Pdt J Wismar Saragih. (Foto : Matra/BukuInMemoriamPdtJWismarSaragih).
Pengantar
Warga Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) memperingati 119 Tahun Pekabaran Injil di Tanah Simalungun, 2 September 2022. Menyambut peringatan 119 Tahun Pekabaran Injil di Simalungun tersebut, seluruh jemaat GKPS di Kabupaten Simalungun dan Tanah Air merayakan Pesta Olob-olob (Sukacita) Tingkat Jemaat, Minggu, 7 Agustus 2022.
Bertepatan dengan Pesta Olob-olob Jemaat se-GKPS tersebut, Redaksi medialintassumatera.net (Matra) menyajikan tulisan mengenai kiprah putra Simalungun yang menjadi pendeta pertama di Simalungun, Pendeta (Pdt) Jaulung Wismar Saragih. Tulisan ini digarap Pemimpin Redaksi medialintassumatera.net, Radesman Saragih dari berbagai sumber. (Tulisan I). Selamat membaca.***
Pekabaran Injil (PI) di Tanah Simalungun benar-benar berkembang pesat hingga memasuki Abad Kedua PI di Simalungun saat ini. Sejak Injil disemaikan misionaris Jerman, Pdt August Theis di Simalungun, 2 September 1903 hingga 2 September 2022 atau 119 Tahun Injil di Simalungun, kekristenan tumbuh subur di Simalungun.
Pesatnya perkembangan PI di Tanah Simalungun dapat dilihat dari pertambahan jumlah orang Simalungun yang memeluk Kristen dan bertumbuhnya gereja, khususnya Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) di daerah Simalungun hingga ke luar daerah Simalungun.
Pada Sinode Bolon ke-45 GKPS di Kota Pematangsiantar, Sumut, Selasa (28/6/2022), jumlah warga jemaat GKPS mencapai 227.569 jiwa. Mereka bernaung di dalam 636 jemaat (gereja), 147 resort dan 11 distrik. Warga GKPS tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Bali. Namun mayoritas jemaat GKPS berada di wilayah Sumatera Utara, khususnya di tanah Simalungun.
Inspirator
Pesatnya perkembangan PI di Tanah Simalungun hingga kini tentunya tidak terlepas dari kiprah Pendeta (Pdt) Jaulung Wismar Saragih Sumbayak yang sangat akrab disebut Pdt J Wismar Saragih. Tampilnya Pdt J Wismar Saragih sebagai putra pertama orang Simalungun menjadi pendeta membangkitkan semangat orang Simalungun mengabarkan Injil di Simalungun.
Boleh dikatakan, Pdt J Wismar Saragih yang lahir di Sinondang Utara, 1888, sekitar tiga kilometer selatan Pematang Raya, Sumatera Utara menjadi inspirator bagi orang Simalungun untuk memeluk Kristen dan terpanggilmengabarkan Injil dan memajukan pendidikan di Simalungun.
Spritualitas Pdt J Wismar Saragih yang sangat kental menjadi teladan bagi orang Simalungun menjadi saksi-saksi Kristus. Spritualitas Pdt J Wismar Saragih tersebut nampak dari sikap kemandiriannya masuk Kristen dan tekadnya menggapai cita-cita menjadi pendeta.
Jaulung Saragih muda awalnya mengenal Alkitab (Injil) atau ajaran Kristen dari misionaris utusan kelompok penginjil dari Jerman (RMG/Rheinische Missions-Gesselschaft), Pdt August Theis. Saat itu Jaulung menginjak usia sekitar 22 tahun. Setelah mendapat pengajaran mengenai kekristenan, Jaulung Saragih menjadi Kristen dan dibaptis atas kemauan sendiri.
Semula ayahnya, Jalam Saragih Sumbayak dan Ibunya, Roggainim boru Purba Sigumonrong dari kampung Raya Dolog kurang setuju Jaulung menjadi Kristen. Ibunya sendiri khawatir Jaulung Saragih meninggalkannya setelah masuk Kristen. Namun Jaulung Saragih bisa meyakinan orang tua, khusunya Ibunya bahwa Dia akan tetap mengasihi orang tua dan keluarga kendati masuk Kristen. Jaulung pun akhirnya dibaptis di Pematang Raya 11 September 1910. Setelah dibaptis, nama belakang Jalulung pun ditambah Wismar menjadi Jaulung Wismar Saragih.
Keterbelakangan Simalungun
Pdt J Wismar Saragih berjuang keras membebaskan orang Simalungun dari keterbelakangan dan kebodohan karena merasa prihatin melihat kondisi orang Simalungun yang miskin, terbelakang dan tertinggal dari etnis lain di Tanah Batak. Pdt J Wismar ingin orang Simalungun percaya, kaya, pintar, hormat dan jujur. Dia ingin membangkitkan orang Simalungun yang tertutup menjadi terbuka, cerdas, kompetitif, sehingga tidak tergilas perkembangan zaman.
Pdt J Wismar Saragih memiliki pemikiran-pemikiran misioner (memiliki tujuan jelas dan terukur), visioner (menjangkau jauh ke masa depan) dan humanis (penuh rasa kemanusiaan yang sangat menghargai harkat dan martabat setiap insan). Pdt J Wismar melihat, untuk membebaskan orang Simalungun dari kebodohan dan keterbelakangan, orang Simalungun harus memiliki kesadaran yang lebih tinggi atas harkat dan martabat mereka sebagai insan berharga di tengah bangsa dan di mata Allah.
Melalui kesadaran tersebut, orang Simalungun akan bangkit, berupaya secara mandiri meningkatkan taraf hidupnya dan mengubah keperceyaaan mereka dari animisme kepada Injil. Injil disadari akan membawa pencerahan bagi orang Simalungun. Untuk itu orang Simalungun harus memiliki pengetahuan dan wawasan berpikir yang lebih luas dan maju melalui pendidikan, khususnya kemampuan baca, tulis dan hitung (calistung).
Pdt J Wismar Saragih menyadari benar pentingnya pendidikan dan bahasa Simalungun untuk mencerdaskan orang Simalungun sekaligus mempercepat penyebaran Injil di Simalungun. Melalui peningkatan pendidikan, orang Simalungun akan lebih cepat menerima ajaran Injil Kristus. Kemudian penggunaan bahasa Simalungun dalam pendidikan di Simalungun akan mampu membuat orang Simalungun lebih cepat menerima pendidikan formal. Pendidikan formal tersebut dinilai penting membuka wawasan orang Simalungun, sehingga mereka segera meninggalkan pola-pola atau sikap mental yang menghambat kemajuan.
Pdt J Wismar Saragih juga menyadari, pendidikan formal (calistung) di kalangan orang Simalungun harus dipercepat hingga ke desa-desa terpencil dan semua kalangan warga masyarakat. Kemudian pengajaran mengenai Injil Kristus juga perlu dipercepat guna membangkitkan kesadaran sekaligus membuka wawasan baru bagi orang Simalungun agar bisa mengarahkan hidup untuk kebaikan dan kesejahteraan.
Bahasa Simalungun
Untuk mempercepat PI dan pendidikan di Simalungun, Pdt J Wismar Saragih menilai bahasa Simalungun harus dijadikan bahasa pengantar dalam pelayanan Gereja (ibadah dan evangelisasi) maupun pendidikan di sekolah-sekolah. Hal itu penting karena orang Simalungun masih banyak yang tidak bisa bebahasa Toba yang dijadikan sebagai bahasa pengantar PI dan pendidikan di Simalungun.
Pdt J Wismar Saragih berprinsip, bahasa Simalungun harus digunakan sebagai pengantar PI dan pendidikan di Simalungun agar orang Simalungun lebih tertarik menerima Injil dan mengikuti sekolah. Karena itu Pdt J Wismar Saragih terus mengupayakan penggunaan bahasa Simalungun di sekolah – sekolah dan kebaktian di gereja. Penerbitan buku-buku rohani dan bacaan berbahasa Simalungun juga perlu ditingkatkan sebagai bahan pembelajaran mengenai Injil dan pendidikan umum bagi orang Simalungun.
Pdt J Wismar Saragih berjuang menggunakan bahasa Simalungun dalam PI dan pendidikan di Simalungun karena melihat bahwa PI dan pendidikan di Simalungun lambat selama menggunakan bahasa Toba. Kemudian penggunaan bahasa Toba dalam PI dan pendidikan di Simalungun menimbulkan ancaman terhadap hilangnya bahasa dan adat Simalungun.
Ancaman hilangnya bahasa Simalungun itu juga dipengaruhi adanya anggapan bahwa etnis Simalungun merupakan bagian dari etnis Toba. Anggapan tersebut membuat orang Simalungun merasa termarjinalisasi, sehingga mereka semakin sulit menerima ajaran Injil dan pendidikan.
Karena itu ketika menjalankan tugas sebagai Pendeta Evangelis di Simalungun, Pdt J Wismar Saragih berupaya meneruskan penggunaan bahasa Simalungun. Kemudian penggunaan bahasa Simalunun juga ditingkatkan dalam proses belajar-mengajar di sekolah formal dan nonformal.
Gagasan Pdt J Wismar Saragih menggunakan bahasa Simalungun dalam PI dan pendidikan di Simalungun kurang mendapat dukungan kalangan misionaris Jerman yang melayani di luar Simalungun). Namun Pdt J Wismar Saragih tidak patah semangat. Pdt J Wismar Saragih yakin benar bahwa penggunaan bahasa Simalungun dalam PI di kalangan orang Simalungun akan mempercepat pencapaian jumlah orang Simalungun masuk Kristen.
Pdt J Wismar Saragih yakin akan hal tersebut karena bahasa Simalungun dalam PI dan Pendidikan di sekolah-sekolah Kristen di Simalungun bisa meningkatkan rasa familiar (kekeluargaan) dan ahap (hubungan emosional) sesama orang Simalungun. Melalui ahap tersebut, para pemberita Injil Simalungun yang menggunakan bahasa Simalungn bisa menyentuh perasaan dan pendekatan persuasif agar orang Simalungun bersedia menerima Injil dan mengikuti Pendidikan. Penggunaan bahasa Simalungun juga akan membuat semakin banyak orang Simalungun tertarik mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah dan kebaktian-kebaktian di gereja.
Susun Kamus
Kendati menghadapi tantangan, gagasan Pdt J Wismar Saragih mengenai penggunaan bahasa Simalungun dalam PI dan pendidikan di Simalungun akhirnya diwujudkan. Rencana penggunaan bahasa Simalungun sebagai bahasa pelayanan gereja dan pendidikan di Simalungun diawali Pdt J Wismar Saragih dengan penyusunan Kamus Bahasa Simalungun dan menulis buku-buku bacaan rohani dan sosial berbahasa Simalungun. Penyusunan Kamus Bahasa Simalungun tersebut dimulai Pdt J Wismar Saragih tahun 1916 ketika Dia bertugas sebagai guru zending.
Setelah itu J Wismar Saragih mulai mengumpulkan kata-kata dan Istilah Simalungun. Kata-kata dan istilah Simalungun tersebut dicatatnya dengan tulisan tangan. Selama menjadi guru zending, 1915 – 1921, J Wismar Saragih telah menulis buku-buku rohani dan pembelajaran berbahasa Simalungun, yaitu “Rudang Ragi-ragian”, “Bunga Rampai”, “Tata Bahasa” dan Kamus Bahasa Simalungun. Selain itu bacaan-bacaan Alkitab dalam bahasa Toba diterjemahkannya ke dalam bahasa Simalungun. Pelajaran sekolah pun ditulis J Wismar dengan bahasa Simalungun.
Guna mempercepat PI dan Pendidikan melalui penggunaan bahasa Simalungun, Pdt J Wismar dan kawan-kawan juga merintis pendirian “Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen” (Komite na Ra Marpodah/Bersedia Mengabarkan Injil) bertepatan dengan Pesta Perak peringatan 25 Tahun PI di Simalungun, 2 September 1928. Organisasi ini memiliki tugas utama menerbitkan buku-buku rohani (Kristen) dan Simalungun berbahasa Simalungun.
Bertepatan dengan Pesta Perak 25 Tahun Pekabaran Injl di Simalungun tersebut diputuskan bahwa untuk percepatan PI dan Pendidikan di Simalungun perlu menggunakan bahasa Simalungun sebagai bahasa pengantar. Kesepakatan itu diambil jajaran Sinode HKBPS menyusul mulai adanya buku-buku pembelajaran Injil menggunakan bahasa Simalungun.
Pada Pesta Perak tersebut diterbitkan dan diedarkan buku kecil karya Pdt J Wismar Saragih berjudul Pesta Pirak di Kuria Raya. Buku kecil tersebut mengilhami dan memberi semangat bagi para pemberita Injil dan cendekiawan Simalungun segera menggunakan bahasa Simalungun sebagai bahas pengantar PI dan pengajaran di sekolah-sekolah. Selain itu disepakati pula pentingnya pendekatan budaya atau adat – istiadat dalam PI dan pendidikan di sekolah.
Pengesahan pembentukan Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen (Komite Penasihat Simalungun) dan penggunaan bahasa Simalungun sebagai bahasa pengantar PI dan pembelajaran sekolah di Simalungun dilakukan melalui rapat khusus 14 orang tokoh Kristen Simalungun di rumah Djaoedin Saragih di Pematangraya, 13 Oktober 1928.
Komite ini memiliki tugas khusus menyediakan bahan-bahan tertulis pemberitaan Injil dan pelajaran di sekolah menggunakan bahasa Simalungun. Comite na Ra Marpodah pun bekerja dan bergerak cepat mengemban tugas tersebut. Setelah setahun bekerja, komite tersebut berhasil menerjemahkan Katekhismus Kecil Luther ke dalam bahasa Simalungun, Nyanyian Gerejawi (Haleluya), Tata Ibadah (Liturgi), Renungan Harian (Manna) dan terjemahan cerita- cerita Alkitab. Selanjutnya diterbitkan juga nyanyian (lagu-lagu) rohani dan cerita-cerira Alkitab berbahasa Simalungun.
Berbekal ilmu pengetahuan yang diterimanya selama sekolah pendeta di Sipoholon, Pdt J Wismar sendiri berhasil menulis 24 buku bacaan rohani dan pelajaran berbahasa Simalungun. Sebagian buku tersebut ditulis J Wismar Saragih ketika masih menempuh pendidikan theologia di Sipoholon, yakni Podah Pasal Marhorja (Nasihat tentang Pekerjaan) tahun 1929. Selain itu Dia juga menerbitkan buku-buku lain berbahasa Simalungun, Panggomgomion (Pemerintahan) tahun 1929.
Taman Bacaan
Guna meningkatkan minat baca orang-orang Simalungun yang sudah menempouh Pendidikan (bisa calistung), Pdt J Wismar Saragih mendirikan taman bacaan Dos ni Riah (Kesepakatan) dan perpustakaan “Parboekoean ni Pan Djaporman” di Pamatang Raya (1937).
Kemudian, Pdt J Wismar Saragih dan rekan-rekannya menerbitkan majalah rohani berbahasa Simalungun Sinalsal (Cahaya/Terang). Majalah tersebut terbit sekali sebulan selama 1928 – 1940. Pdt J Wismar masuk sebagai redaktur majalah tersebut.
Majalah tersebut dimaksudkan meningkatkan jangkauan komunikasi dan percepata penyebaran informasi ke desa-desa di Simalungun. Pdt J Wismar Saragih yakin betul bahwa media massa memilik peran besar meningkatkan PI di daerah Simalungun. Melalui media massa berbahasa Simalungun warga Simalungun yang sudah bisa calistung akan lebih mengetahui, memahami dan tertarik Injil Kristus.
Perjuangan Pdt J Wismar Saragih menggunakan bahasa Simalungun dalam pelayanan dan pembelajaran tersebut mendapat dukungan seorang misionaris Jerman, yakni H Volmer. Atas bantuan H Vomer dan NZG, Pdt J Wismar Saragih mulai menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru (Bibel Padan na Baru) ke dalam bahasa Simalungun tahun 1937.
Perjanjian Baru tersebut selesai diterjemahkan Pdt J Wismar Saragih dan direlease (diluncurkan) pada perayaan Jubileum 50 Tahun Injil di Simalungun 6 September 1953. Saat itu HKBPS menerima delapan eksemplar Alkitab Perjanjian Baru dalam bahasa Simalungun dari Nederlandshe Bybel Genootschap/NBG) Belanda.
Kemudian saat itu juga HKBPS menerima 200 eksemplar Bibel Padan Na Baru hasil terjemahan Pdt J Wismar Saragih yang diterbitkan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Melalui keberhasilan penerjemahan Alkitab Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Simalungun tersebut, Pdt J Wismar Saragih mencatatkan namanya sebagai orang Indonesia pertama berhasil menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Nusantara.
“Kongsi Laita”
Pemikiran dan upaya lain yang diperjuangkan Pdt J Wismar Saragih PI dan pendidikan di Simalungun, yakni melibatkan putra-putri asli Simalungun melaksanakan tugas PI dan pengajaran di sekolah-sekolah zending. Pemikiran dan upaya tersebut muncul berkat adanya kesadaran Pdt J Wismar bahwa PI dan pendidikan orang Simalungun tidak bisa dilakukan hanya sendiri dan sekelompok pendeta.
Tugas tersebut perlu melibatkan orang – orang Simalungun yang sudah memeluk Kristen dan terpelajar. Guna mencapai misi tersebut, Pdt J Wismar Saragih memprakarsai pembentukan perangkat-perangkat (kelompok petugas pelayanan), yakni Kongsi Laita (Pergi Melayani Bersama) yang didirikan di Sondi Raya, 15 November 1931.
Kongsi Laita yang merupakan kelompok pelayanan yang bersifat relawan memiliki misi mengabarkan Injil ke kampung-kampung. Pekabaran Injil dengan mengunjungi kampung-kampung Simalungun yang belum tersentuh pendidikan dan Injil tersebut dilakukan seusai ibadah di gereja setiap minggu.
Kemudian Kongsi Laita melakukan kunjungan ke rumah-rumah orang yang belum Kristen. Untuk mempercepat pengenalan akan Injil Kristus, Kongsi Laita memiliki motto, yakni “Lima menit berbicara harus membicarakan Firman Tuhan”. Anggota Kongsi Laita terdiri dari kaum bapa, ibu dan pemuda. Mereka juga melakukan evaluasi kegiatan secara berkala untuk mengetahui kendala, peluang dan solusi tugas penginjilan mereka.
Jiwa Kongsi Laita yang bersekutu secara erat dan familiar dan misioner berhasil mengabarkan Injil secara luas ke seluruh daerah Simalungun. Kehadiran Kongsi Laita juga menunjukkan bahwa tampilnya Pdt J Wismar Saragih sebagai pendeta pertama dari putra Simalungun memberikan inspirasi dan membangkitkan semangat orang Simalungun mengabarkan Injil di daerah mereka.
Tingginya komitmen dan perjuangan Pdt J Wismar Saragih mempercepat PI dan pendidikan di Simalungun dilakukan juga melalui upaya kemandirian manajamen (self-management) gereja-gereja di Simalungun. Pdt J Wismar Saragih berprinsip, PI di Simalungun harus dilaksanakan dalam suatu lembaga atau keorganisasian gerejawi yang dikelola dan dilayani sendiri orang-orang Simalungun. Peluang untuk itu ada karena sudah ada tujuh putra Simalungun yang ditahbiskan menjadi pendeta 28 September 1952.
Namun usulan tersebut kurang mendapatkan dukungan pihak Pimpinan Pusat HKBP. Menyikapi hal tersebut, Pdt J Wismar Saragih tidak mau mundur. Dia tetap gigih memperjuangkan kemandirian PI di Simalungun agar jemaat – jemaat di Simalungun bisa mengatur dirinya sendiri dalam pelayanan. Karena itu HKBP Distrik ke-11 Simalungun pun mengadakan Sidang Synode Distrik di Pematangraya, Minggu, 5 Oktober 1952 membahas kemandirian pengelolaan gereja secara mandiri di Simalungun.
Sidang Sinode Distrik ke-11 HKBP Simalungun saat itu memutuskan dibentuknya Huria Kristen Batak Protestan Simalungun (HKBPS) dan memilih Pdt J Wismar Saragih sebagai Wakil Ephorus dan Pdt Wilmar Saragih sebagai Sekretaris Jenderal. Sedangkan kantor Pusat HKBPS ditetapkan di Kota Pematangsiantar. Keputusan tersebut pun diakui dan disahkan pada rapat delegasi HKBP dan Pengurus Harian HKBPS di Pematang Siantar, 21-22 Januari 1953. Gebrakan-gebrakan memajukan PI di Simalungun tersebut membuat Pdt J Wismar dijuluki Een Simaloengoense Luther (Luther dari Simalungun).
