesepakatan,”ujarnya.

Sedangkan menurut Edi Purwanto, penyerahan lahan diharapkan menjadi solusi akhir penyelesaian konflik lahan antara warga SAD 113 Batanghari dengan perusahaan. Pihak DPRD Provinsi Jambi berharap tidak ada lagi kelompok-kelompok tertentu yang menguasai lahan tersebut secara sepihak dan inkonstitusional. Masalahnya kesepakatan penyerahan lahan itu sudah disetujui semua pihak, baik pihak perusahaan dan sudah ditetapkan Kementerian ATR/BPN melalui proses identifikasi, verifikasi yang panjang dan komprehensif.

“Inilah buktinya negara hadir dalam proses penyelesaian konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan. Kehadiran kami disini untuk mengamankan keputusan yang telah disepakati bersama tersebut. Penyelesaian konflik lahan melalui mediasi ini kiranya bisa menjadi percontohan penyelesaian konflik lahan di Jambi,”katanya.

Sementara itu, pihak PT BSU melalui Kebag Humas perusahaan tersebut, Ali Basrin pada kesmepatan tersebut mengatakan, pihaknya akan mengikuti keputusan pemerintah mengenai penyelesaian konflik lahan tersebut.
“Apapun keputusan pemerintah, PT BSU tidak bisa memungkiri lagi. Kami dari pihak manajemen akan mengikuti keputusan negara tersebut,”ujarnya.

Perwakilan warga SAD 113, Bungku, Bajubang, Batanghari, Jambi, Mahyudin didampingi fasilitator (pendamping) warga SAD, Wahyu Hidayat pada penyerahan lahan dari PT BSU kepada warga SAD 113 di Bungku, Rabu (31/8/2022) mengakui, warga SAD 113 dan masyarakat sekitar hutan di Bungku, Bajubang, Batanghari cukup lega sudah memperoleh kembali hak mereka atas lahan yang selama ini dikuasai perusahaan.

“Melalui penyerahan lahan sekitar 754 ha tersebut, sekitar 744 orang dari ratusan keluarga SAD 113 Batanghari sudah memiliki lahan berusaha dan permukiman. Sejak lahan mereka dikuasai perusahaan, ratusan warga SAD 133 Bungu tercerai – berai di berbagai wilayah dan kawasan hutan di Batanghari. Ya, kami lega. Setelah sekitar 35 tahun berjuang, kami kini bisa kembali memiliki lahan usaha dan tempat bermukim secara legal,”kata Mahyudin.

Menurut Mahyudin, seluruh warga SAD 113 Batanghari mensyukuri komitmen Kementerian ATR/BPN RI, DPRD Provinsi Jambi, Pemprov Jambi, Pemkab Batanghari beserta seluruh pihak yang telah mendukung perjuangan mereka hingga bisa kembali memperoleh tanah ulayat dan hutan adat yang selama ini dikuasai perusahaan.

“Satu lagi harapan kami, pihak Kementerian ATR/BPN memberikan sertifikat lahan kami untuk setiap keluarga. Hal itu penting agar pembagian lahan sekitar 754 ha dari perusahaan untuk sekitar 744 orang warga SAD 113 Batanghari tidak pula memunculkan masalah. Kami ingin setiap keluarga SAD 113 di Batanghari ini bisa memiliki sertifikat lahan sesuai pembagian/penetapan lahan yang dilakukan pemerintah,”katanya.

Hendaknya jeritan-jeritan warga masyarakat Jambi yang terjebak konflik lahan mendapat respon seperti yang dilakukan para wakil rakyat terhadap warga SAD 113 dan masyarakat sekitar hutan di Jambi. Penyelesaian konflik lahan melalui mediasi, berlandaskan konstitusi dan berorientasi pemenuhan hak asasi masyarakat seperti yang dilaksanakan di DPRD Provinsi Jambi tersebut tentunya bisa menjadi pilot project (percontohan) penyelesaian konflik lahan di Jambi dan daerah lain di Tanah Air. Semoga. (Matra/Radesman Saragih).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *