
(Matra, Jambi) – Masyarakat adat Rumpun Melayu se-Sumatera mendukung sepenuhnya program penegakan keadilan bersifat humanis yang digulirkan Kejaksaan Agung, restorative justice (keadilan restoratif). Melalui restorative justrice, penyelesaian perkara pidana di tingkat masyarakat dapat dilakukan tanpa harus melalui meja sidang pengadilan, tetapi cukup hanya melalui mediasi atau perdamaian sesuai hukum adat yang masih dianut masyarakat.
Dukungan Rumpun Melayu se-Sumatera mengenai restorative justice tersebut mengemuka pada Musyawarah wilayah (Muswil) IV Rumpun Melayu se-Sumatera yang digelar di auditorium rumah dinas Gubernur Jambi, Kota Jambi, Jumat (26/8/2022) malam.
Tampil sebagai pembicara utama pada musyawarah tersebut, Jaksa Agung, Prof Dr ST Burhanuddin, SH, MH, MM. Musyawarah tersebut dihadiri Gubernur Jambi, H Al Haris, Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Jambi, pengurus LAM se-Sumatera dan pengurus LAM se-Provinsi Jambi.
ST Burhanuddin dalam paparannya berjudul “Pemberdayan Masyarakat Adat dalam Kerangka Restorative Justice” pada kesempatan tersebut mengatakan, Kejaksaan berupaya mengembalikan hukum agar sesuai dengan nilai luhur, budaya dan sosial masyarakat sekaligus juga berupaya menggali hukum dan keadilan masyarakat.
Upaya tersebut dilakukan menerbitkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Restorative Justice). Pendekatan keadilan restoratif tersebut memiliki ciri khas tersendiri, yaitu keadilan restoratif yang menitik-beratkan pada upaya memperbaiki keadaan yang timbul akibat adanya sebuah perbuatan pidana.
“Penyelesaian perkara tersebut difokuskan pada pemenuhan keadilan bagi korban tindak pidana. Hal itu dilakukan dalam rangka memperbaiki atau merestorasi keadaan korban seperti kepada keadaan semula, sekaligus juga turut memperhatikan aspek kemanusiaan pelaku dan mengakomodir rasa keadilan masyarakat,”ujarnya.
Rumah Restoratif
Menurut ST Burhanuddin, Kejaksaan hadir mengambil posisi di tengah-tengah, antara pelaku, korban dan masyarakat secara proporsional, sehingga diharapkan akan tercipta pemulihan keadilan yang utuh diantara para pihak. Pada hakikatnya, menyampaikan keadilan restoratif atau Rumah Restorative Justice (RJ) merupakan budaya bangsa yang tercermin dari nilai-nilai Pancasila, khususnya Sila Kedua yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan untuk diperlakukan sama dimuka hukum.
“Rumah RJ juga merupakan cerminan dari Sila Keempat, dimana nilai-nilai keadilan diperoleh melalui musyawarah untuk mufakat dalam penyelesaian masalah. RJ yang diterapkan oleh Kejaksaan menjadi begitu istimewa, karena spiritnya selalu berupaya melibatkan unsur kebudayaan atau kearifan lokal masyarakat, khususnya masyarakat adat dan hukum adat dalam pelaksanaannya,”ujarnya.
Dijelaskan, pelibatan unsur kearifan lokal masyarakat adat dan hukum adat di dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 sejalan dengan politik hukum bangsa yang mengakui dan menghormati seluruh tatanan dan institusi masyarakat adat pada Pasal 18B ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
“Kemudian untuk mengoptimalisasi pelibatan unsur kearifan lokal masyarakat adat, dalam setiap upaya perdamaian dengan pendekatan keadilan restoratif yang dilakukan oleh Kejaksaan, maka dibentuklah wadah Rumah Restorative Justice atau Rumah RJ,” ujar Jaksa Agung.
Menurut, ST Burhanuddin, Rumah RJ akan berfungsi sebagai wadah untuk menyerap nilai kearifan lokal masyarakat adat, serta menghidupkan kembali pelibatan tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat untuk bersama-sama dengan Jaksa, dalam proses penyelesaian perkara yang berorientasikan pada perwujudan keadilan subtantif. Rumah RJ bahkan dapat disinergikan dengan wadah kelembagaan adat, yang eksis di dalam suatu komunitas adat tertentu.
“Saya memberikan contoh misalkan di Tanah Pilih Pesako Betuah atau Jambi ini. Pelaksanaan RJ dengan wadah Rumah RJ di tengah masyarakat Melayu Jambi dapat berkolaborasi dengan keberadaaan Lembaga Adat Melayu Jambi yang diakui sebagai bagian dari sistem keorganisasian masyarakat. Legalitas LAM Jambi juga kuat karena keberadaanya sudah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jambi Nomor 5 Tahun 2007 tentang Adat Melayu Jambi,”ujarnya.

Seloko Adat
ST Burhanuddin lebih lanjut mengatakan, keberadaan LAM Jambi yang memegang teguh seloko (petuah/nilai-nilai) adat – istiadat Melayu merupakan sebuah lembaga yang berperan penting membina dan menjaga kelestarian adat – istiadat Melayu Jambi. Masyarakat Melayu Jambi memiliki seloko, “Sepadi sumbing sebiras, abislah dek canai dengan gerindo”.
Seloko tersebut mengandung makna bahwa perselisihan kecil jangan diperbesar dan hendaklah diakhiri dengan bermanfaat secara kekeluargaan. Falsafah tersebut sejalan dengan semangat dari RJ yang berupaya mendamaikan perselisihan yang muncul ditengah masyarakat dengan cara memberikan kesempatan bagi korban, pelaku beserta pihak-pihak terkait untuk duduk bersama menyelesaikan permasalahan di antara mereka.
“Penegakan hukum yang berkeadilan adalah penegakan hukum yang dapat memberikan suatu kemanfatan, dan menghadirkan keadilan subtantif yang dapat dirasakan oleh masyarakat,”katanya.
Menurut ST Burhanuddin, berdasarkan Pasal 8 ayat (3) dan Ayat (4) Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, jaksa melakukan penuntutan demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dan hati nurani dengan mengindahkan norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat.
“Kita harus menggali hukum dan keadilan yang hidup di tengah masyarakat karena saya melihat hukum sebagai sebuah kaidah sosial, tidak lepas dari nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat,”tambahnya.
ST Burhanuddin menegaskan, hukum hadir dalam rangka mengatur hidup masyarakat, karena hukum lahir dan ada karena masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang merepresentasikan rasa keadilan serta nilai-nilai sosial, etika dan budaya masyarakat itu sendiri.
“Ketika hukum itu terpisah atau jauh dari masyarakatnya, maka hukum tersebut dipastikan akan tidak selaras dengan masyarakatnya. Kondisi tersebut, bagi Kejaksaan adalah sebuah kegagalan hukum,”tegasnya.
Dikatakan, Kejaksaan Republik Indonesia merupakan lembaga pemerintah yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman, khususnya di bidang penuntutan serta wewenang lain berdasarkan undang-undang, yang dilaksanakan secara merdeka dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun.
UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia mengatur kewenangan Kejaksaan dalam bidang hukum pidana. Kewenangan tersebut, melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan hakim, dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Kemudian melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat. Selain itu melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang, melakukan mediasi penal dan lain-lain.
Kewenangan Kejaksaan di bidang penegakan hukum pidana tersebut, lanjutnya, harus mampu mewujudkan cita dan tujuan hukum yakni menciptakan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat, bangsa dan negara.
“Untuk itu, guna mencapai dan menyeimbangkan ketiga tujuan hukum tersebut, kejaksaan harus mampu menyerap nilai-nilai yang terkandung baik dalam hukum tertulis yang berlaku, maupun hukum tidak tertulis yang hidup dan berkembang, di tengah masyarakat secara dinamis,”paparnya.
ST Burhanuddin mengatakan, fokus pembangunan hukum di Indonesia saat ini sudah mengarah pada upaya meninggalkan paradigma penegakan hukum pidana yang bersifat retributif menuju ke arah paradigma hukum yang bersifat restoratif dan rehabilitatif. Jajaran Kejaksaan harus mendorong pergeseran paradigma hukum sesuai dengan fungsi jaksa selaku dominus litis (pengendali perkara).
“Kejaksaan sebagai pengendali perkara mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum. Hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak,”ujarnya.
ST Burhanuddi menjelaskan, kejaksaan harus mampu menyeimbangkan antara aturan yang berlaku dengan interpretasi hukum yang bertumpu pada tujuan kemanfaatan. Artinya, suatu perkara jika diajukan ke pengadilan tidak hanya semata-mata berdasarkan pelanggaran aturan hukum yang berlaku, namun juga difokuskan pada kemanfaatannya bagi masyarakat.
Sementara itu, Ketua LAM Provinsi Jambi, Drs H Hasan Basri Agus, MM pada kesempatan tersebut mengatakan, LAM Jambi mendukung penyelesaian perkara pidana melalui restorative justice. Kebijakan restorative justice tersebut dinilai menghidupkan kembali nilai-nilai luhur adat menyelesaikan persoalan hukum di tengah masyarakat kecil.
Dikatakan, kebijakan restorative justice melahirkan pergeseran penanganan berbagai konflik yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat. Beragam konslik yang terjadi mulai dari konflik individu, antar individu, individu dengan kelompok hingga konflik antar kelompok kini bisa diselesaikan melalui mediasi, tidak harus ke pengadilan.
“LAM Jambi merupakan salah satu wadah yang bisa memfasilitasi restorative justice melalui pemberlakuan hukum adat, mediasi dan koordinasi. Penyelesaian perkara hukum di tengah masyarakat melalui mediasi secara adat tersebut penting agar kita bisa menjaga kebersamaan, stabilitas, saling menghargai dalam kehidupan masyarakat,”katanya. (Matra/AdeSM).