Pendirian Sekolah
Pdt J Wismar Saragih memiliki misi besar di bidang pendidikan di Simalungun seperti yang diwariskan oleh Misianaris Pdt August Theis. Dia menyadari, melalui pendidikan orang Simalungun akan mampu mengejar ketertinggalan di berbagai bidang kehidupan. Melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), orang Simalungun akan semakin bisa berpikir lebih maju, sehingga orang Simalungun semakin memiliki komitmen tinggi melanjutkan PI.
Untuk itu, Pdt J Wismar Saragih dan para penginjil di Simalungun melanjutkan misi para misionaris Jerman mendirikan dan mengembangkan sekolah-sekolah. Misi itu pun berjalan sukses. Jika pada tahun 1914 jumlah anak sekolah di Pematangraya mencapai 555 orang, maka setelah Injil di Simalungun mencapai usia 50 tahun pada 1953 (era HKBPS), jumlah anak sekolah di Simalungun mencapai 1.200 orang, 29 sekolah dasar dan 34 guru. Selanjutnya 1957 – 1958 HKBPS mendirikan SMP, SMA (Agt 1961).
Pdt J Wismar Sargih melihat, kemajuan pendidikan menjadi solusi utama agar orang Simalungun bebas dari belenggu kebodohan, keterbelakangan, ketertutupan an kemiskinan. Kemudian Injil harus disampaikan hingga diterima orang Simalungun penganut kepercayaan animisme (sipelebegu) agar mereka memiliki pola berpikir maju. Melalui Injil Kristus dan pendidikan, orang Simalungun akan lebih cepat terbebas dari pola-pola kehidupan terbelakang.
Pejuang Budaya
Pdt J Wismar Saragih tidak mau budaya Simalungun hilang di tengah gencarnya PI di Simalungun. Justru Pdt J Wismar membuat budaya Simalungun semakin eksis di tengah PI di Simalungun dan PI di Simalungun berhasil dipercepat melalui peran budaya Simalungun, khususnya bahasa Simalungun.
Pdt J Wismar menilai theologia tidak terpisahkan dari budaya Simalungun. Keterkaitan atau relvansi theologia dengan budaya Simalungun tersebut dipertegas Pdt J Wismar dengan ungkapan pemikirannya bahwa “Tuhan itu hadir dalam pesta keluarga, dan kitalah tuan rumah yang menerima tamu pembawa berkat dengan sukacita yang mendalam.”
Kemudian dalam bukunya Tadah ni Tonduyta (Santapan Rohani Kita), Pdt J Wismar berusaha menanamkan iman Kristen kepada orang Simalungun bahwa kehidupan berbudaya senantiasa saor (membaur) dengan Kristus. Pemahaman teologis Pdt J Wismar Saragih tersebut diwariskan kepada generasi GKPS agar tetap menghargai budaya Simalungun dalam kegiatan gerejawi dan meningkatkan peran GKPS dalam pelestarian budaya Simalungun.
Pdt J Wismar Saragih juga memperjuangkan pelestarian seni – budaya Simalungun. Hal tersebut tercermin dari upaya-upaya yang dilakukannya mencegah penghilangan seni budaya Simalungun di tengah PI yang dilakukan misionaris Jerman. Ketika RMG mengubah nama Distrik Simalungun – Pesisir Timur (Simalungun-Oostkust) menjadi “Sumatera Timur, Aceh dan Dairi” dan disahkan HKBP dalam tata gerejanya tahun 1940, Pdt J Wismar Saragih mengajukan protes.
Protes itu diajukan Pdt J Wismar karena penggantian nama Distrik Simalungun menjadi Sumatera Timur, Aceh dan Dairi tersebut dinilai akan menghilangkan identitas di tengah HKBP Simalungun. Akhirnya pada Sinode am HKBP pada 10-11 Juli 1940 di Pearaja, HKBP di wilayah Simalungun ditetapkan menjadi HKBP Distrik ke-11, 26 September 1940.
Pdt J Wismar juga mendukung penggunaan pakaian adat Simalungun dalam kegiatan gerejawi. Padahal upaya tersebut kurang mendapat dukungan dari para penginjil RMG. Pihak RMG saat itu bahkan meminta orang Simalungun tidak memakai tutup kepala orang Simalungun, gotong (untuk laki-laki) dan bulang (untuk perempuan) di tengah peribadahan. RMG meminta orang Kristen Simalungun melepas gotong, bulang dan hiou (ulos suri-suri) pada kegiatan ibadah gereja.
Kendati mendapat hambatan, perjuangan budaya Pdt J Wismar Saragih tersebut berhasil dengan tetap diberikannya peluang bagi warga GKPS menggunakan pakaian adat Simalungun dalam kegiatan ibadah. Bagi Pdt J Wismar Saragih, yang salah bukan gotong, bulang dan hiuonya. Karena gotong, bulang dan hiu memiliki makna dan filosopi luhur, yakni sebagai lambang hatunggungon (kehormatan), tidak ada terkait hasipelebeguon (penyembahan berhala).
Pdt J Wismar Saragih paham betul mengenai pentingnya lembaga permanen yang bisa memperhatikan pelestarian seni Simalungun di luar organisasi gereja. Untuk itu Dia mendirikan lembaga seni – budaya Simalungun, Partuha Maujana Simalungun bersama Haji Ulakma Sinaga dan Bupati Simalungun saat itu, Rajamin Purba (Bupati Simalungun saat itu). Lembaga tersebut diupayakan bisa melestarikan musik tradisional Simalungun dan mengembangkan lagu-lagu dan musik tradisional Simalungun menjadi lagu dan musik Gereja.
Pdt J Wismar Saragih juga tetap berupaya mengembangkan budaya Simalungun. Pada seminar “Silsilah Marga-Marga di Simalungun” 24-26 Februari 1964, Pdt J Wismar Saragih tampil sebagai narasumber (pembicara). Pada kesempatan tersebut Pdt J Wismar Saragih mengusulkan supaya empat marga Simalungun, Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba (Sisadapur) dapat dimekarkan (bergabung) berdasarkan cabang marga tersebut.
Partisipasi Kemerdekaan
Perjuangan Pdt J Wismar Saragih tidak hanya untuk masyarakat Simalungun dan umat Kristen di Simalungun. Dia juga turut berjuang mempertahankan kemerdekaan. Di tengah agresi kedua Belanda ke Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, 18 Agustus 1945, Pdt J Wismar Saragih cukup gigih mempertahankan kemerdekaan RI.
Hal itu dilakukannya melalui pidato-pidatonya mengenai kemerdekaan di mimbar Gereja dan umum. salah satu di antaranya pidato kemerdekaan RI yang disampaikan Pdt J Wismar Saragih di lapangan sepak bola Pematang Raya, 23 Desember 1945. Pada masa itu Pdt Djaulung Saragih juga terpilih sebagai Ketua Komite Nasional Kecamatan Raya menjadi utusan ke tingkat kabupaten.
Pdt J Wismar Saragih juga banyak membangkitkan semangat perjuangan kemerdekaan masyarakat Simalungun ketika terjadi revolusi di Simalungun 3 Maret 1946. Warga masyarakat Simalungun saat itu penuh ketakutan karena raja-raja di Simalungun dibunuh dan terjadi pembumi-hangusan di Simalungun.
Menyikapi ketakutan masyarakat Simalungun tersebut, Pdt J WismarSaragih tampil memberi semangat dan kekuatan kepada masyarakat Simalungun. Pada peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) RI, 17 Agustus 1946, Pdt J Wismar Saragih tampil berpidato di lapangan Pematangraya. Dia menguatkan iman dan pengharapan warga masyarakat Simalungun yang ketakutan dan kebingungan menghadapi revolusi tersebut.
Berkat perjuangan tersebut, Pdt J Wismar Saragih pun menerima surat tanda jasa dari Komite Nasional Indonesia 17 Desember 1946. Kemudian 10 Agustus 1947, Pdt J Wismar Saragih diangkat menjadi anggota Dewan Kabupaten Simalungun. Hingga di akhir khayatnya, 7 Maret 1967, Pdt J Wismar Saragih tetap peduli terhadap PI dan pembangunan Simalungun. Karena itu Dia punya motto :”Siparutang do ahu bani Simalungun” (Saya berhitang kepada Simalungun). (Bersambung).