Jaksa Agung RI, Dr ST Burhanuddin, SH, MM (dua dari kiri) menjelaskan proses hukum kasus dugaan korupsi dan pencucian uang pengurusan izin HGU kebun sawit PT Duta Palma Grup, Kabupaten Indragiru Hulu, Riau di kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (1/8/2022). (Foto : Matra/PuspenKejagung).

(Matra, Jakarta) – Mantan Bupati Indragiri Hulu (Inhu), RTR dan pemilik perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Duta Palma Group (DPG), SD ditetapkan menjadi tersangka dugaan korupsi dan pencucian uang hasil pengurusan izin hak guna usaha (HGU) lahan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Inhu, Provinsi Riau.

Dugaan kasus korupsi dan pencucian uang tersebut merugikan negara hingga Rp 78 triliun. Tersangka RTR sendiri saat ini sedang menjalani masa hukuman penjara dalam kasus korupsi APBD Kabupaten Inhu dan tersangka SD masih buronan atau masuk daftar pencarian orang (DPO) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Penetapan mantan Bupati Inhu, RTR dan pemilik PT DPG, SD menjadi tersangka kasus dugaan korupsi dan pencucian uang tersebut dilakukan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus). RTR yang menjabat Bupati Inhu periode 1999 s/d 2008 ditetapkan menjadi tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor: Print-25/F.2/Fd.2/05/2022 tanggal 17 Mei 2022 jo. TAP-39/F.2/Fd.2/07/2022 tanggal 19 Juli 2022.

Sedangkan SD selaku Pemilik PT DPG ditetapkan menjadi tersangka berdasarkan Sprindik Nomor: Print-44/F.2/Fd.2/07/2022 tanggal 19 Juli 2022 dan Surat Penetapan Tersangka Nomor: TAP-40/F.2/Fd.2/07/2022 tanggal 19 Juli 2022.

Jaksa Agung RI, Dr ST Burhanuddin, SH, MM didampingi Jampidsus, Dr Febrie Adriansyah, SH, MH di kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (1/8/2022) menjelaskan, mantan Bupati Inhu, RTR dan pemilik PT DPG, SD ditetapkan jadi tersangka berdasarkan bukti-bukti dan keterangan saksi yang diperoleh Tim Jampidsus dalam penyidikan.

Dijelaskan, medio tahun 2003, tersangka SD selaku pemilik perusahaan sawit PT DPG melakukan kesepakatan dengan tersangka mantan Bupati Inhu, RTR untuk mempermudah dan memuluskan perizinan kegiatan usaha budidaya perkebunan kelapa sawit dan kegiatan usaha pengolahan kelapa sawit.

Kesepakatan tersebut terutama untuk penerbitan izin penguasaan HGU kepada perusahaan-perusahaan sawit SD, PT DPG di Kabupaten Inhu. PT DPG sendiri memiliki anggota, yakni PT Banyu Bening Utama, PT Panca Agro Lestari, PT Seberida Subur, PT Palma Satu dan PT Kencana Amal Tani. HGU tersebut berada dalam kawasan hutan, baik HPK (Hutan Produksi yang dapat dikonversi), HPT (Hutan Produksi Terbatas) dan HPL (Hutan Penggunaan Lainnya) di wilayah Kabupaten Inhu.

Dikatakan, kesepakatan mengenai kemudahan pengurusan izin HGU tersebut dilakukan kedua tersangka dengan cara membuat kelengkapan perizinan terkait izin lokasi dan izin usaha perkebunan. Izin itu dikeluarkan guna memperoleh izin pelepasan kawasan hutan dan HGU.

“Pembuatan izin lokasi dan izin usaha perkebunan sawit tersebut tenyata tidak sah atau melawan hukum. Hal itu ditandai dengan tidak adanya izin prinsip, analsisis mengenai dampak lingkungan (Amdal),”katanya.

Selain itu, lanjut Burhanudin, PT DPG sampai dengan saat ini tidak memiliki izin pelepasan kawasan hutan dan HGU. Kemudian PT DPG tidak pernah memenuhi kewajiban hukum untuk menyediakan pola kemitraan sebesar 20 % dari total luas areal kebun yang didikelola. Padahal kemitraan itu wajib dilakukan berdasarkan Pasal 11 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007.

Menurut Burhanuddin, kegiatan yang dilakukan PT DPG tersebut mengakibatkan kerugian perekonomian negara, yakni hilangnya hak-hak masyarakat Kabupaten Inhu sebelumnya telah memperoleh manfaat dari hasil hutan untuk meningkatkan perekonomiannya serta rusaknya ekosistem hutan.

“Estimasi atau perkiraan kerugian keuangan negara dan perekonomian negara akibat penguasaan lahan HGU secara ilegal tersebut sesuai dengan hasil perhitungan ahli mencapai Rp 78 triliun,”ujarnya.

Lahan perkebunan kelapa sawit PT Duta Palma Grup di Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau yang disegel Jaksa Agung. (Fptp : Matra/PenkumKejagung).

Jerat Hukum

Untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya, mantan Bupati Inhu, RTR dijerat dengan dakwaan primer, yakni Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Tersangka RTR juga dijerat dengan dakwaan subsidier, yakni Pasal 3 Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sedangkan tersangka SD, pemilik PT DPG dijerat dengan dakwaan primer, yakni Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kemudian dakwaan subsider yang menjerat tersangka SD, yakni Pasal 3 Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Selanjutnya, kedua tersangka juga dijerat dengan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang atau Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

“Kedua tersangka saat ini sedang menjalani masa hukuman (vonis). Tersangka RTR sedang menjalani vonis pidana dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dana kasbon APBD Inhu 2005-2008. Sementara tersangka SD dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),”kata Jaksa Agung, Burhanuddin. (Matra/AdeSM).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *