Oleh : St Drs GM Saragih, MSi*

Pengantar

Sungai Batanghari yang membentang dengan panjang sekitar 800 kilometer (Km) mulai dari wilayah Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat (Sumbar) hingga pantai timur Jambi, Kabupaten Tanjungjabung Timur, Provinsi Jambi sejak dahulu sudah menjadi sumber air bersih bagi sebagian besar warga masyarakat Sumbar dan Jambi. 

Bahkan saat ini, air Sungai Batanghari masih menjadi bahan baku perusahaan daerah air minum (PDAM) di Provinsi Jambi, termasuk PDAM Trita Mayang Kota Jambi. Namun kualitas air Sungai Batanghari belakangan ini semakin menurun. Penyebab penurunan kualitas air Sungai Batangahri tersebut, yakni masalah sampah yang masih terus dibuang ke Sungai Batranghari.

Sampah menjadi salah satu sumber pencemaran air Sungai Batanghari karena sampah-sampah yang dibuang ke sungai tersebut sebagian besar berupa sampah padat yang sulit terurai, khususnya sampah plastik. Kemudian persoalan sampah yang mencemari Sungai Batanghari hingga kini sulit diatasi karena sikap sebagian warga masyarakat dan perusahaan yang masih sering membuang sampah ke Sungai Batanghari.

Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang (UU) Nomor 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang dimaksud dengan sampah, yaitu sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Semakin meningkat pranata (kelas) ekonomi seseorang, semakin banyak dan semakin komplek pula sampah yang dihasilkannya.

Bila ditinjau dari komposisnya, sampah sisa aktivitas manusia terdiri dari sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik lebih mudah dikelola karena lebih mudah terurai dibanding dengan sampah anorganik. Sampah anorganik inilah yang masih banyak dibuang warga masyarakat ke sungai, termasuk Sungai Batanghari.

Kurang Peduli

Mencermati perilaku warga masyarakat di masa sekarang, ternyata masyarakat perkotaan umumnya masih kurang memperhatikan dampak negatif sampah yang dihasilkannya. Masyarakat hanya membuang sampahnya, tanpa mengelola. Sementara, dalam undang-undang pengelolaan sampah telah ditetapkan bahwa sampah yang dihasilkan harus dikelola dengan konsep pengelolaan sampah paradigma baru.

Sesuai UU RI No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah sudah ada paradigma baru mengenai pengelolaan sampah. UU tersebut memandang sampah sebagai sumberdaya yang mempunyai nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan.Misalnya untuk kompos, sebagai sumber energi terbarukan, bahan bangunan maupun sebagai bahan baku industri.

Sedangkan yang dibuang adalah sampah yang benar-benar sudah tidak dapat dimanfaatkan karena tidak mempunyai nilai ekonomi yang disebut residu. Pengelolaan sampah dilakukan dengan pendekatan yang komprehensif atau menyeluruh. Melalui pendekatan ini pengelolaan sampah sudah dilakukan mulai dari hulu, yakni sejak sebelum dihasilkan dari produk yang berpotensi menjadi sampah hingga ke hilir, yaitu fase produk sesudah digunakan sehingga menjadi sampah.

Sampah tersebut kemudian dikembalikan secara aman ke media lingkungan. Konsep ini biasa disebut dengan 3R, yaitu reduce (pengurangan), reuse (penggunaan kembali) dan recycle (pendaurulangan). Bila pengelolaan sampah tidak mengikuti paradigma baru, maka sampah akan menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan.

Sampah anorganik seperti sampah plastik selalu menjadi masalah utama dalam pencemaran lingkungan baik pencemaran tanah maupun pencemaran air permukaan. Sifat sampah plastik tidak mudah terurai, proses pengolahannya menimbulkan toksit dan bersifat karsinogenik. Butuh waktu sampai puluhan tahun agar sampah plastic bisa terurai secara alami.

Bahaya Mikroplastik

Sampah plastik adalah sampah yang materialnya diproduksi dari bahan kimia tak terbarukan. Sebagian besar sampah plastik berasal dari sisa pembungkus yang digunakan sehari-hari menjadi pengemas atau pembungkus. Sampah plastik yang tidak dikelola akan menghasilkan mikroplastik.

Mikroplastik adalah partikel kecil plastik berukuran kurang dari 5 milimeter (mm) yang umumnya berasal dari pecahan atau degradasi plastik ukuran besar, hasil buangan limbah industri dan juga terdapat dalam produk-produk rumah tangga atau yang biasanya disebut microbeads (bulatan plastik yang biasanya dipakai dalam sambun cuci, pasta gigi dan deodoran/cairan pewangi).

Mikroplastik dapat mengganggu dan mengancam kesehatan lingkungan, termasuk di antaranya seperti terjadinya pencemaran air sungai yang diakibatkan oleh sampah plastik. Sungai-sungai yang banyak sampah plastik, menyebabkan sungai tercemar kandungan mikroplastik tinggi. Mikroplastik juga mengancam biota sungai seperti ikan, kerang, udang dan biota air lainnya.

Sampah plastik yang hanyut dan mengapung di permukaan air sungai pada jangka waktu lama akan menyebabkan air mengandung mikroplastik. Pencemaran mikriplastik inilah yang kini mengancam air Sungai Batanghari di Provinsi Jambi.

Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) menemukan bahwa pada air sungai Batanghari seputar Kota Jambi dan Kabupaten Muarojambi telah terdapat 150 partikel mikroplastik dalam 100 liter air. (TribunJambi.Com, 15/7/2022). Temuan ini mengindikasikan bahwa sungai Batanghari telah menjadi tempat sampah plastik yang mungkin disengaja atau tidak disengaja hanyut oleh air hujan.

Sampah plastik yang mengumpul di sungai akan hanyut dan mengapung di permukaan air pada jangka waktu yang lama. Hal tersebut akan menyebabkan lepasnya mikroplastik dari sampah plastik. Jenis sampah plastik yang ditemukan adalah didominasi sampah plastik sekali pakai seperti tas kresek, sedotan, styrofoam, popok, sachet dan botol air minum sekali pakai. Temuan Tim ESN tentunya perlu disikapi pemerintah daerah di Jambi, baik Pemerintah provinsi (Pemprov) Jambi maupun pemerintah kabupaten/kota se-Provinsi Jambi.

Kemudian warga masyarakat Jambi juga peril menyikapi pencemaranmikropalstik di Sungai Batanghari. Hal ini penting mengingat bahaya mikroplastik terhadap masyarakat yang mengkonsumsi air dan ikan yang bersumber dari sungai Batanghari. Mikroplastik di air jadi ancaman terjadinya gangguan kesehatan manusia yang mengkonsumsi air Sungai Batanghari menjadi air baku PDAM.

Mikroplastik di dalam air bisa mencemari ikan karena menyerupai plankton. Ikan mengira mikroplastik tersebut plankton yang menjadi makanannya, sehingga ikan juga akan terkontaminasi mikroplastik. Mikroplastik ini dapat terserap dan terakumulasi di dalam tubuh ikan.

Ikan dikonsumsi manusia, partikel mikroplastik dapat masuk ke dalam tubuh dan mempengaruhi kinerja beberapa organ, seperti hati, ginjal dan usus. Jadi, sampah plastik yang di buang ke sungai sangat berdampak buruk pada jaring-jaring makanan, dan akhirnya akan membahayakan manusia itu sendiri sebagai konsumen puncak dalam rantai makanan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bila terdapat mikroplastik dalam jumlah banyak di air sungai suatu kota maka pengelolaan sampah kota tersebut masih perlu perbaikan karena belum mengacu pada konsep pengelolaan sampah paradigma baru. Hal ini tentunya perlu mendapat perhatian serius Pemerintah Kota (Pemkot) Jambi, khususnya PDAM Tirta Mayang Kota Jambi karena air Sungai Batanghari menjadi bahan baku ari bersih PDAM.

Perhatian serupa juga harus dilakukan Pemprov Jambi dan pemerintah sembilan kabupaten di Jambi karena air Sungai Batanghari masih tetap menjadi sumber air bersih bagi masyarakat dan ikan-ikan yang ada di Sungai Batanghari pun masih tetap menjadi sumber makanan bergizi bagi masyarakat Jambi.***

  • (Penulis adalah Pemerhati Masalah Lingkungan dari Universitas Batanghari Jambi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *